Skip to main content

Kebenaran Diproduksi di Pabrik (Buzzer)


Foto: Dok. Pribadi

KEBENARAN tidak lagi ditemukan tetapi diproduksi secara massal di pabrik. Begitulah kira-kira kenyataan dan sinisme yang terjadi di negeri gaduh ini. Kebenaran pun tidak ada yang sejati melainkan relatif, tergantung versi atau pesanan pihak ini dan itu. Arkian, kebenaran kini bisa diorder dengan nilai dan angka tertentu.

Produksi dan masifnya industri kebenaran begitu terasa di era Jokowi. Pada pemerintahan sebelumnya, tepatnya di era SBY industri kebenaran juga terasa tetapi tidak begitu masif karena penguasa bisa menahan diri termasuk tidak ‘mengancam’ media, cukup mengeluh. Adapun situs yang diblokir itu hanya situs porno (?).

Nah sekarang, malah sebaliknya. Situs porno begitu merajalela dan bisa dipelototi dengan aneka program. Pemerintah malah sibuk dengan mainan baru, menelisik dan memblokir situs penyebar ujaran kebencian dan intoleran (?).

Dalam politik memang tidak ada istilah kebenaran tetapi yang ada adalah kepentingan dan kekuasaan. Kekuasaan tidak mutlak karena kekuasaan di negara yang sudah ditakdirkan demokratis ini kekuasaan telah dikavling-kavling.

Namun di Indonesia yang berpolitik lebih banyak improvisasi daripada merujuk teori, selalu melahirkan anomali. Ada yang bilang itu kehebatan Indonesia tetapi ada juga yang bilang itu kelemahan Indonesia yang permisif dalam bernegara dan berpolitik.

Kini, bangsa Indonesia secara nyata terbagi ke dalam dua kubu besar bila melihat polarirasi media arus utama dan juga pendapat masyarakat di media sosial. Ada kelompok masyarakat pendukung pemerintah dan di sisi lain ada kelompok masyarakat yang beroposisi dengan pemerintah kendati tidak berpartai.

Pada masa SBY siapapun bebas mengkritik penguasa sampai maaf ke soal fisik dan tahi lalat sang presiden kala itu yang raib. Media arus utama yang mengaku leader pasar di Indonesia seperti Kompas dan Media Indonesia sangat kritis kepada SBY. Padahal persoalannya hampir sama bahkan mungkin ada yang menyebut permasalahan kiwari lebih rumit, jamak atau pabaliut.

Media besar yang selama ini menjadi rujukan telah kehilangan kepercayaan dari kelompok masyarakat yang beroposisi dengan pemerintah. Media besar dianggap telah bermain-main dengan framing, discourse, semiotika dan agenda setting versinya atau pemerintah.

Masyarakat yang beroposisi dengan pemerintah, apakah itu karena persoalan ideologi atau dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak lebih teralienasi karena wakil rakyat yang seharusnya kritis pun malah seperti menderita sariawan. Bungkam melihat berbagai kebijakan yang melenceng dan merugikan rakyat.

Kemana para vokalis yang begitu nyaring pada masa pemerintahan sebelumnya. Jangan-jangan mereka ini bungkam dan ciut nyali karena para petinggi partai mereka dua kakinya sudah tidak lagi bisa menapak sempurna dan tak kuasa berlari kencang lantaran satu kaki di Senayan dan sebelah lagi terikat di Rasuna Said Kuningan.

Ingat, parlemen itu parle. Ayo bicara dan berteriaklah! Apalagi jangan takut dirisak di media sosial. Toh, mereka bukan konstituen Anda. Mereka hanya buzzer soak yang nyaring kalau ada duit!


Jakarta, 26/01/2017

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f