Judul : Bisnis Seks di Singapura
Judul Asli : No Money No Honey (a candid look at sex-for-sale in Singapore)
Pengarang : David Brazil
Pengantar : Bondan Winarno
Cetakan : Pertama, Juni 2005
Penerbit : Pustaka Primatama
Tebal : xiv + 232 halaman
BUKU hasil reportase investigasi atau menurut penulisnya disebut sebagai eksplorasi jurnalistik ini, benar-benar mengungkap hipokrisi atau kemunafikan Singapura. Selama ini Negeri Singa kerap disebut-sebut sebagai negara paling bermoral. Boleh dikatakan juga sebagai negara yang serba tidak. Tidak boleh menjual permen karet, tidak boleh membuang sampah sembarangan dan juga jelas-jelas tidak dengan pornografi dan pornoaksi.
Tetapi buktinya? Pusat-pusat pelacuran dari yang kelas bawah hingga yang elite, berkembang sesuai dengan karakteristik pasar masing-masing. Dari mulai pelacuran kelas gurem seperti di Geylang hingga pelacuran di kawasan Orchard Road. Buku ini juga menujukkan ternyata jumlah sentra pelacuran di Singapura lebih banyak dibandingkan dengan Jakarta yang dianggap “kurang bermoral”. Fantastis!
Kemunafikan juga ditunjukkan Menteri Perdagangan dan Industri Singapura George Yeo seperti dalam pernyataannya kepada Asiaweek (April, 2000): “Kami tidak mengiklankan prostitusi. Tapi tiap orang Singapura tahu Geylang dan apa yang terjadi di sana....” (hal. 3). Pernyataan ini tidak tegas. Padahal dalam kenyataannya pelacuran di Singapura sekarang tidak ada bedanya dengan konsep zaman Raffles. Demi duit, uang dan fulus!. Kalau begini masih pantaskah sebagian orang Singapura berucap: “Jangan mesumlah, kita ini orang Singapura!”
Dirunut dari sejarahnya, prostitusi di Singapura sudah menjadi lahan bisnis sejak Stamford Raffles memerintah pada 1819. Saat itu Raffles sudah berpikir bahwa pulau kecil itu akan menarik perhatian lelaki petualang dari Asia. Dengan dalih untuk mengentaskan kemiskinan dan mencari keuntungan, pelacuran pun legal sejak saat itu.(hal 1)
Data paling mutakhir menyebutkan sedikitnya ada 6.000 pelacur di Singapura. Mereka tidak hanya warga domestik tetapi para pendatang dari Thailand, Malaysia, Filipina, India, Vietnam dan Indonesia. Mereka ini punya tempat dan pasar berbeda. Pelacur Thailand misalnya, target yang dibidik adalah para pekerja konstruksi dari Negeri Gajah Putih. Tak jauh berbeda, para pelacur dari India juga membidik pasar laki-laki hidung belang keturunan atau pebisnis India.
Namun, David Brazil tidak menjelaskan target pasar para pelacur asal Indonesia yang cukup dikenal mangkal di Geylang tepatnya di antara Lorong 10/12 dan sepanjang Talma Road. Para pelacur Indonesia yang datang ke Singapura adalah mereka yang berangkat dari Batam. Mereka biasanya berangkat ke Singapura memanfaat izin berkunjung selama tiga hari.
Penghasilan pelacur Indonesia sejatinya adalah sangat kecil hanya 1.000 dolar Singapura. Namun, penghasilan itu akan menjadi besar ketika dikonversikan dengan rupiah. Dalam analisisnya, David Brazil mengutip laporan The Jakarta Post bahwa pelacuran di Indonesia membludak termasuk di Singapura, Batam dan Bintan karena terpuruknya perekonomian Indonesia pascaruntuhnya rezim Soeharto.
#1
Dalam buku yang dilengkapi puluhan foto hitam putih dan 16 halaman foto warna ini, David Brazil menelusuri pusat-pusat pelacuran di Singapura seperti Geylang, Orchard Road, Orchard Towers, Desker Road, Flanders Square, dan Keong Saik Road. Wilayah ini oleh pemerintah Singapura disebut kawasan lampu merah.
Para lonte selain mangkal di kawasan zona merah, juga mereka dapat ditemukan di panti pijat, klab malam, lobi hotel atau escort agencies (biro teman kencan) yang iklannya marak di buku telepon. Mungkin kalau di Indonesia iklannya mirip dengan iklan-iklan party line di media cetak gurem yang memperlihatkan perempuan cantik dengan pakaian minim berikut nomor telepon genggam yang bisa dihubungi kapan pun.
