Foto: mediaindonesia
Ribut kemiskinan ini berawal dari iklan Wiranto yang gencar di media massa cetak, televisi dan radio, sejak Desember 2007. Dengan mengutip Bank Dunia pada 2006, Wiranto menyebutkan rakyat miskin Indonesia mencapai 49 persen (penghasilan di bawah dua dolar per hari).
Kelompok SBY pun membalasnya dan di antaranya dengan beriklan satu halaman penuh di Pikiran Rakyat Bandung, Kamis (6/3). SBY lewat Jaringan Nusantara memasang iklan dengan tajuk "Kemiskinan Bukan Dagangan".
Iklan ini sangat jelas ditujukan kepada kelompok Wiranto dan Partai Hanura dari bunyi iklannya sebagai berikut: "Ada yang sangat ingin berkuasa, lalu mengutip duka rakyat: Seorang pedagang gorengan gantung diri karena harga-harga melambung tingi".
Bila Wiranto sebelumnya mengutip angka kemiskinan dari versi Bank Dunia, kelompok SBY mengutip angka kemiskinan pada 2006 dan 2007 berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam iklan tersebut disebutkan bahwa angka kemiskinan pada 2006 sebanyak 39,30 juta jiwa dan pada 2007 turun menjadi 37,17 juta jiwa.
Wiranto pun tidak cukup hanya mengutip data kemiskinan. Mantan Menhan/Pangab ini juga mencoba untuk "berempati" dengan mendemonstrasikan makan nasi aking bersama warga miskin di Serang, Banten, Selasa (18/3).
Nasi aking adalah nasi basi, dicuci kembali, dijemur dan kemudian ditanak ulang. Nasi yang tidak layak untuk manusia kecuali untuk itik alias bebek.
Kemiskinan yang Seksi
Angka kemiskinan dan pengangguran adalah isu yang seksi untuk bahan kampanye untuk pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Kemiskinan dan pengangguran adalah salah satu indikator sebuah keberhasilan atau prestasi sebuah pemerintahan.
Isu pengangguarn dan kemiskinan adalah menyangkut hidup warga yang mengambang (floating mass). Kelompok masyarakat ini sangat tergoda dan mudah terpengaruh dengan iming-iming perubahan dan isu-isu populis karena masih kuat anggapan, siapa pun yang memimpin yang penting bisa makan tiga kali sehari.
Berbeda dengan sikap kelas menengah. Mereka selain apatis juga tak mau ambil pusing dengan urusan politik. Kelompok ini beranggapan bahwa pemimpin memang seharusnya memberikan proteksi kepada rakyatnya. Bila memilih pun pilihan mereka sudah jelas dan tidak tergoyahkan atau tidak memilih sama sekali.
Ini artinya, upaya Wiranto dengan membuat positioning kampanye dengan tema kemiskinan dari politik komunikasi sudah tepat. Bila cara ini digarap secara konsisten dan sistematis suara rakyat miskin akan menjadi resources partai yang signifikan.
Ini juga yang membuat kelompok Presiden SBY sangat reaktif dengan isu kemiskinan yang diusung Wiranto. Karena mereka sadar, selama ini konsep SBY cenderung elitis dan tidak prorakyat miskin.
Inilah sulitnya pemerintahan yang berkuasa karena harus merangkul semua pihak. Akibatnya sangat jelas terlihat SBY sangat reaktif dan Wiranto semakin agresif.
Paradigma Pembangunan
SBY yang cenderung menganut paradigma pembangunan neo-Liberal memang paling riskan bila digempur masalah kemiskinan dan pengangguran. Neo-Liberal yang menganut pertumbuhan ekonomi yang eksklusif dan elitis (trickel up effect) memang tidak populer di masyarakat kecil. Buktinya kini harga-harga melambung naik dan daya beli masyarakat merosot.
Kalaupun SBY melakukan program pengentasan kemiskinan itu pun berupa program "belas kasihan". Misalnya berupa bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu per keluarga per bulan atau pembagian beras rakyat miskin Rp 20 kilogram per bulan untuk setiap keluarga miskin.
Program ini hanya bersifat pemadam kebakaran. Di sisi lain pemerintah mengurangi subsidi pupuk, ini sebuah paradoks.
Kondisi ini sangat mengancam SBY apalagi bila pengangguran, kemiskinan dan harga yang melambung dijadikan isu bersama oleh lawan-lawan politik dan masyarakat madani. Isu ini malah belakangan tengah dikemas kelompok kiri seperti Forum Kota dan sayap oposisi seperti Repdem PDIP menjadi tema perjuangannya menjelang 2009.
Entah apa yang membuat SBY tak berkutik untuk mengusung konsep pembangunan yang bersifat trickel down effect atau inklusif atau menetas ke bawah. Konsep pertumbuhan yang dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat.
Bukti bahwa pemerintahan sekarang menganut kebijakan pertumbuhan yang eksklusif terlihat dari laporan Majalah Globe Asia edisi Agustus 2007 yang memuat 150 orang terkaya Indonesia. Total aset yang dikuasai konglomerat Indonesia itu mencapai Rp 419 triliun. Angka ini setara dengan setengah lebih total anggaran belanja pemerintah dalam APBN 2007.
Pada saat yang sama rakyat miskin mencapai 37,17 juta orang. (Economic Aoutlook 2008, Econit Advisary Group)
Metodologi
Cara pemerintah menggunakan metodologi untuk menemukan angka kemiskinan dan pengangguran pun terus dihujani kritik. Ekonom dari Econit, Rizal Ramli menyebut metodologi yang digunakan pemerintah sudah usang dan hanya digunakan oleh negara di Sub Sahara Afrika.
Definisi pengangguran yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) sangat longgar sehingga batas antara orang yang bekerja dan pengangguran sangat tipis. Orang dikatakan sudah bekerja jika telah bekerja dalam satu jam secara tidak terputus dalam satu minggu.
Konsep ini memungkinkan "Pak Ogah" yang berada di perempatan jalan dan buruh cangkul pun masuk ke dalam orang yang tidak menganggur.
Menurut Rizal Ramli metodologi politis ini sudah ditinggalkan dan negara-negara lain sudah menggunakan konsep produktivitas bukan menghitung orang yang bekerja. Konsep ini menyatakan, seseorang dianggap tidak menganggur bila telah bekerja minimal selama 35 jam per minggu atau ada juga yang menggunakan periode enam bulan.
Begitu juga dengan metodologi yang digunakan pemerintah untuk angka kemiskinan setali tiga uang dengan metodologi yang digunakan untuk menghasilkan angka pengangguran.
Selama ini BPS menyatakan bahwa seseorang disebut miskin bila pengeluaran untuk biaya makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan berbagai pengeluaran lainnya Rp 166.967 per bulan atau Rp 5.565 per hari.
Coba bila definisi kemiskinan itu nominalnya ditingkatkan menjadi Rp 10 ribu per hari atau seperti yang menjadi patokan Bank Dunia, 2 dolar AS per hari. Pasti jumlah angka kemiskinan di Indonesia melonjak tajam.
Dari data di atas, intinya bahwa pemerintah dan para elite harus jujur. Jujur dalam artian apakah data itu untuk kepentingan pribadi dan kelompok atau memang untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Kejujuran ini lebih penting dibandingkan angka kemiskinan dan pengangguran itu sendiri.
Selebihnya, metodologi yang digunakan BPS harus segera direformasi. Di saat harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi patokan angka kemiskinan yang hanya Rp 5.565 per hari adalah nominal yang tidak masuk akal.
Jakarta, 17-4-2008
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat Bandung
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada