EMPAT Pilar Kebangsaan yang di dalamnya ada Pancasila, selama ini seolah di awang-awang dan sulit diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal keempat konsep atau istilah tersebut sangat mudah dibumikan dan sangat implementatif dalam kehidupan sehari-hari.
Cukup bicaralah atau berpihaklah pada perkopian Indonesia maka di sana ada Empat Pilar Kebangsaan. Janganlah terlalu tinggi, apalagi bicara tentang Empat Pilar Kebangsaan dengan konsep yang banal seperti toleran dan intoleran yang belakangan ikut dibajak oleh kelompok dan barisan buzzer.
Nasionalisme dan Pancasila itu sangat sederhana. Sesaplah atau seruputlah secangkir kopi di pagi atau sore hari mulai dari rasakan sensasi kopi Gayo, Rejang Lebong, Lampung, Bogor, Gunung Puntang Bandung, Garut, Osing Banyuwangi, hingga kopi Papua. Bisa jadi yang tidak punya nasionalisme atau tidak pancasilais itu bukan saya, kita, kami atau mereka tapi bisa jadi malah pemerintah!
Tidak percaya? Dalam peluncuran buku “Kopi Indonesia, Kini dan Masa Depan” karya Yanty Faradillah di perpustakaan MPR baru-baru ini, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Ichsan Firdaus menilai pemerintah tidak serius memajukan kopi Indonesia.
“Bukan kopi yang dijadikan fokus pemerintah, tapi tanaman pangan dan padi,” ujarnya.
Sebagai wujud tidak seriusnya pemerintah mengelola kopi, menurut alumnus IPB ini, bisa dilihat dari anggaran yang dialokasikan. Dia mengatakan anggaran pemerintah untuk mengembangkan kopi hanya Rp 35,5 miliar, sedangkan untuk tanaman pangan triliunan rupiah.
Akibatnya, produktivitas kopi dalam negeri tertinggal dari negara-negara di ASEAN. “Meski lahan kopi Indonesia lebih luas daripada Vietnam, peringkat produksi kopi Indonesia di di urutan ke-4,” tuturnya.
Dia memuji Vietnam yang meski lahan kopinya sepertiga dari luas lahan di Indonesia, negara di kawasan Indochina sangat maju dalam urusan produktivitas kopi. Vietnam menduduki peringkat pertama di ASEAN dan nomor dua di dunia. “Kita kalah jauh,” ucapnya.
Karena itu, Ichsan menekankan pentingnya keseriusan dalam mengelola kopi. Dia mengatakan untuk meningkatkan produksi kopi nasional dibutuhkan pembenahan secara serius, baik di tingkat petani maupun dari kebijakan pemerintah pusat. Untuk mendorong produksi kopi yang berkualitas, diperlukan pembenahan, mulai bibit, peremajaan lahan, hingga pengorganisasian petani.
Ichsan juga menekankan pentingnya pengorganisasian untuk memudahkan peningkatan produktivitas kopi dalam negeri. Alumnus Pascasarjana Universitas Nasional itu juga mengungkapkan ada sisi lain dalam dunia perkopian di Indonesia yang perlu dibenahi, yakni kepemilikan lahan.
Rata-rata petani kopi hanya memiliki lahan 0,6 hektare. Untuk itu, dibutuhkan penguatan petani kopi. “Pentingnya peningkatan produksi nasional, karena pasar kopi dunia masih terbuka lebar,” katanya.
Sebagai penulis buku, Yanti dalam acara yang dihadiri oleh puluhan peserta itu mengungkapkan besarnya peluang berbisnis di sektor perkopian. Hal ini karena kopi merupakan budaya orang Indonesia. “Masyarakat suka dengan kopi. Untuk itu, jangan takut berbisnis kopi,” ujar perempuan yang menggeluti dunia itu sejak 2005.
Ia berharap pemerintah dan wakil rakyat bisa lebih memperhatikan para petani dan pengusaha kopi di Indonesia. “Harapannya, ada perhatian pada kopi dan stakeholder,” kata Yanty.
Kopi dari Indonesia, khususnya dari Jawa Barat, sempat mengguncang dunia pada pada ajang Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo di Atlanta, Amerika Serikat, 14-17 April 2016.
Dunia menghargai kopi Jabar dengan harga yang sangat pantastis karena kualitas dan citarasa spesifiknya. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 6 (enam) kopi asal Jawa Barat mengharumkan nama Indonesia di perhelatan kopi sejagat melalui uji standar Caswells Coffee
Keenam kopi yang berasal dari Jawa Barat, yaitu Gunung Puntang (petani Ayi Sutedja), Mekar Wangi (Wildan), Malabar Honey (Slamet P), Java Cibeber (Asep), West Java Pasundan Honey (Dedi Gunung Tilu) dan Andungsari (Wildan).
Arkian, jangan dulu bicara Nasionalisme dan Empat Pilar Kebangsaan, apalagi mengadu domba bangsa lewat jargon toleran dan intoleran kalau kita masih ngopi di kedai kopi asing.
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada