Skip to main content

Kecanduan Hoaks, Lama-lama Soak


Ilustrasi: Tirto.id

SUATU hari saya merasa bahagia sudah melampiaskan unek-unek langsung di depan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan juga Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo saat diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan. Termasuk Ketua Komisi I Abdul Kharis. 

Saya itu termasuk yang kritis dan tersinggung dengan istilah dikhotomi media besar dan media kecil termasuk tudingan media abal-abal.

Mereka sepakat tidak mempermasalahkan media besar dan media kecil. Bahkan wartawan lepas pun diakui (freelancer). Soal media harus berbadan hukum jelas saya sepakat kalau mau disebut sebagai industri pers. 

Tetapi tak masalah juga tak berbadan hukum dan itu dianggap sebagai blog. Toh blog juga tak kalah prestise dan juga banyak yang kontennya informatif dan menginspirasi.

Bahkan beberapa lembaga seperti Kementerian Pariwisata bekerja sama dengan pemilik blog dan sangat terbantu dengan keberadaan blog dan anasirnya berupa blogger. Promosi pariwisata kalau dilakukan pemeritah biayanya sangat mahal. Tapi sebaliknya, promosi yang melibatkan masyarakat lewat media sosial sangat murah bahkan tak harus dibayar.

Ini sekaligus meluruskan selama ini seolah ada anggapan bahwa media kecil itu sebagai pentolan pembuat dan penyebar hoaks. Ini keliru karena pembuat hoaks itu sebenarnya adalah mereka yang memang punya kepentingan dan juga murni bisnis hoaks. Keuntungannya miliaran rupiah mas Bro.

Mereka adalah pekerja profesional yang dipekerjakan para oportunis dan kelompok pragmatis. Cuma yang mengkhawatirkan dampak residu hoaks ini adalah lahirnya kelompok yang ekstase dan ada juga yang kecanduan berita hoaks.

Banyak kelompok yang ketagihan dengan berita hoaks. Sangat menyenangkan bila hoahs itu berpihak dan ramah pada kepentingannya.

Bila mencermati perkembangan mutakhir, dua kelompok yang berseberangan sejatinya saling melempar hoaks. Cuma masalahnya ada yang kebakaran hoaks diam saja karena mungkin sibuk membuat hoaks baru atau tengah menikmati hoaks. Tetapi ada juga kelompok yang cengeng ketika ditimpuk hoaks.

Permasalahannya ada yang berkuasa dan ada yang oposisi. Nah yang berkuasa itu kan cenderung menyalahgunakan kekuasannya. Sementara oposan cukup pakai molotov setelah itu dipukuli. Selesai.

Padahal seseorang yang berkuasa dan kini menjelma menjadi adikuasa itu sebenarnya pernah menikmati juga bulan madu dengan medsos dan media abal-abal (menurut istilah Dewan Pers) yang belakangan ini menjadi pemasok berita hoaks.

Kesimpulan yang menarik dari diskusi tadi sangat jitu. Masyarakat sudah tidak lagi mempercayai berita yang diproduksi media besar alias media mainstream. Ini sebuah lonceng kematin bagi newsroom mereka dan anasirnya.

Karena itu masyarakat mencari alternatif informasi dari media kecil dan juga dari media sosial. Cilakanya medsos dimanfaatkan dua kelompok yang sama-sama pemburu rupiah dan mungkin dolar ada juga mungkin penadah jabatan.

Kalau begini lagi-lagi yang jadi korban adalah masyarakat. Mereka jadi korban kebijakan pemerintah sekaligus korban pemburu duit lewat industri berita hoaks.


Stasiun Palmerah-Depok Lama, 10 Januari 2017


Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f