Melacur demi uang dalam hasil penelusuran David Brazil ternyata tidak hanya dilakukan para pendatang tetapi juga wanita simpanan, remaja, mahasiswi, artis dan model lokal. Namun, tentang keterlibatan model dan artis dalam kegiatan prostitusi, David Brazil tidak bisa memastikannya. Ia lebih menduga pemberitaan tentang artis yang bisa dibayar untuk diajak tidur hanya sensasi untuk popularitas sang artis.
Dalam satu bab khusus, David Brazil memuat 12 tulisan hasil wawancara dengan pelacur yang mewakili asal, suku dan pasar masing-masing. Dari mulai pelacur kelas Geylang, wanita panggilan, hingga mahasiswi yang butuh biaya untuk kuliah atau untuk sekadar belanja barang mewah seperti produk Gucci, Luis Vuitton, atau Chanel.
#2
Wartawan senior Bondan Winarno dalam pengantar buku ini meyakinkan bahwa laporan jurnalistik David Brazil berbeda dengan tulisan para pewarta Indonesia yang melaporkan sex-for-sale. Penulis buku ini tidak terjebak menulis hal-hal seronok tentang dunia pelacuran. Jurnalis kelahiran Dublin ini tahu benar bahwa menulis laporan pelacuran itu harus menyingkirkan imajinasi seksual jauh-jauh. (hal x)
Bila Anda sebelumnya telah membaca Jakarta Undercover (sex n the city) karya Moammar Emka, saya jamin Anda akan melihat sesuatu yang beda. Kendati sebagai wartawan hiburan--FHM Singapura--David Brazil menulis dengan konsep dan bukunya menjadi penting dibaca karena kaya dengan data hasil riset. Ia tidak terjebak untuk mengeksploitasi selera rendah (low taste) pembacanya.
Lucunya, buku ini lantaran di kulit mukanya ada kata SEKS, sempat dicekal jaringan toko buku raksasa di Indonesia. Menurut Pandu Ganesa dari penerbit Pustaka Primatama, buku terbitannya dianggap mengandung pornografi. Padahal dijamin, di dalam buku yang konon di Singapura sudah 14 kali cetak ulang ini tidak ada cerita yang merangsang syahwat atau berahi. Kecuali memang sebelum membca buku ini sudah berpikiran jorok.[]
Jakarta, 18 Juli 2004
Judul Asli : No Money No Honey (a candid look at sex-for-sale in Singapore)
Pengarang : David Brazil
Pengantar : Bondan Winarno
Cetakan : Pertama, Juni 2005
Penerbit : Pustaka Primatama
Tebal : xiv + 232 halaman
BUKU hasil reportase investigasi atau menurut penulisnya disebut sebagai eksplorasi jurnalistik ini, benar-benar mengungkap hipokrisi atau kemunafikan Singapura. Selama ini Negeri Singa kerap disebut-sebut sebagai negara paling bermoral. Boleh dikatakan juga sebagai negara yang serba tidak. Tidak boleh menjual permen karet, tidak boleh membuang sampah sembarangan dan juga jelas-jelas tidak dengan pornografi dan pornoaksi.
Tetapi buktinya? Pusat-pusat pelacuran dari yang kelas bawah hingga yang elite, berkembang sesuai dengan karakteristik pasar masing-masing. Dari mulai pelacuran kelas gurem seperti di Geylang hingga pelacuran di kawasan Orchard Road. Buku ini juga menujukkan ternyata jumlah sentra pelacuran di Singapura lebih banyak dibandingkan dengan Jakarta yang dianggap “kurang bermoral”. Fantastis!
Kemunafikan juga ditunjukkan Menteri Perdagangan dan Industri Singapura George Yeo seperti dalam pernyataannya kepada Asiaweek (April, 2000): “Kami tidak mengiklankan prostitusi. Tapi tiap orang Singapura tahu Geylang dan apa yang terjadi di sana....” (hal. 3). Pernyataan ini tidak tegas. Padahal dalam kenyataannya pelacuran di Singapura sekarang tidak ada bedanya dengan konsep zaman Raffles. Demi duit, uang dan fulus!. Kalau begini masih pantaskah sebagian orang Singapura berucap: “Jangan mesumlah, kita ini orang Singapura!”
Dirunut dari sejarahnya, prostitusi di Singapura sudah menjadi lahan bisnis sejak Stamford Raffles memerintah pada 1819. Saat itu Raffles sudah berpikir bahwa pulau kecil itu akan menarik perhatian lelaki petualang dari Asia. Dengan dalih untuk mengentaskan kemiskinan dan mencari keuntungan, pelacuran pun legal sejak saat itu.(hal 1)
Data paling mutakhir menyebutkan sedikitnya ada 6.000 pelacur di Singapura. Mereka tidak hanya warga domestik tetapi para pendatang dari Thailand, Malaysia, Filipina, India, Vietnam dan Indonesia. Mereka ini punya tempat dan pasar berbeda. Pelacur Thailand misalnya, target yang dibidik adalah para pekerja konstruksi dari Negeri Gajah Putih. Tak jauh berbeda, para pelacur dari India juga membidik pasar laki-laki hidung belang keturunan atau pebisnis India.
