DE Java Hotel di bilangan Sukajadi, Kota Bandung, pagi itu sejak kemarin diguyur hujan. Dingin, tiris, ngahodhod dan sebenarnya lebih enak menarik selimut untuk melanjutkan mimpi ngawur malam tadi.
Namun pesan dalam telepon gagap (bukan telepon pintar karena hape sering error), memilih tidak melanjutkan tidur, lebih elite sedikit, riset kecil-kecilan karena panitia Bimbingan Teknis Penulisan Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengagendakan kunjungan lapangan ke Museum Konferensi Asia Afrika, Museum Wangsit Siliwangi, Museum Sri Baduga dan ke petilasan Penjara Banceuy.
Naam, terus terang saja saya mengetahui kisah Penjara Banceuy–satu dari dua penjara di Bandung yang telah membuat jiwa pejuang Soekarno semakin matang setelah Sukamiskin–lebih banyak dari buku. Di antaranya "Kuanter ke Gerbang (Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)", sebuah biografi sejarah karya sastrawan Ramadhan KH.
Dalam biografi itu di antaranya dikisahkan tentang asmara bertaut umur antara Inggit (35) dan Bung Karno (22). Bukan percintaan biasa melainkan kisah romantika yang penuh perjuangan dan pengorbanan.
Coba bayangkan alat rumah tangga dan perhiasan Inggit pun dikorbankan untuk mendukung perjuangan Bung Karno (Inggit menyebut Sukarno itu Kusno).
Namun dalam perjalanan dari hotel menuju petilasan eks penjara, kelompok kecil kami sudah terlibat perdebatan dan komentar perihal percintaan antara anak kos dan induk semang tersebut.
“Wah berarti Bung Karno merebut istri orang, dong,” kata seorang teman.
Teman lain menimpali, “Kalau gitu bisa juga dianggap selingkuh ya.”
[Tatapannya seperti lebih menajam lagi, lebih mengepungku, mengalahkan segala kesunyian dan segala keakuanku. Dia ulangi lagi pernyataan sukanya kepadaku. Dia menggeser tangannya, merayap perlahan-lahan dan meyentuh tanganku. Kurasakan tenaganya. Dadanya mendekat, bibirnya mendekat. Aku ditarik dan berpindah tempat. ….Hendaknya semua maklum apa yang terjadi selanjutnya. Aku malu menceritakannya. hal 32]
“Gimana ya perasaan Sanusi alias Kang Uci (suami Inggit). Cemburu nggak, ya?”
“Kalau jarak usianya jauh, berarti Ibu Inggit doyan brondong,” kata seorang teman perempuan.
Anggota kelompok yang lebih bijak menimpali, “Bung Karno tidak merebut atau berselingkuh. Karena H. Sanusi yang usianya lebih tua dari Inggit tahu istrinya punya rasa dengan Bung Karno. Maka demi perjuangan Bung Karno, Sanusi rela menceraikan istrinya dan mengembalikan ke orangtuanya….”
[“Kita selesaikan persoalan kita. Bagaimana kalau seandainya kita benar-benar berpisah apa yang akan kamu perbuat?”
“Saya akan kembali ke Ema, Ibu. Ke rumah Ibu maksud saya.”
“Lalu?” tatapannya penasaran.
“Ya, begitu, tinggal bersama Ibu,” jawabku.
“Kalau begitu tidak bisa,” katanya. “Kalau begitu aku tidak setuju. Bakal memalukan dan jadi heboh.”
“Heboh apa?”
“Begini,” katanya sungguh-sungguh. “Terimalah dulu lamaran Kusno itu. Setelah jelas begitu, Akang jatuhkan talak….Jadikanlah nikah dengan Kusno. Jadikanlah ia orang penting. Eulis (panggilan sayang) pasti bisa mendorongnya sampai ia menjadi orang penting. Kalau tidak begitu, bakal banyak saudagar yang mendekat Eulis, melamar Eulis, dan Akang tidak sudi.” hal 37]
Anggota kelompok perempuan tidak berkomentar. Mungkin dalam batinnya mereka heran dan bertanya-tanya. “Emang ada cowok yang rela istrinya diembat orang?”
Itulah sejarah. Dari bagian kecil tentang sosok Bung Karno dan Inggit Garnasih ini bisa melahirkan berbagai pendapat atau kalau lebih serius lagi bisa muncul beragam interpretasi.
Sejarawan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Indonesia (UI) dalam pelatihan penulisan sejarah di Bandung mengatakan sah-sah saja muncul berbagai interpretasi dalam sejarah. Malahan bila hanya ada satu pendapat tentang sebuah isu sejarah, itu patut dicurigai.
Lantaran itu tidak ada istilah pelurusan sejarah seperti selama ini selalu dikemukakan sejarawan Dr. Asvi Warman Adam. Sejarah itu nggak bisa dibuat lurus karena kredonya juga sejarah itu identik dengan beragam penafsiran yang pada ujungnya juga melahirkan aneka interpretasi.
“Yang tepat itu adalah pengkajian sejarah, bukan pelurusan sejarah,” kata Prof. Dr. Reiza D. Dienaputra dari Unpad.
Sampai di tujuan saya kaget. Saya membayangkan penjara itu masih utuh. Paling tidak selevel bui Paledang Bogor atau paling tidak seukuran tahanan Polda Metro Jaya.
Di lokasi hanya ditemukan sebuah kamar serukuran 210 x 146 sentimeter persegi. Awalnya terdiri 16 sel, yang tersisa tinggal sel nomor lima yang dulu dihuni Bung Karno selama hampir delapan bulan.
Sel masih orisinil termasuk lantai, peralatan minum, pintu dan kuncinya. Kalau tidak ada tugu di bagian depan, siapapun tak menduga di dalam areal ruko dan pusat bisnis tersebut terselip sebuah sel sempit yang telah melahirkan seorang pemimpin besar dan pidato pembelaannya tahun 1930 mengguncang penguasa kolonial Belanda, “Indonesia Menggugat”.
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada