Skip to main content

Jurnalisme Siger Tengah, Bukan Berarti Takut


UPAYA
Pikiran Rakyat (PR) mengubah format sejak 2 Januari 2006 adalah sebagai tanda koran kebanggaan masyarakat Jawa Barat ini berusaha menghindari kejumudan. Buktinya, kini “PR” dari segi format lebih ramping dengan bentuk kompak dan dari sisi visual lebih menarik (eye catching). 

Benar, seperti yang dikutip Syafik Umar: “Yang tidak berubah itu adalah perubahan itu sendiri” (Pikiran Rakyat, 1/1). Sikap ini menandakan bahwa “PR” siap berubah dan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman! 

Mudah-mudahan, perubahan “PR” bukan sebuah akhir dan final (establishment). Pakar komunikasi Deddy Mulyana dari Universitas Padajajaran dan Septiawan Santana dari Univestiras Islam Bandung secara khusus dalam artikelnya sudah mengomentari perubahan format “PR” (Pikiran Rakyat, 2/1).

Tetapi saya sebagai pembaca lebih mengamati “PR” pascaperubahan format dari sisi redaksionalnya. Ada dua hal yang mendasari saya perlu mengomentari dan memberi saran kepada “PR” dalam usianya yang delapan windu ini. 

Pertama, karena saya pembaca “PR” dan yang kedua karena alasan primordial. Saya adalah pituin warga Sunda yang merasa memiliki dan peduli dengan kelangsungan “PR” sebagai kebangaaan warga Jawa Barat. 

Jurnalisme Siger Tengah 

Dari pengamatan awam sebagai pembaca, perubahan “PR” memang tidak seagresif dan seakspansif koran lain. Dari segi redaksional, “PR” memang cenderung konservatif (hati-hati) dan menghindari pemberitaan bombastis. 

Dalam istilah H. Yoyo S. Adiredja (Pikiran Rakyat, 1/1), juranalisme yang dianut “PR” adalah juranalisme siger tengah. Artinya, jurnalisme yang berusaha mendudukkan berbagai persoalan secara proporsional dan bijak. 

Tetapi saya menilai, sikap konservatif setelah era reformasi berbeda dengan konservatif saat Orde Baru berkuasa. Konservatif pada era Orde Baru lebih dominan pada kebijakan pemerintah (top down) sedangkan konservatif atau kehati-hatian setelah era reformasi lebih banyak berupa kebijakan redaksional. Artinya, konservatif adalah pilihan atau ideologi dalam menyiarkan sebuah pemberitaan. 

Kini sensor dan resistensi bukan dari pemerintah seperti pada zaman Orde Baru tetapi dari masyarakat. Dalam pandangan saya, konservatif yang dipilih “PR” bukan berarti sebuah kekalahan atau takut tetapi sebagai ikhtiar untuk menciptakan harmoni. 

Kini, di saat ekonomi sulit dan konflik horizontal meluas, pembaca sudah jenuh dengan kekerasan dan berita-berita bombastis. Buktinya, sudah banyak tabloid berita/politik yang tumbang. Mereka tumbang karena semuanya mengandalkan berita yang bombastis dan akhirnya ditinggalkan pembacanya. 

Celakanya, jejak tabloid itu kini diikuti oleh beberapa harian lokal untuk mendongkrak oplah. Berita bombastis dan spekulatif menjadi andalannya. Terakhir, korbannya adalah harian Jawa Pos. Demi sebuah berita eksklusif seorang redakturnya membuat berita bohong dan seolah-olah telah terjadi wawancara dengan istri almarhum gembong teroris Azahari. 

Belakangan terbongkar, berita berseri itu adalah hasil imajinasi redakturnya. Sang redaktur dipecat dan pemrednya meminta maaf kepada publik. Kredibilitas hancur! 

Idealisme 

Saya masih percaya pada idealisme yang dikembangkan “PR” dalam mencerdaskan bangsa. Ini bisa dibuktikan dengan suplemen yang dibuat “PR”. Di saat koran lain mengembangkan suplemen yang mendulang iklan, “PR” lebih memilih sisipan yang tidak “basah” atau kering iklan. Misalnya saja sisipan Cakrawala, Belia, Mahasiswa, Khazanah, Teropong, Peer Kecil, Hikmah dan Gelora. Kecuali (mungkin) suplemen Otokir. 

Coba bandingkan dengan koran atau harian lain yang lebih memilih suplemen yang banyak mendatangkan pulus seperti jenis otomotif, elektronika, dan properti. Bahkan dalam suplemen ini mereka tidak lagi menganut fire wall (batas api) yang mencerminkan prinsip bahwa antara berita dan iklan termasuk advertorial harus dipisahkan secara tegas. Selain sebagai iklan terselubung suplemen jenis ini juga dapat menyesatkan pembaca. 

Syukur, “PR” tidak terseret untuk mengikuti syahwat kapitalisme dengan memanfaatkan halaman koran untuk mendulang iklan sebanyak-banyaknya dengan cara-cara tidak fair. Apalagi dengan cara menipu pembaca lewat suplemen. 

Saran 

Menyambut hari jadi “PR” ini saya menyarankan untuk dua hal. Pertama, saya berharap “PR” dapat menyajikan lebih banyak tulisan-tulisan berupa feature dari mulai halaman pertama hingga terakhir. Tulisan-tulisan human interest yang dikemas dalam feature menurut saya akan lebih menyentuh dan pesannya lebih bermakna kepada pembaca. 

Tulisan feature yang berdiri sendiri atau berupa cantelan dengan berita lainnya saya pikir cukup bermanfaat untuk pembaca. Feature yang bersifat lokalitas saya kira tidak sedikit di Jawa Barat yang luas ini. Banyak peristiwa atau sosok yang bisa dijadikan feature dan hingga kini tidak tergali. Minimal satu feature dalam setiap halaman saya kira sudah menambah bobot “PR”. Feature, selain lebih mengugah pembaca dalam beberapa hal juga cukup menghibur. 

Kedua, saya berharap “PR” juga mentradisikan penulisan nama jelas atau bayline dalam setiap pemberiatannya. Selain untuk mengenal penulis beritanya, nama jelas juga sebagai wujud dari kredibilitas pemberiataan. Nama jelas bisa menjadi jaminan bahwa berita itu layak baca dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Sebelumnya, harian KOMPAS sudah menerapkan itu. Tetapi belakangan tulisan byline semakin berkurang. Ada beberapa alasan yang berkembang. Byline dihapus karena memang beritanya bersifat keroyokan sehingga kalau ditulis nama jelas selain panjang berderet juga mengganggu visual atau layout. 

Alasan lain, tulisan seorang reporter banyak yang tidak memenuhi standar jurnalistik sehingga harus diolah kembali oleh redakturnya. Intinya, nama reporter itu tidak layak untuk ditulis karena kualitas penulisannya jelek. 

Dua alasan ini sebenarnya bisa diakomodasi. Filosofinya, setiap tulisan pasti ada penanggung jawabnya. Penulis utama namanya bisa ditulis jelas sementara penulis pendukung atau reporternya bisa ditulis dengan inisial di akhir tulisan. 

Byline bukanlah sekadar nampang nama atau gagah-gagahan. Tetapi di balik itu ada tujuan hebat yaitu memotivasi jurnalis bertangung jawab. Bahkan di beberapa media, baik lokal atau mancanegara sudah banyak wartawan yang berani mencantumkan alamat surat elektronik (e-mail) di akhir tulisannya. 

“PR” sejauh ini baru menyertakan surat elektronik reporternya di suplemen Belia dan Mahasiswa. Mudah-mudahan pencantuman surel sejenis juga dapat dipraktikkan di rubrik atau berita lainnya. 

Terakhir, selamat ulang tahun Pikiran Rakyat. Semoga misi mencerdaskan bangsa menjadi prioritas di tengah godaan amplop dan kapitalisme yang merajalela.[] 

Jakarta, 21 Maret 2006

Comments

  1. Anonymous7:57 PM

    This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda Berkomentar Maka Saya Ada

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f