Namun, David Brazil tidak menjelaskan target pasar para pelacur asal Indonesia yang cukup dikenal mangkal di Geylang tepatnya di antara Lorong 10/12 dan sepanjang Talma Road. Para pelacur Indonesia yang datang ke Singapura adalah mereka yang berangkat dari Batam. Mereka biasanya berangkat ke Singapura memanfaat izin berkunjung selama tiga hari.
Penghasilan pelacur Indonesia sejatinya adalah sangat kecil hanya 1.000 dolar Singapura. Namun, penghasilan itu akan menjadi besar ketika dikonversikan dengan rupiah. Dalam analisisnya, David Brazil mengutip laporan The Jakarta Post bahwa pelacuran di Indonesia membludak termasuk di Singapura, Batam dan Bintan karena terpuruknya perekonomian Indonesia pascaruntuhnya rezim Soeharto.
#1
Dalam buku yang dilengkapi puluhan foto hitam putih dan 16 halaman foto warna ini, David Brazil menelusuri pusat-pusat pelacuran di Singapura seperti Geylang, Orchard Road, Orchard Towers, Desker Road, Flanders Square, dan Keong Saik Road. Wilayah ini oleh pemerintah Singapura disebut kawasan lampu merah.
Para lonte selain mangkal di kawasan zona merah, juga mereka dapat ditemukan di panti pijat, klab malam, lobi hotel atau escort agencies (biro teman kencan) yang iklannya marak di buku telepon. Mungkin kalau di Indonesia iklannya mirip dengan iklan-iklan party line di media cetak gurem yang memperlihatkan perempuan cantik dengan pakaian minim berikut nomor telepon genggam yang bisa dihubungi kapan pun.
Melacur demi uang dalam hasil penelusuran David Brazil ternyata tidak hanya dilakukan para pendatang tetapi juga wanita simpanan, remaja, mahasiswi, artis dan model lokal. Namun, tentang keterlibatan model dan artis dalam kegiatan prostitusi, David Brazil tidak bisa memastikannya. Ia lebih menduga pemberitaan tentang artis yang bisa dibayar untuk diajak tidur hanya sensasi untuk popularitas sang artis.
Dalam satu bab khusus, David Brazil memuat 12 tulisan hasil wawancara dengan pelacur yang mewakili asal, suku dan pasar masing-masing. Dari mulai pelacur kelas Geylang, wanita panggilan, hingga mahasiswi yang butuh biaya untuk kuliah atau untuk sekadar belanja barang mewah seperti produk Gucci, Luis Vuitton, atau Chanel.
#2
Wartawan senior Bondan Winarno dalam pengantar buku ini meyakinkan bahwa laporan jurnalistik David Brazil berbeda dengan tulisan para pewarta Indonesia yang melaporkan sex-for-sale. Penulis buku ini tidak terjebak menulis hal-hal seronok tentang dunia pelacuran. Jurnalis kelahiran Dublin ini tahu benar bahwa menulis laporan pelacuran itu harus menyingkirkan imajinasi seksual jauh-jauh. (hal x)
Bila Anda sebelumnya telah membaca Jakarta Undercover (sex n the city) karya Moammar Emka, saya jamin Anda akan melihat sesuatu yang beda. Kendati sebagai wartawan hiburan--FHM Singapura--David Brazil menulis dengan konsep dan bukunya menjadi penting dibaca karena kaya dengan data hasil riset. Ia tidak terjebak untuk mengeksploitasi selera rendah (low taste) pembacanya.
Lucunya, buku ini lantaran di kulit mukanya ada kata SEKS, sempat dicekal jaringan toko buku raksasa di Indonesia. Menurut Pandu Ganesa dari penerbit Pustaka Primatama, buku terbitannya dianggap mengandung pornografi. Padahal dijamin, di dalam buku yang konon di Singapura sudah 14 kali cetak ulang ini tidak ada cerita yang merangsang syahwat atau berahi. Kecuali memang sebelum membca buku ini sudah berpikiran jorok.[]
Jakarta, 18 Juli 2004
Reading your blog and I figured you'd be interested in advancing your life a bit, call us at 1-206-339-5106. No tests, books or exams, easiest way to get a Bachelors, Masters, MBA, Doctorate or Ph.D in almost any field.
ReplyDeleteTotally confidential, open 24 hours a day.
Hope to hear from you soon!
Hmmm Kang info menarik. Tapi saya amati banyak juga dari Jakarta yang diajak main kesini. Semacam bussiness escourt. Salam
ReplyDelete