Foto: Instagram
KETIKA Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI, Rudiantara memutuskan memblokir sejumlah fitur di beberapa platform media sosial khususnya Facebook, Instagram dan WhatsApp, pikiran saya langsung melayang ke sosok Harmoko, sang menteri penerangan legendaris yang juga berkantor di gedung yang sama.Batin saya langsung berucap. Ehm, Orde Baru kembali! Zaman Orba lebih dikenal sebagai rezim pembredelan. Nah sekarang lebih dikenal sebagai era pemblokiran.
Kalau zaman Orba institusi yang dibredel atau dibungkam adalah barang nyata (tangible) seperti koran, tabloid atau majalah. Hasilnya pun sangat nyata: media mati, tidak terbit dan karyawannya kocar-kacir kelayapan menyari pekerjaan baru atau berkompromi dengan rezim menyalin rupa dengan melahirkan media baru.
Nah, di zaman internet sekarang yang dikenal era industri 4.0 dan era sosial 5.0, pemblokiran seheroik apapun tidak ada gunanya. Alias tidak efektif. Karena yang diblokir mirip hantu atau mungkin tuyul atawa genderuwo yang tidak tersentuh (intangible).
Ketika Rudiantara lewat jumpa pers di Kantor Menkopolhukam menyatakan pemblokiran, hanya dalam hitungan menit almukarom media sosial langsung memberikan alternatif. Mereka langsung memberikan panduan untuk mengunduh sistem antiblokir gratisan di gawainya masing-masing. Instruksi itu begitu sangat mudah sehingga emak-emak pun yang sehari-hari berkutat di dapur dan sumur bermigrasi ke server VPN dan bercakap ria kembali lewat Telegram.
Justru upaya Rudiantara tersebut kontraproduktif. Pemblokiran yang seharusnya menyelesaikan masalah seperti PT Pegadaian (Persero), justru sebaliknya malah menambah masalah baru.
Pertama, pemblokiran melahirkan perlawanan baru dari masyarakat. Masyarakat jadi lebih kreatif mencari cara untuk menembus hadangan pemerintah misalnya dengan mengunduh program gratisan.
Kedua, program literasi pemerintah gagal. Pemblokiran tujuannya untuk membendung informasi negatif dan juga hoaks. Justru hoaks bukan malah berkurang tapi justru berlipat-lipat lonjakannya.
Masyarakat menumpahkan kemarahannya dengan terus mengumbar hoaks dan kebencian. Awalnya berharap masyarakat dapat mengerem atau lebih bijak, malah yang lahir antipati.
Ketiga, menciptakan musuh baru. Rudiantara dengan memblokir medsos justru malah menambah pembenci baru. Selain dari kalangan masyarakat pada umumnya pemblokiran juga membuat wartawan khususnya sangat terganggu.
Rudiantara karena bukan berlatar belakang wartawan (mungkin) juga mendapat masukan dari staf khusus yang kuled, tidak mengerti bahwa jurnalis daring selama ini sangat terbantu dalam menulis, mengedit dan juga mengirim foto dan video ke newsroom mengandalkan WhatsApp.
Keempat, pemblokiran semakin menelanjangi kebijakan newsroom media arus utama (mainstream). Rudiantara menyebut pemblokiran juga bertujuan untuk mengarahkan agar masyarakat kembali ke jalan yang benar dengan mempercayai media arus utama.
Justru sebaliknya. Anjuran itu direspons terbalik. Pemblokiran telah menampakkan secara telanjang tabiat buruk media besar, media yang mengaku terpercaya. Media besar itu justru yang telah menyensor dirinya sendiri sehingga hak publik untuk mengetahui kejadian atau peristiwa sebenarnya tidak terpenuhi.
Lagi-lagi publik terpuaskan keingintahuannya dari media sosial. Media besar tidak mungkin dapat memberitakan ketika berserakan peluru tajam sampai diketahui ke jenis dan ukurannya. Begitu juga publik mengetahui jumlah korban dan seorang bocah yang dikeroyok aparat hingga tewas, semuanya dari medsos. Jadi dengan sendirinya media arus utama tidak lagi dipercaya publik.
Kelima, pemblokiran justru merusak visi dan misi andalan calon Presiden 01 Jokowi yang sangat mengagungkan pertumbuhan dari ekonomi digital. Pemblokiran justru membuat UMKM dan belanja online yang sangat terbantu dengan media sosial mengeluh karena merugi.
Dalam catatan Republikaonline, dari tiga hari pemblokiran mesdos, 21-23 Mei, kerugian belanja daring ditaksir mencapai Rp 681 miliar. Bukan main besarnya.
Justru itulah pemblokiran telah menggagalkan program besar Jokowi yang sangat terobsesi dengan istilah startup, unicorn dan dekacorn sampai ke urusan mobile legends.
Akhirul kalam, belakangan ini lewat media, Rudiantara terus melontarkan permintaan maaf atas kebijakan tidak populisnya memblokir medsos. Kebijakannya yang merugikan UMKM dan juga yang merugikan publik dan juga wartawan.
Kini, Rudiantara tidak lagi disandingkan dengan Harmoko tetapi disejajarkan dengan Mpok Minah, tokoh karakter emak-emak kecentilan dalam sinetron kocak Bajaj Bajuri yang di berbagai tempat dan suasana selalu mengucapkan, "Maaf...!
Times Indonesia, 24 Mei 2019
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada