Foto: Kontan
Puncaknya, kebijakan itu dituangkan secara monumental di tanah jajahan dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sejak 1918.
Belakangan, kebijakan itu bahkan seperti sudah mendarah daging dan merasuk ke pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi. Buktinya, selama ketiga rezim itu berkuasa, kebijakan warisan itu selalu memakan korban dari mulai pemberangusan pers hingga pemenjaraan wartawan.
Secara garis besar kebijakan pemerintah kolonial dalam membatasi ruang gerak pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana. Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah.
Kedua, dalam bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem agunan, dan lisensi atau rekomendasi. Ketiga, sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta modal minimal pendirian sebuah perusahaan media. Keempat, sarana-sarana sosial. Biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan sensor.
Mirjam Maters (2003), ilmuwan Belanda kelahiran Utrecht 26 Mei 1963 mendeskripsikan, menganalisis, dan menyimpulkan kebijakan penguasa kolonial secara komprehensif. Kebijakan pers yang diteliti dalam rentang 1906-1942 ini terbagi ke dalam lima periode.
Setiap periode menjelaskan setiap kebijakan yang dikeluarkan berikut latar belakang yang menyertai dan mendasarinya.
Pertama, periode 1906-1913. Pada periode ini pers benar-benar bebas. Ini ditandai dengan penghapusan sensor preventif terhadap barang cetakan.
Pemerintah kolonial juga mendukung pertumbuhan pers yang dapat memajukan penduduk pribumi.
Pada masa ini setiap orang bebas menerbitkan media cetak. Surat izin bahkan dapat diurus belakangan, selambat-lambatnya 24 jam setelah terbit. Pemerintah juga memosisikan sebagai lembaga pengawas bukan lembaga sensor. Untuk mengawasi pers, gubernur jenderal memberikan penerangan dan memberikan subsidi modal.
Kedua, periode 1913-1918. Masa ini adalah saat-saatnya tumbuh transparansi dan pers bebas. Penduduk pribumi benar-benar mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri yang berpengaruh pada bidang politik. Apalagi setelah terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), koran-koran sangat bebas memuat perdebatan-perdebatan para politisi.
Ketiga, periode 1918-1927.
Sebaliknya, periode ini adalah awal-awal kemunduran bagi pers pribumi. Penguasa kolonial banyak membatasi pers, khususnya pers radikal seiring dengan bangkitnya nasionalisme penduduk pribumi yang diwujudkan dengan berdirinya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan politik yang radikal pula.
Puncaknya adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia di sejumlah daerah yang berhasil ditumpas tentara kolonial.
Pada periode ini pemerintah kolonial mulai memberlakukan KUHP. Di dalamnya terdapat ranjau-ranjau hukum pidana pers. Yang paling seram adalah Pasal 154-157 tentang delik penyebaran kebencian (haatzaai artikelen), serta pasal 207-208 tentang delik terhadap kekuasaan negara.
Satu tahun kemudian, puluhan wartawan dijebloskan ke penjara karena menulis berita yang tak sesuai dengan selera penguasa.
Keempat, periode 1927-1931. Masa ini adalah era penerapan ordonansi pemberangusan pers. Pemerintah tanpa melibatkan pengadilan dapat melarang sementara terbitan berkala setelah memberikan peringatan.
Dalam aturan ini, gubernur jenderal bisa memberedel surat kabar dengan dalih "mengganggu ketertiban umum". Masa pemberedelan selama-lamanya delapan hari, dan jika masih bandel diperpanjang 30 hari.
Kelima, periode 1931-1942.
Periode ini adalah puncaknya pemberangusan pers yang ditandai dengan pemberedelan sejumlah media. Pada masa ini penguasa kolonial sudah berhasil menguasai kebijakan pengendalian pers secara administratif, yuridis, sosial, dan ekonomis. Kebijakan pers pemerintah kolonial berakhir setelah Jepang tiba di Indonesia pada 1942.
Kendati penguasa kolonial tamat, namun kebijakannya ternyata masih menjadi pegangan para penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Pemerintahan Orde Lama misalnya pada 1954 mengeluarkan UU No. 23/1954 tentang Pers. Undang-undang ini ternyata banyak memakan korban baik dalam pemberangusan pers maupun pemenjaraan wartawan.
Kemudian roh kolonial juga dilanjutkan penguasa Orde Baru dengan menciptakan lembaga perizinan yang bernama Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada 1984. Lagi-lagi lembaga lisensi ini juga memakan banyak korban yang puncaknya ditandai dengan pemberedelan majalah Editor, tabloid Detik, dan majalah Tempo pada 1994.
Dan sepertinya di alam reformasi ini, warisan kolonial itu akan tetap banyak memakan korban. Setidaknya, KUHP telah mengancam banyak jurnalis dan satu di antaranya adalah Pemred Rakyat Merdeka Karim Paputungan. Dia divonis lima bulan penjara dan masa percobaan sepuluh bulan dengan tuduhan menghina Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung dalam sebuah karikatur di harian itu.
Atau terakhir adalah dikalahkannya Koran Tempo oleh pengusaha Tomy Winata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pemberitaan yang bermasalah adalah pada edisi 6 Januari 2003 yang menyebutkan Tomy Winata akan membangun usaha judi di salah satu pulau di kawasan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pengendalian pers di Indonesia lebih tepat disebut sebagai warisan kolonial daripada hasil perkembangan domestik yang otonom. Ini bisa dibuktikan dengan rancangan revisi KUHP, khususnya yang berkaitan dengan pers. Sebelumnya, dalam KUHP yang berumur dua abad itu ada 37 pasal yang memasung pers.
Namun dalam revisi versi Departemen Kehakiman dan HAM jumlahnya ditambah sehingga menjadi 44 pasal. Jelas sekali di sini bahwa pemerintah masih ingin mempertahankan warisan kolonial itu.
Kalangan jurnalis menginginkan hakim menggunakan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk memutus kasus-kasus yang ada kaitannya dengan delik pers. Menurut mereka Undang-undang Pers itu sudah cukup untuk menindak sejumlah pelanggaran yang dilakukan wartawan atau institusi pers.
Namun entah kenapa penegak hukum Indonesia lebih senang menggunakan KUHP. Kemungkinannya, para penegak hukum beranggapan bahwa UU Pers lebih memihak kepada institusi pers dan wartawan daripada ke pihak yang dirugikan pers. Dalam Pasal 18 Ayat 2 disebutkan, "Perusahaan pers yang memberitakan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, asas praduga tak bersalah, serta tidak melayani hak jawab dikenai pidana denda paling banyak Rp 500 juta".
Sedangkan dalam Pasal 18 Ayat 1, "Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi seperti melakukan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta".
Sekarang pertanyaannya, bila hakim terus-terusan menggunakan KUHP untuk menyelesaikan masalah pers, mau dikemanakan UU No. 40 Tahun 1999. Kalangan yang emosional lebih memilih UU Pers tersebut dicabut saja karena tidak ada fungsinya sama sekali. Namun, sebagian lagi menghendaki UU Pers direvisi seperti yang dihendaki Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Juli 2004
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada