Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2020

Selamatkan TVRI!

(Foto: wartaekonomi.co.id) TELEVISI Republik Indonesia (TVRI) seperti Kapal Titanic yang tinggal menunggu karam. Secara finansial boleh dikatakan sudah bangkrut. Sementara upaya reformasi di tubuh televisi yang selama Orde Baru menjadi corong pemerintah itu ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan.  Direktur Utama TVRI Sumita Tobing malah dituntut mundur oleh sebagian karyawannya. Konflik di TVRI sebenarnya sudah terjadi sejak 21 Juni 2001, ketika Sumita yang mantan Direktur Pemberitaan SCTV ini diangkat menjadi nakhoda televisi yang mempunyai moto atau call station: menjalin persatuan dan kesatuan ini.  Konflik mulai terjadi setelah lulusan Ohio State University ini merombak drastis sistem manajemen, termasuk di divisi program hiburan dan pemberitaan. Upaya perbaikan yang digagas Sumita ini ternyata malah menuai resistensi sistematis dari dalam.  Terakhir, beredar secara terbuka di kalangan karyawan TVRI Pusat, surat Federasi Serikat Pekerja (FSP-TVRI). Isinya, meminta Mente

Bangsa Amnesia: Pers Indonesia Sudah sampai Stupid Dog?

Foto: Istimewa BELAKANGAN ini Indonesia diliputi peristiwa yang memiliki nilai berita serta nilai politik yang sangat tinggi. Ini sebuah rekor, karena sebelumnya Indonesia tidak pernah dibombardir peristiwa yang datang bertubi-tubi.  Kalau pun Indonesia banjir isu biasanya sangat berjarak. Mulai dari peristiwa kenaikan bahan bakar minyak, foto mesum anggota DPR Max Moein, putusan kontroversial pilkada Maluku Utara, blue energy Joko Suprapto, insiden Monas, penangkapan Muchdi Pr dan kontroversi kematian mahasiwa Universitas Nasional di Rumah Sakit Pusat Pertamina, saling tumpang tindih dalam memori bangsa Indonesia pekan-pekan ini.  Isu dan peristiwa ini tentu sangat seksi bagi pers. Media pun meliputnya dari berbagai angle dengan beragam narasumber plus berbagai kepentingan yang menyertainya. Newsroom benar-benar crowded ! Begitu juga pembaca media di Tanah Air.  Isu yang datang bertubi-tubi tersebut tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk menimbang, merenung dan memberik

Kisah Wartawan Tua dan Mazda 95

Foto: Liputan6.com BANYAK wartawan tua (untuk mengganti kata senior) di Kompleks Parlemen. Mereka ada yang dari media bergengsi seperti The Jakarta Post, Harian Fajar, Suara Karya atau Bisnis Indonesia, tetapi lebih banyak dari media samar-samar, media abal-abal atau apa pun namanya. Tapi saya tidak peduli dengan mereka. Saya belakangan ini hanya peduli dengan seorang wartawan tua dari media Suara Bahana. Saya tidak dapat memastikan media tersebut tabloid, harian, mingguan atau.... Saya sulit mendefinisikannya. Saya tidak tahu kelompok pembaca yang disasar koran yang isinya bak gado-gado ini. Isinya beragam, mulai dari politik kelas tinggi di DPR hingga pemilihan ketua RT di Kelurahan Koja, Jakarta Utara. Wartawan itu bernama Agung Suyono. Usianya ditaksir 50 tahun lebih. Sosoknya sangat mencolok di Kompleks Parlemen . Dalam setiap forum diskusi baik yang digelar DPD atau DPR ia selalu tampil baik itu bertanya atau berkomentar. Komentarnya tidak bisa dianggap enteng. Lebih banyak pada

Televisi, Eksklusivitas dan Jurnalisme Kuning

"Eksklusivitas adalah satu hal dan kemanusiaan adalah hal yang utama". ITULAH tema yang diusung Liputan 6 SCTV dalam merayakan usianya yang memasuki satu dasawarsa di sebuh hotel berbintang di Jakarta, belum lama ini.  Tema itu selain aktual juga sangat mendasar untuk menyikapi jurnalisme televisi di Indonesia yang masih belia. Perayaan satu dasawarsa Liputan 6 tidak hanya terkesan "mewah" tetapi juga sekaligus menjadi tempat reuni mulai dari pengusaha, tokoh politik dan tokoh pers. Bahkan seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyempatkan hadir hanya untuk mengucapkan selamat.  Perayaan satu dasawarsa juga dimeriahkan peluncuran buku berjudul Jurnalisme Liputan 6 (Antara Peristiwa dan Ruang Publik) yang diterbitkan LP3ES. Buku ini selain mengupas jurnalisme televisi secara umum juga memuat kasus-kasus besar yang diungkap Liputan 6.  Di antara kasus yang dibahas adalah kasus "cabut gigi" yang membuat Direktur Pemberitaan Sumita Tobing terpental dari SCTV

Tiga Hari Bersama Ayu Azhari, Ngapain Aja?

Foto: Istimewa INI tentang ceritama lama. Ya, tak selamanya sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika) bikin ngantuk dan menjemukan.  Ternyata urusan negara yang serius dan absurd pun bisa juga dibawa santai dan anggota MPR yang sehari-hari sangat serius, bila berhadapan dengan aktris yang menjadi simbol pada zamannya bisa juga tertawa lebar. Apalagi, beuuuuhhhh… peserta sosialisasi itu di antaranya ada perempuan yang pernah menjadi simbol seks pada zamannya meski kini sudah berumur dan beranak banyak. Malah sempat telanjang bulat pisan dalam film "Gairah Seks" bersama aktor impor Frank Zagarino. Tak masalah. Ya, Ayu Azhari masih tetap menggoda dan gemesin. Paling tidak buat Bachtiar Aly anggota MPR dari NasDem dan Zainut Tauhid Sa’adi dari dari PPP. Bermula ketika Ayu Azhari yang masih semok dan ayu ini menjadi peserta sosialisi Empat Pilar di Lembaga Sensor Film (LSF) belum lama ini. Ayu Azhari mengeluh kare

Gubernur Anies Terpapar Toksin Pilkada 2017 dan Pemilu 2019

Foto: Alinea.id ENTAH sampai kapan warga Jakarta baik yang menetap maupun yang ngontrak atawa yang mukim atau yang cuma numpang kencing dan makan di Jakarta akan berhenti berkelahi di media sosial. Ribut saja tiap hari. Apa nggak capek? Walaupun jadi buzzer menghasilkan banyak duit bahkan miliaran tapi kan lama-lama capek juga. Lucu juga kan mati dalam status sebagai buzzer. Adakah buzzer husnul khatimah? Dua anasir yang berseteru diakui adalah bagian dari produk toksin bawaan Pilkada 2017 dan Pilpres 2019. Toksin itu entah sampai kapan akan terus merusak pikiran para netizen baik yang ideologis maupun yang memang sekadar mengeruk uang. Sekali-sakali kopi darat kek berantemnya di Monas atau di Lapangan Banteng atau sekalian di GBK biar seru dan jadi tontonan menarik. Mungkin terlihat brutal tapi sekali-kali mungkin perlu dicoba biar adrenalin dan emosinya tersalurkan. Daripada marah-marah dan nyinyir yang makan hati. Bisa kumat jantungmu. Tak elok ketika sebagian warga Jakarta tengah

Ustad Resmi vs Ustad Tak Resmi, What?

Foto: Tempo USTAD Abdul Somad, laki-laki kurus dan berwajah udik. Tapi pemerintah alias rezim sangat takut. Kalau mau main fisik, Somad disenggol Ade Rai bisa langsung sempoyongan. Atau di-sliding tackle Bambang Pamungkas pasti jatuh. Tapi bukan itu, yang ditakuti rezim dan sekelompok orang paranoid. Pemikiran dan jutaan umat Somad-lah yang ditakuti. Jutaan subscriber-nya yang ditakuti. Somad adalah aset. Lulusan Al Azhar Mesir dan PhD dari Maroko yang dapat jabatan profesor dari Brunei Darussalam. Sampai kampusnya tempat mengajar berat hati untuk melepaskan sang ustad karena rezim membencinya.  Tapi Somad tahu diri karena keberadaannya di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim (Suska), hanya membuat petinggi dan teman-temannya tidak nyaman. Somad pun keluar dari kampus dengan kepala tegak. Somad resmi mengundurkan diri atau dipecat dengan hormat dari kampus yang seharusnya menampung dan menjunjung tinggi kebebasan perpikir, Rabu (20/11/2019). Kampus yang seharusnya

Cukup yang Berisik Itu 30 Persen!

Foto: Merdeka.com BASUKI Tjahaja Purnama alias Ahok benar-benar tidak hanya membuat gaduh seperti ketika menjabat gubernur DKI Jakarta tetapi juga telah membuat 'pusing' sejumlah elite. Kegaduhan baru benar-benar telah hadir di tengah publik. Perang buzzer dan komentar di media sosial dan media arus utama telah terjadi. Kembali energi bangsa pun yang sebelumnya tidak peduli ikut-ikutan terganggu. Dikhawatirkan energi bangsa yang seharusnya produktif untuk menumbuhkan ekonomi yang terpuruk akan kembali tersungkur karena habis untuk berkomentar saling tuding dan saling bantah gara-gara Ahok akan menduduki jabatan strategis di BUMN. Tak bisa dicegah dan tak bisa dihindari kegaduhan baru telah membuat pemerintah baru atau kabinet baru kembali bekerja dalam kegaduhan.  Padahal mereka seharusnya penuh konsentrasi bekerja karena ekonomi dunia lagi panas dingin dan mungkin saja lambat laun akan menjangkiti Indonesia. Menarik tulisan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam catatan harian

Kasus Tempo: Beda Pendukung Anies dan Pemuja Jokowi

SEBUAH majalah sekelas Tempo , laporan utamanya sering membuat heboh negeri ini. Kasus mutakhir dalam edisi Hidung Pinokio yang membuat meradang pendukung Presiden Jokowi. Sampai-sampai para pendukung fanatik, baik yang laten maupun yang manifes berebut merisak majalah Tempo terutama aplikasi daringnya. Namun tidak menemukan data apakah kontroversi Hidung Pinokio tersebut menguntungkan Tempo secara finansial (majalah habis dibeli) atau malah buntung. Dalam menentukan laporan utama tentu saja sebuah majalah pasti selalu menghitung untung dan rugi. Begitu juga mengenai laporan utama majalah Tempo edisi 8 November 2019 yang menampilkan kover ilustrasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyembul dari kaleng Aibon. Wajah dan sekujur badannya berlumuran Aibon dengan tulisan provokatif "Aib Anggaran Anies". Tulisan lain dalam laporan itu tak kalah provokatifnya misalnya ada yang berjudul "Kotak Pandora Anggaran Ibu Kota", "Laju Cepat Bujet Formula E", "Sa

Olahraga dan Keperawanan, Rasain Prestasi Nyungsep

Foto: Indozone SUATU hari di negara bernama Indonesia pernah gaduh hanya bercakap dan bersilat lidah soal keperawanan.   Seturut isu itu muncul, dari pagi hingga siang saya tak menemukan jawaban pasti apa hubungan keperawanan dengan prestasi atlet. Yang saya tahu prestasi olahraga Indonesia nyungsep. Saya malah menduga semua pesenam, kecuali pesenam SKJ (senam kesegaran jasmani) yang populer tahun 80-an -- malah benar-benar tidak ada yang perawan karena tidak hanya olahraga tetap di sana ada akrobatik. Saya malah sebelumnya mengamini, Shalfa Avrila Siani yang pelajar SMA di Kediri tidak perawan. Karena lihat saja penghargaannya yang sudah sampai sekira 49 dari kejuaraan senam lantai bagaimana bisa masih perawan. Mungkin sejak dari taman kanak-kanak sudah jumpalitan dan ribuan split baik itu saat latihan dan pemanasan atau ketika pertandingan.  Tapi hasil pemeriksaan dokter yang sangat ahli membuktikan Shalfa masih perawan ting ting. Alhamdulillah. Tapi lagi-lagi kenapa Shalfa dipulangk

Cerita DPR dalam Selangkangan Djenar

Foto: Tempo DI masa pegebluk korona ini saya lebih banyak waktu untuk membaca buku lama dan juga membersihkan sejumlah buku di perpustakaan pribadi yang kertas book paper-nya sudah mulai menguning. Nah, buku yang sudah mulai lapuk itu salah satunya kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu. Hemm, isu apapun seolah menjadi mesum dan tak jauh dari selangkangan bila membaca sekilas cerpen atau buku kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu. Mulai dari buku yang saya baca sekilas (tapi tak saya koleksi) seperti ‘Mereka Bilang Saya Monyet’, ‘Jangan Main-Main (Dengan Kelamin)’ dan ‘1 Perempuan 14 Laki-Laki’. Praktis semua ‘onderdil’ milik laki-laki dan juga perempuan ditulis tanpa tedeng aling-aling. Bertebaran! Bahasa yang digunakan amat lugas, bahasa kamus dan nir eufemisme. Nyaris tak ada bahasa tulis Pujangga Baru. Buku Djenar yang mulai lapuk dan saya baca berjudul ‘Saia’. Berisi 15 cerpen. Dua cerpen yang mendapat perhatian saya berjudul ‘Mata Telanjang’ dan ‘Ranjang’. Soalnya bercerita tentang politis

Mahasiswa Takut pada Rektor, Rektor Takut pada Presiden, Presiden Takut pada...

Ilustrasi: Haluan.co LAGI-LAGI dunia politik Indonesia dibuat lucu. Lucuuuu...sekaliiiii.... Kabar lucu itu datang dari Istana. Sekretaris Kabinet Pramono Anung pangkal mulanya. Alumnus Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus tempat berkumpulnya orang cerdas itu, tiba-tiba menyampaikan pidato beraroma klenik di tempat terhormat yang sangat menolak kemusyrikan, Pesantren Lirboyo di Kota Kediri, Jawa Timur. Lirboyo adalah satu di antara pesantren legendaris di Indonesia. Sayang saya tidak melihat konteksnya ketika Pramono Anung berpidato di hadapan jamaah, santri serta pengasuh Pesantren Lirboyo sekaligus di dapil doktor komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran Bandung ini. Apakah Pramono mengatakan Presiden Jokowi tidak bersedia hadir ke Kediri karena khawatir kena tuah lengser dalam konteks bercanda, guyon atau cuma jokes . Dari sini saya dapat menyimpulkan dengan pernyataan penegas dari Pramono Anung. "Pak Kiai, terus terang saya termasuk yang menyara