Skip to main content

Menengok Sel Nomor 5


Foto: Yayat R Cipasang

DE
Java Hotel di bilangan Sukajadi, Kota Bandung, pagi itu sejak kemarin diguyur hujan. Dingin, tiris, ngahodhod dan sebenarnya lebih enak menarik selimut untuk melanjutkan mimpi ngawur malam tadi.

Namun pesan dalam telepon gagap (bukan telepon pintar karena hape sering error), memilih tidak melanjutkan tidur, lebih elite sedikit, riset kecil-kecilan karena panitia Bimbingan Teknis Penulisan Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengagendakan kunjungan lapangan ke Museum Konferensi Asia Afrika, Museum Wangsit Siliwangi, Museum Sri Baduga dan ke petilasan Penjara Banceuy.

Naam, terus terang saja saya mengetahui kisah Penjara Banceuy–satu dari dua penjara di Bandung yang telah membuat jiwa pejuang Soekarno semakin matang setelah Sukamiskin–lebih banyak dari buku. Di antaranya "Kuanter ke Gerbang (Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)", sebuah biografi sejarah karya sastrawan Ramadhan KH.

Dalam biografi itu di antaranya dikisahkan tentang asmara bertaut umur antara Inggit (35) dan Bung Karno (22). Bukan percintaan biasa melainkan kisah romantika yang penuh perjuangan dan pengorbanan. 

Coba bayangkan alat rumah tangga dan perhiasan Inggit pun dikorbankan untuk mendukung perjuangan Bung Karno (Inggit menyebut Sukarno itu Kusno).

Namun dalam perjalanan dari hotel menuju petilasan eks penjara, kelompok kecil kami sudah terlibat perdebatan dan komentar perihal percintaan antara anak kos dan induk semang tersebut.

“Wah berarti Bung Karno merebut istri orang, dong,” kata seorang teman.

Teman lain menimpali, “Kalau gitu bisa juga dianggap selingkuh ya.”

[Tatapannya seperti lebih menajam lagi, lebih mengepungku, mengalahkan segala kesunyian dan segala keakuanku. Dia ulangi lagi pernyataan sukanya kepadaku. Dia menggeser tangannya, merayap perlahan-lahan dan meyentuh tanganku. Kurasakan tenaganya. Dadanya mendekat, bibirnya mendekat. Aku ditarik dan berpindah tempat. ….Hendaknya semua maklum apa yang terjadi selanjutnya. Aku malu menceritakannya. hal 32]

“Gimana ya perasaan Sanusi alias Kang Uci (suami Inggit). Cemburu nggak, ya?”

“Kalau jarak usianya jauh, berarti Ibu Inggit doyan brondong,” kata seorang teman perempuan.

Anggota kelompok yang lebih bijak menimpali, “Bung Karno tidak merebut atau berselingkuh. Karena H. Sanusi yang usianya lebih tua dari Inggit tahu istrinya punya rasa dengan Bung Karno. Maka demi perjuangan Bung Karno, Sanusi rela menceraikan istrinya dan mengembalikan ke orangtuanya….”

[“Kita selesaikan persoalan kita. Bagaimana kalau seandainya kita benar-benar berpisah apa yang akan kamu perbuat?”

“Saya akan kembali ke Ema, Ibu. Ke rumah Ibu maksud saya.”

“Lalu?” tatapannya penasaran.

“Ya, begitu, tinggal bersama Ibu,” jawabku.

“Kalau begitu tidak bisa,” katanya. “Kalau begitu aku tidak setuju. Bakal memalukan dan jadi heboh.”

“Heboh apa?”

“Begini,” katanya sungguh-sungguh. “Terimalah dulu lamaran Kusno itu. Setelah jelas begitu, Akang jatuhkan talak….Jadikanlah nikah dengan Kusno. Jadikanlah ia orang penting. Eulis (panggilan sayang) pasti bisa mendorongnya sampai ia menjadi orang penting. Kalau tidak begitu, bakal banyak saudagar yang mendekat Eulis, melamar Eulis, dan Akang tidak sudi.” hal 37]


Anggota kelompok perempuan tidak berkomentar. Mungkin dalam batinnya mereka heran dan bertanya-tanya. “Emang ada cowok yang rela istrinya diembat orang?”

Itulah sejarah. Dari bagian kecil tentang sosok Bung Karno dan Inggit Garnasih ini bisa melahirkan berbagai pendapat atau kalau lebih serius lagi bisa muncul beragam interpretasi.

Sejarawan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Indonesia (UI) dalam pelatihan penulisan sejarah di Bandung mengatakan sah-sah saja muncul berbagai interpretasi dalam sejarah. Malahan bila hanya ada satu pendapat tentang sebuah isu sejarah, itu patut dicurigai.

Lantaran itu tidak ada istilah pelurusan sejarah seperti selama ini selalu dikemukakan sejarawan Dr. Asvi Warman Adam. Sejarah itu nggak bisa dibuat lurus karena kredonya juga sejarah itu identik dengan beragam penafsiran yang pada ujungnya juga melahirkan aneka interpretasi.

“Yang tepat itu adalah pengkajian sejarah, bukan pelurusan sejarah,” kata Prof. Dr. Reiza D. Dienaputra dari Unpad.

Sampai di tujuan saya kaget. Saya membayangkan penjara itu masih utuh. Paling tidak selevel bui Paledang Bogor atau paling tidak seukuran tahanan Polda Metro Jaya.

Di lokasi hanya ditemukan sebuah kamar serukuran 210 x 146 sentimeter persegi. Awalnya terdiri 16 sel, yang tersisa tinggal sel nomor lima yang dulu dihuni Bung Karno selama hampir delapan bulan.

Sel masih orisinil termasuk lantai, peralatan minum, pintu dan kuncinya. Kalau tidak ada tugu di bagian depan, siapapun tak menduga di dalam areal ruko dan pusat bisnis tersebut terselip sebuah sel sempit yang telah melahirkan seorang pemimpin besar dan pidato pembelaannya tahun 1930 mengguncang penguasa kolonial Belanda, “Indonesia Menggugat”.

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f