SIANG itu, gerimis menyambut kami saat melangkah memasuki gerbang Kompleks Sanggar Genjah Arum di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi. Irama merdu perpaduan rampak lesung yang ditabuh lima perempuan yang rata-rata berusia 90 tahun yang ditimpali angklung khas suku Osing, membuat saya semakin penasaran dengan kedai kopi milik Setiawan Subekti alias Iwan, tester kopi kaliber dunia.
Di kompleks sanggar terdapat lima rumah joglo khas Osing. Satu rumah utama yang menghadap gerbang di antaranya difungsikan sebagai museum yang menyimpan berbagai barang kuno khas suku Osing. Sebuah bangunan berfungsi sebagai kedai sekaligus tempat workshop.
Sebuah joglo lainnya yang terbuka dan bertiang kekar menjadi tempat pentas tari Gandrung. Sebuah tarian mistis dan bercitra mesum yang pelan-pelan diubah Iwan menjadi sebuah tarian bercita rasa seni tinggi dan profesional.
“Bangunan yang ada di sini rata-rata sudah lima sampai tujuh generasi. Kayu yang digunakan bukan kayu jati tapi berbahan Bendo (Artocarpus elasticus), sejenis kayu sukun tahan rayap dan semua bangunan ini bisa dipindahkan (knock down),” cerita Iwan.
Iwan tak kenal lelah mengedukasi masyarakat untuk mencintai kopi atau kopai dalam bahasa Osing. Karena itu sanggar tidak menerima kunjungan pribadi melainkan paket atau rombongan dengan alasan untuk efektifitas edukasi. Sehari, sanggar bisa melayani sampai tiga rombongan tamu berkelompok, instansi atau komunitas.
“Kami hanya mengembangkan kopi arabika yang tumbuh subur di lereng Gununng Ijen dan Gunung Raung. Kopi ini sejatinya tumbuh dengan baik di dataran tinggi. Tapi kami mengembangkannya di ketinggian kurang dari 1.000 meter dari permukaann laut. Kami tidak mempersoalkan cita rasa. Yang penting hasilnya kopi, bukan jagung, bukan kedelai,” kata Iwan yang sudah menjadi member kopi dunia sejak 1991.
Menurut Iwan, kopi arabika memiliki pangsa pasar paling besar di dunia. Sebaliknya, Indonesia malah termasuk negara yang paling besar memproduksi kopi robusta. Kenyataan ini pula yang terus mendorong Iwan terus mengedukasi masyarakat dan terjun langsung membina petani kopi mulai dari Takengon, Bengkulu, Liwa, Temanggung, Kintamani, Manggarai hinngga Wamena.
Kopi jenis arabika, kata Iwan, memiliki kandungan asam dan kafein yang lebih rendah dari robusta. Karena itu Iwan tidak yakin dengan anggapan sebagian orang yang menyebutkan meminum kopi akan mengakibatkan asam lambung meningkat atau sakit perut.
Pengunjung disambut rampak lesung yang terbuat dari pohon nangka dan telah berumur ratusan tahun
“Ini perlunya edukasi kepada masyarakat. Ini juga yang menyebabkan konsumsi kopi di dalam negeri redah. Padahal kopi sekarang tidak lagi hitam dan pahit,” kata Iwan.
Petani yang sudah membuka kebun kopi sejak 1987 ini juga sempat menantang seorang pengunjung yang mengaku tidak suka kopi lantaran memiliki penyakit maag. “Mau coba nggak kopi racikan saya?” bujuk Iwan yang juga pemilik sebelas haktare kebunnn kopi.
“Coba deh, nggak bakalan sakit perut. Coba secangkir dulu nanti saya tambah secangkir lagi,” Iwan kembali meyakinkan.
Pengunjung itu sempat ragu dengan muka sedikit cemas namun akhirnya tandas juga kopi secangkir.
“Nanti tambah lagi secangkir ya,” kata Iwan sambil melanjutkan presentasi di depan rombongan pemberitaan dan jurnalis dari MPR.
“Kopi tidak menyebabkan sakit lambung atau maag. Jika mengerti prosesnya dan diolah dengan benar, kopi dapat menyehatkan tubuh,” tambahnya.
Menurut Iwan, tidak mungkin menghilangkan kafein sepenuhnya dari kopi. Apalah artinya menyesap atau menyeruput kopi tanpa kafein. “Itu sama saja merokok tanpa nikotin. Sama saja dengan merokok elektronik yang keluar cuma asap doang,” selorohnya.
Kualitas Dunia
Kopi arabika dari Indonesia, menurut Iwan, termasuk peringkat kelima terbaik di dunia. Sejumlah kedai kopi dunia menempatkan kopi asal Indonesia pada level yang istimewa. “Karena itu setiap berkunjung ke luar negeri saya mampir ke beberapa kedai kopi yang terkenal di dunia dan saya koleksi biji-biji kopi berkualitas asal Indonesia,” ujarnya bangga.
Kopi asal Indonesia sudah sejak zaman kolonial menjadi favorit dunia. Sampai saat ini kecintaan dunia atas kopi Indonesia tak pernah surut. Sekaliber kedai Starbucks saja sangat mengandalkan kopi Indonesia dalam menentukan seorang karyawannya naik level menjadi barista.
Saya terkaget-kaget sekaligus bangga ketika membaca memoar Michael Gates Gill, “How Starbucks Saved My Life” yang mengisahkan pengalamannya sebagai seorang karyawan sebuah kedai Starbucks. Kedai yang telah menyalamatkan hidupnya dari seorang yang paling paria dan hina di negara kapitalis Amerika Serikat.
Michael awalnya salah seorang presiden di perusahaan periklanan multinasional J. Walter Thompson (JWT). Jabatan yang sangat prestisius dengan berbagai fasilitas mewah. Lulusan Yale University ini di kalangan eksekutif Amerika Serikat dikenal sebagai sosok yang sempurna.
Dia telah memiliki segalanya: rumah mewah di pinggiran kota, istri dan anak yang penuh kasih, berbagai pujian datang dari segala penjuru dan pesta di restoran-restoran mewah.
Namun petaka terjadi ketika usianya menginjak 53 tahun. Bagaikan petir di siang bolong, Michael yang mendedahkan segala raga, jiwa dan pikirannya untuk perusahaan tiba-tiba harus menerima pemecatan dari anak buah yang sebelumnya dipromosikannya. Usia 53 tahun kendati masih produktif di dunia profesional kapitalis tetap saja dianggap sebagai overhead.
Inilah mula petaka yang membuat Michael yang masyhur, relasi di berbagai penjuru negara makan serta rapat di restoran mewah menjadi seorang penganggguran, penyakitan dan harus bercerai serta terpisah dengan anak dan istrinya. Gila! Dari seorang presiden perusahaan periklanan dunia tiba-tiba menjadi seorang pengangguran dan untuk membeli satu gelas kopi pun tidak punya duit.
Membaca memoar ini siapapun bisa dibuat menangis. Michael dari seorang presiden karena membutuhkan pekerjaan sampai rela jadi tukang bersih-bersih toilet kedai Starbucks. Tapi yang menarik dari buku yang sudah difilmkan ini ketika Michael pertama kali diperkenalkan oleh suvervisornya kepada kopi. Dan kopi yang menjadi testernya adalah kopi asal Sumatra.
Menariknya, ketika mencoba kopi sumatra itu, supervisornya memiliki tradisi menerangkan riwayat kopi tersebut. “Kopi sumatra berasal dari Indonesia. Orang Belanda membawanya ke Eropa tiga ratus tahun yang lalu dan sekarang kopi ini menjadi bagian dari kategori kopi yang kami sebut “berani”. (hal 78).
Dalam buku yang terjemahannya diterbitkan Literati ini dikisahkan juga tentang awal mulanya ditemukan tumbuhan kopi beratus-ratus tahun yang lalu. Seorang penggembala kambing di Ethiopia terpesona ketika kambing-kambingnya sangat agresif dan kaki belakangnya ikut menari mengikuti irama seruling yang ditiup sang penggembala.
Sambil menari-nari ternyata kambing itu juga mengunyah buah-buahan sejenis berry. Merasa penasaran, sang pemuda itu pun mencoba mengunyah berry dari pohon yang tidak terlalu tinggi tersebut. Alhasil, pemuda itu menjadi ikut-ikutan dan tergerak untuk berdansa bersama kambing-kambingnya.
Belakangan berry tersebut dikenal sebagai biji kopi. Masyarakat Ethiopia pun tidak lagi berburu di bukit yang jauh tetapi mulai menanamnya dan menarik perhatian penjajah. Seorang Prancis membawa bibit kopi ke Amerika Latin pada awal abad ke delapan belas dan orang Belanda membawa tanaman kopi itu ke Indonesia lebih awal yaitu abad keenambelas.
Mengolah Kopi
Setelah menyesap kopi racikan Iwan, banyak pengunjung yang mengaku tidak lagi merasakan sakit maag atau asam lambungnya kambuh. Malah mereka seolah ketagihan dan ternyata kini lebih suka menyeruput kopi tanpa gula.
“Banyak yang salah kaprah. Ketika disediakan gula jangan semuanya dimasukkan, secukupnya saja. Kebanyakan gula, rasa kopinnya aka hilang. Lebih baik minum kopi itu tapa gula,” saran Iwan. “Inilah yang menyebabkan konsumsi gula di Indonnesia sangat tinggi dann berakibat pada bayaknya penderita diabetes.”
Dalam kesempatan itu Iwan juga mencontohkan cara menyangrai kopi yang benar dalam gerabah di atas tungku kayu bakar. Menurut Iwan, panas gerabah setidakya mencapai 200-300 derajat celcius. Kopi disangrai selama 15 menit kemudian digiling dan setelah itu bisa langsung diseduh.
“Kopi yang telah digiling harus disimpan dalam toples yang kedap sehingga cita rasa terjaga,” saran Iwan yang dikenal sebagai juri kotes kopi innternasional.
Menikmati kopi, kata Iwan, juga tidak sembarangan. Ada seninya. “Hidung harus didekatkan pada bibir cangkir. Saat aromanya sudah merasuk ke hidung, baru disruput. Saat menyeruput kopi harus sampai berbunyi ‘sruuut’,” ujar Iwan putra almahum Mohamad Slamet seorang sinder di perkebunan kopi Treblasala, Banyuwangi.
“Menikmati kopi juga saya sarankan dalam kondisi santai dan tidak terburu-buru,” tambah Iwan.
Iwan mempraktikkan suasana menyesap kopi yang santai di sangarnnya. Pengunjung selain disambut dan dihibur tarian Gandrung disediakan penganan ringan seperti pisang goreng dan tahu goreng. Pisang kepok yang tersaji sangat manis dan legit. Rahasianya, pisang bukan hasil peraman tapi langsung diambil dari pohon.
“Minimal pisang tersebut sudah sangat matang di pohon dan cukup dibiarkan dua hari saja sudah matang semua,” ujar Iwan.
Mencari Kopai Osing
Tak terasa hampir tiga jam paripurna menikmati suasana dan menyeruput beberapa cangkir kopai Osing yang diaduk sendok berbahan kayu kelapa atau kayu pohon nira. Sangat unik. Hampir seluruh rombongan menenteng goodibag yang di dalamnya beberapa kemasan kopi bermerek Kopai Osing.
“Setelah saya pulang dari sini, dimana saya dapat mendapatkan Kopai Osing?” tanya seorang pengunjung ditujukan kepada Iwan yang mengantarnya sampai bus rombongan.
Iwan yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya tersenyum. Rombongan yang menunggu jawaban Iwan ikut-ikutan tersenyum seolah sudah mengerti jawabannya.
“Sekali seduh kita bersaudara,” ucap Iwan penuh makna.
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada