Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2020

Menyesap Kopai Osing

Foto: Yayat R Cipasang SIANG itu, gerimis menyambut kami saat melangkah memasuki gerbang Kompleks Sanggar Genjah Arum di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi. Irama merdu perpaduan rampak lesung yang ditabuh lima perempuan yang rata-rata berusia 90 tahun yang ditimpali angklung khas suku Osing, membuat saya semakin penasaran dengan kedai kopi milik Setiawan Subekti alias Iwan, tester kopi kaliber dunia. Di kompleks sanggar terdapat lima rumah joglo khas Osing . Satu rumah utama yang menghadap gerbang di antaranya difungsikan sebagai museum yang menyimpan berbagai barang kuno khas suku Osing. Sebuah bangunan berfungsi sebagai kedai sekaligus tempat workshop. Sebuah joglo lainnya yang terbuka dan bertiang kekar menjadi tempat pentas tari Gandrung. Sebuah tarian mistis dan bercitra mesum yang pelan-pelan diubah Iwan menjadi sebuah tarian bercita rasa seni tinggi dan profesional. “Bangunan yang ada di sini rata-rata sudah lima sampai tujuh generasi. Kayu yang digunakan bukan kayu jati tapi

Terbakar vs Dibakar

SUATU hari terjadi dialog serius di sebuah lokasi pasar yang akan digusur atasnama pembangunan yang lebih besar. “Awas! Kalau kalian melawan, pasar ini akan terbakar! ” teriak seorang pejabat. “Itu pernyataan agak sukar saya mengerti, ” kata seseorang dalam kerumunan. “Jelas itu ancaman karena aneh bunyinya, ” kata yang lain. “Apa hubungan antara pedagang yang bertanya, usul, atau mungkin tidak setuju, dan api yang akan membakar pasar?” sambung yang lain lagi. “Apakah perlawanan itu semacam suhu panas yang akhirnya bisa menyala menjadi api sehingga membakar? Atau bagaimana?” “Yang lebih penting dianalisis, apa hubungan antara api yang membakar pasar dan orang yang mengatakannya?” teriak yang lain lebih serius. …. Dialog tersebut saya modifikasi dari esai Emha Ainun Nadjib dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri (Bentang Pustaka, 2015). Esai itu sangat aktual dengan perdebatan baik di media arus utama atau kasak-kusuk di media sosial sekaitan dengan terbakar (dibakar)-nya Proyek Pas

Menengok Sel Nomor 5

Foto: Yayat R Cipasang DE Java Hotel di bilangan Sukajadi, Kota Bandung, pagi itu sejak kemarin diguyur hujan. Dingin, tiris , ngahodhod dan sebenarnya lebih enak menarik selimut untuk melanjutkan mimpi ngawur malam tadi. Namun pesan dalam telepon gagap (bukan telepon pintar karena hape sering error ), memilih tidak melanjutkan tidur, lebih elite sedikit, riset kecil-kecilan karena panitia Bimbingan Teknis Penulisan Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengagendakan kunjungan lapangan ke Museum Konferensi Asia Afrika, Museum Wangsit Siliwangi, Museum Sri Baduga dan ke petilasan Penjara Banceuy . Naam, terus terang saja saya mengetahui kisah Penjara Banceuy–satu dari dua penjara di Bandung yang telah membuat jiwa pejuang Soekarno semakin matang setelah Sukamiskin–lebih banyak dari buku. Di antaranya "Kuanter ke Gerbang (Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)", sebuah biografi sejarah karya sastrawan Ramadhan KH. Dalam biografi itu di antaranya dikisahkan tentang

Pancasila dalam Secangkir Kopi

Foto: Yayat R Cipasang EMPAT Pilar Kebangsaan yang di dalamnya ada Pancasila , selama ini seolah di awang-awang dan sulit diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal keempat konsep atau istilah tersebut sangat mudah dibumikan dan sangat implementatif dalam kehidupan sehari-hari. Cukup bicaralah atau berpihaklah pada perkopian Indonesia maka di sana ada Empat Pilar Kebangsaan. Janganlah terlalu tinggi, apalagi bicara tentang Empat Pilar Kebangsaan dengan konsep yang banal seperti toleran dan intoleran yang belakangan ikut dibajak oleh kelompok dan barisan buzzer. Nasionalisme dan Pancasila itu sangat sederhana. Sesaplah atau seruputlah secangkir kopi di pagi atau sore hari mulai dari rasakan sensasi kopi Gayo, Rejang Lebong, Lampung, Bogor, Gunung Puntang Bandung, Garut, Osing Banyuwangi, hingga kopi Papua. Bisa jadi yang tidak punya nasionalisme atau tidak pancasilais itu bukan saya, kita, kami atau mereka tapi bisa jadi malah pemerintah! Tidak percaya? Dalam peluncuran buk

Tak ada kopi Indonesia, yang ada kopi sumatra dll.

Foto: Yayat R Cipasang KOPI Indonesia yang dipasarkan di Amerika Serikat dikenal sebagai kopi sumatra, sulawesi dan lain sebagainya, tanpa menyebutkan Indonesia. Sedangkan kopi lainnya dipasarkan dengan negara asalnya sebagai bagian dari branding. Penyebab utama fenomena ini adalah jarang ada roaster atau pemasar dari Indonesia . Jika pelaku industri adalah orang Amerika, branding kopi dengan asal kopi yang terkesan eksotis terkesan lebih menarik. Merek kopi yang benar-benar berasal dari Indonesia pun belum terdengar di pasar AS, sedangkan branding penting untuk memasarkan roasted coffee. Seperti dikutip dari kemendag.go.id , penggemar dan ahli kopi sudah mengenal kopi dari Indonesia, namun di mata konsumen awam kopi Indonesia belum dikenal. Pasar retail kopi di AS sangat sulit untuk ditembus karena begitu banyak pemainnya, usaha pemasaran yang konsisten, ditemani dengan branding yang kuat, akan mendukung penjualan. Distributor kopi hanya akan bekerjasama dengan merek-merek kopi yang

Kecanduan Hoaks, Lama-lama Soak

Ilustrasi: Tirto.id SUATU hari saya merasa bahagia sudah melampiaskan unek-unek langsung di depan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan juga Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo saat diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan. Termasuk Ketua Komisi I Abdul Kharis.  Saya itu termasuk yang kritis dan tersinggung dengan istilah dikhotomi media besar dan media kecil termasuk tudingan media abal-abal. Mereka sepakat tidak mempermasalahkan media besar dan media kecil. Bahkan wartawan lepas pun diakui (freelancer). Soal media harus berbadan hukum jelas saya sepakat kalau mau disebut sebagai industri pers.  Tetapi tak masalah juga tak berbadan hukum dan itu dianggap sebagai blog. Toh blog juga tak kalah prestise dan juga banyak yang kontennya informatif dan menginspirasi. Bahkan beberapa lembaga seperti Kementerian Pariwisata bekerja sama dengan pemilik blog dan sangat terbantu dengan keberadaan blog dan anasirnya berupa blogger. Promosi pariwisata kalau dilakukan pemeritah biayanya san

Kebenaran Diproduksi di Pabrik (Buzzer)

Foto: Dok. Pribadi KEBENARAN tidak lagi ditemukan tetapi diproduksi secara massal di pabrik. Begitulah kira-kira kenyataan dan sinisme yang terjadi di negeri gaduh ini. Kebenaran pun tidak ada yang sejati melainkan relatif, tergantung versi atau pesanan pihak ini dan itu. Arkian, kebenaran kini bisa diorder dengan nilai dan angka tertentu. Produksi dan masifnya industri kebenaran begitu terasa di era Jokowi. Pada pemerintahan sebelumnya, tepatnya di era SBY industri kebenaran juga terasa tetapi tidak begitu masif karena penguasa bisa menahan diri termasuk tidak ‘mengancam’ media, cukup mengeluh. Adapun situs yang diblokir itu hanya situs porno (?). Nah sekarang, malah sebaliknya. Situs porno begitu merajalela dan bisa dipelototi dengan aneka program. Pemerintah malah sibuk dengan mainan baru, menelisik dan memblokir situs penyebar ujaran kebencian dan intoleran (?). Dalam politik memang tidak ada istilah kebenaran tetapi yang ada adalah kepentingan dan kekuasaan. Kekuasaan tidak mutlak

KUHP atau UU Pers?

Foto: Kontan KEBIJAKAN pengendalian pers dari mulai yang lembut seperti kewajiban melaporkan modal minimal pendirian perusahaan hingga yang keras seperti pemberedelen tak bisa dilepaskan dari sejarah pemerintahan kolonial Hindia Belanda.  Puncaknya, kebijakan itu dituangkan secara monumental di tanah jajahan dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sejak 1918.  Belakangan, kebijakan itu bahkan seperti sudah mendarah daging dan merasuk ke pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi. Buktinya, selama ketiga rezim itu berkuasa, kebijakan warisan itu selalu memakan korban dari mulai pemberangusan pers hingga pemenjaraan wartawan.  Secara garis besar kebijakan pemerintah kolonial dalam membatasi ruang gerak pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana. Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah.  Kedua, dalam bentuk perangkat administ

"Jangan Mesumlah, Kita Ini Orang Singapura"

Judul : Bisnis Seks di Singapura Judul Asli : No Money No Honey (a candid look at sex-for-sale in Singapore) Pengarang : David Brazil Pengantar : Bondan Winarno Cetakan : Pertama, Juni 2005 Penerbit : Pustaka Primatama Tebal : xiv + 232 halaman BUKU hasil reportase investigasi atau menurut penulisnya disebut sebagai eksplorasi jurnalistik ini, benar-benar mengungkap hipokrisi atau kemunafikan Singapura. Selama ini Negeri Singa kerap disebut-sebut sebagai negara paling bermoral. Boleh dikatakan juga sebagai negara yang serba tidak. Tidak boleh menjual permen karet, tidak boleh membuang sampah sembarangan dan juga jelas-jelas tidak dengan pornografi dan pornoaksi. Tetapi buktinya? Pusat-pusat pelacuran dari yang kelas bawah hingga yang elite, berkembang sesuai dengan karakteristik pasar masing-masing. Dari mulai pelacuran kelas gurem seperti di Geylang hingga pelacuran di kawasan Orchard Road. Buku ini juga menujukkan ternyata jumlah sentra pelacuran di Singapura lebih bany

Mochtar Lubis si Pemilik Dua Sayap

Foto: Istimewa PELUNCURAN buku “Nirbaya, Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru”, belum lama ini di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), menjadi ajang pertemuan generasi muda dan orang tua cum pelaku sejarah seperti penyair Taufiq Ismail, dramawan Ikranegara dan pengacara senior Adnan Buyung Nasution.  Hadir pula tokoh pers seperti Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, tuan rumah yang juga pendiri Harian Kompas Jacob Oetama serta pengamat pers dari UNESCO Arya Gunawan.  Peluncuran buku setebal 142 halaman ini sekaligus menjadi ajang diskusi antargenerasi yang menarik dan saling menghormati. Ketika anak muda bertanya sangat kritis, tokoh tua seperti Ikranegara memberikan penjelasan layaknya orangtua kepada anaknya. Santun, lembut dan menyejukkan. Tidak ada intonasi tinggi, tidak ada pernyataan emosional. Tak ada sikap defensif dari orang tua yang maunya menang sendiri.  Tiba-tiba saya rindu, seandainya diskusi di BBJ itu dapat dipraktikkan di arena yang lebih luas maka damail

Jeng Susi

Ilustrasi: Radar Sukabumi DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, janda didefinisikan sebagai wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suami.  Ada banyak jenis janda di antaranya janda berhias , yaitu janda yang belum beranak. Selanjutnya ada janda kembang sebutan untuk janda muda yang cantik dan belum beranak.  Berikutnya dikenal janda muda yaitu janda yang usianya masih relatif muda dan terakhir janda tebal , yaitu janda yang kaya dari sisi materi atau dalam istilah anak muda jaman kiwari disebut janda tajir .  Namun entah istilah apa yang cocok untuk para janda yang tergabung dalam Paguyuban Janda Indonesia (PJI), sebuah organisasi yang baru didirikan enam bulan silam itu. Dan para pengurus PJI memang tidak perduli dengan sebutan atau stempel yang akan diberikan masyarakat.  Buat mereka istilah hanya akan memperpanjang kosa kata di kamus dan hanya akan menjadi permainan wacana pengamat sosial yang mencari popularitas di televisi. Bagi

Nasi Aking dan Metodologi Kemiskinan

Foto: mediaindonesia ANGKA kemiskinan bisa menjadi aib dan juga dapat menjadi indikator prestasi. Gara-gara angka kemiskinan ini Ketua Umum Partai Hatinurani Rakyat (Hanura) Wiranto "perang terbuka" dengan kelompok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Ribut kemiskinan ini berawal dari iklan Wiranto yang gencar di media massa cetak, televisi dan radio, sejak Desember 2007. Dengan mengutip Bank Dunia pada 2006, Wiranto menyebutkan rakyat miskin Indonesia mencapai 49 persen (penghasilan di bawah dua dolar per hari).  Kelompok SBY pun membalasnya dan di antaranya dengan beriklan satu halaman penuh di Pikiran Rakyat Bandung, Kamis (6/3). SBY lewat Jaringan Nusantara memasang iklan dengan tajuk "Kemiskinan Bukan Dagangan".  Iklan ini sangat jelas ditujukan kepada kelompok Wiranto dan Partai Hanura dari bunyi iklannya sebagai berikut: "Ada yang sangat ingin berkuasa, lalu mengutip duka rakyat: Seorang pedagang gorengan gantung diri karena harga-harga melambung tingi

Lumpur Lapindo versus Lumpur Sidoarjo

BILA mencermati berita televisi selama hampir lima bulan terakhir ini--seputar pemberitaan lumpur panas yang menyembur dari sumur eksplorasi PT Lapindo Brantas--muncul dua versi istilah yang menonjol, "lumpur lapindo" dan "lumpur sidoarjo".  Kedua istilah ini sama-sama merujuk pada lumpur panas dari PT Lapindo Brantas, perusahaan pertambangan milik keluarga Bakrie. ANTV dan Lativi lebih memilih istilah "lumpur sidoarjo". Sedangkan RCTI, SCTV, Indosiar, Global TV, TPI, Metro TV, Trans TV dan TV7 menggunakan sebutan "lumpur lapindo".  Uniknya, TVRI yang selama 32 tahun dituding sebagai organ Orde Baru malah lebih berani menyebut “lumpur panas lapindo”. Bagi sebuah organisasi media, pemilihan istilah itu tentu tidak sesederhana yang dibayangkan orang awam melainkan mengandung konsekuensi-konsekuensi dan motif-motif tertentu. Sebab organisasi media pada dasarnya adalah tempat bertarungnya berbagai wacana.  News room yang menggunakan istilah "

Jurnalisme Siger Tengah, Bukan Berarti Takut

UPAYA Pikiran Rakyat (PR) mengubah format sejak 2 Januari 2006 adalah sebagai tanda koran kebanggaan masyarakat Jawa Barat ini berusaha menghindari kejumudan. Buktinya, kini “PR” dari segi format lebih ramping dengan bentuk kompak dan dari sisi visual lebih menarik ( eye catching ).  Benar, seperti yang dikutip Syafik Umar: “Yang tidak berubah itu adalah perubahan itu sendiri” (Pikiran Rakyat, 1/1). Sikap ini menandakan bahwa “PR” siap berubah dan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman!  Mudah-mudahan, perubahan “PR” bukan sebuah akhir dan final ( establishment ). Pakar komunikasi Deddy Mulyana dari Universitas Padajajaran dan Septiawan Santana dari Univestiras Islam Bandung secara khusus dalam artikelnya sudah mengomentari perubahan format “PR” (Pikiran Rakyat, 2/1). Tetapi saya sebagai pembaca lebih mengamati “PR” pascaperubahan format dari sisi redaksionalnya. Ada dua hal yang mendasari saya perlu mengomentari dan memberi saran kepada “PR” dalam usianya yang dela