Skip to main content

Terbakar vs Dibakar


SUATU
hari terjadi dialog serius di sebuah lokasi pasar yang akan digusur atasnama pembangunan yang lebih besar.

“Awas! Kalau kalian melawan, pasar ini akan terbakar! ” teriak seorang pejabat.

“Itu pernyataan agak sukar saya mengerti, ” kata seseorang dalam kerumunan.

“Jelas itu ancaman karena aneh bunyinya, ” kata yang lain.

“Apa hubungan antara pedagang yang bertanya, usul, atau mungkin tidak setuju, dan api yang akan membakar pasar?” sambung yang lain lagi.

“Apakah perlawanan itu semacam suhu panas yang akhirnya bisa menyala menjadi api sehingga membakar? Atau bagaimana?”

“Yang lebih penting dianalisis, apa hubungan antara api yang membakar pasar dan orang yang mengatakannya?” teriak yang lain lebih serius.

….

Dialog tersebut saya modifikasi dari esai Emha Ainun Nadjib dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri (Bentang Pustaka, 2015).

Esai itu sangat aktual dengan perdebatan baik di media arus utama atau kasak-kusuk di media sosial sekaitan dengan terbakar (dibakar)-nya Proyek Pasar Senen yang perlu waktu 30 jam untuk memadamkannya.

Tidak hanya di Jakarta kecurigaan yang sama juga kerap terjadi di sejumlah daerah. Pejabat atau pemerintah yang umumnya berkongsi dengan pemilik kapital selalu menghindari dialog dan musyawarah. Dialog identik dengan bertele-tele dan banyak permintaaan serta persyaratan.

Kalau yang curiga, sebuah pasar atau sekompleks rumah kumuh sengaja dibakar itu adalah pedagang atau penghuni rumah, tentu sangat wajar. Tetapi bila yang curiga sebuah pasar dibakar adalah masyarakat yang tidak ada kaitannya dengan para pedagang ini patut diwaspadai.

Kecurigaan yang sudah terinternalisasi di masyarakat itu bisa jadi sebagai wujud kebenaran. Sebuah peristiwa yang terus berulang-ulang bila modus, dampak dan outputnya sama logika masyarakat dengan sendirinya akan terbagun bahwa sebuah peristiwa itu kebetulan atau direkayasa.

Misalnya saja bila sebuah pasar atau rumah-rumah kumuh terbakar dan beberapa bulan kemudian berubah menjadi hotel, apartemen atau mal maka logika masyarakat langsung terbangun: “oh jadi itu alasan pasar dibakar!”

Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dengan Proyek Pasar Senen pascaterbakar. Pasar Senen sebenarnya warisan budaya yang sangat melegenda dan pernah terbakar beberapa kali.

Pada tahun 50-an di sekitar Pasar Senen juga ada Planet Senen tempat mangkal dan lahirnya seniman, wartawan, sastrawan, kritikus dan sutradara film andal. Pasar Senen dan Planet Senen dua entitas yang tak terpisahkan. Sangat humanis.

Anasir dan pentolan Planet Senen yang terkenal di antaranya Harmoko, Misbach Yusa Biran, Soekarno M. Noer, Motingo Busye dan SM Ardan.

Kini Pasar Senen sudah tidak lagi ramah termasuk untuk dirinya sendiri….


Depok, 20 Januari 2017

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f