Skip to main content

Kisah Wartawan Tua dan Mazda 95


Foto: Liputan6.com

BANYAK wartawan tua (untuk mengganti kata senior) di Kompleks Parlemen. Mereka ada yang dari media bergengsi seperti The Jakarta Post, Harian Fajar, Suara Karya atau Bisnis Indonesia, tetapi lebih banyak dari media samar-samar, media abal-abal atau apa pun namanya. Tapi saya tidak peduli dengan mereka.

Saya belakangan ini hanya peduli dengan seorang wartawan tua dari media Suara Bahana. Saya tidak dapat memastikan media tersebut tabloid, harian, mingguan atau.... Saya sulit mendefinisikannya. Saya tidak tahu kelompok pembaca yang disasar koran yang isinya bak gado-gado ini. Isinya beragam, mulai dari politik kelas tinggi di DPR hingga pemilihan ketua RT di Kelurahan Koja, Jakarta Utara.

Wartawan itu bernama Agung Suyono. Usianya ditaksir 50 tahun lebih. Sosoknya sangat mencolok di Kompleks Parlemen. Dalam setiap forum diskusi baik yang digelar DPD atau DPR ia selalu tampil baik itu bertanya atau berkomentar. Komentarnya tidak bisa dianggap enteng. Lebih banyak pada tataran filosofis sehingga banyak narasumber yang mengabaikannya.

Misalnya saja ia pernah 'menggugat' Trias Politika yang disebutnya sebagai kesesatan. Karena itu Indonesia yang juga menganut Trias Politika juga disebut sebagai negara yang ikut-ikutan sesat. "Sudah tidak cukup lagi negara ini diserahkan ke legislatif, eksekutif dan yudikatif. Semuanya haus kekuasaan. Harus ada lembaga lain yang bisa mengontrol mereka," ujarnya suatu ketika.

Agung juga suatu ketika pernah mengatakan sebelum jadi wartawan ia sudah menjajal sejumlah pekerjaan mulia dari perhotelan hingga agen jemaah haji. Namun, semuanya itu tidak memuaskan kegusarannya. "Sebelumnya saya apolitis, tetapi setelah menjajal semua pekarjaan ternyata mendorong saya mau tidak mau harus berpolitik," ujarnya bersemangat.

Suatu hari, Agung mengajak saya dan empat rekan lain menumpang mobilnya untuk menghadiri diskusi refleksi akhir tahun yang digelar PDIP di Menteng Huis. Saya dan teman-teman yang tak memiliki kendaraan menyambut baik tawaran itu.

Bergeraklah kita berlima meninggalkan Kompleks Parlemen. Semuanya wartawan, kecuali satu mengaku sebagai anggota sebuah LSM pemantau parlemen. Jam di tangan menunjuk angka 14.30. Berarti ada jarak 30 menit untuk sampai ke acara di Jalan Cikini Raya tersebut.

"Sori, ini mobil rakyat. Cuma pakain AC alam," kata Agung berkelakar ketika perjalanan sudah di depan Gedung TVRI Gerbang Senayan. Dalam mobil terlihat dongkrak mungil dan juga ada selembar kertas yang dilaminating. Muka sebelah bertuliskan 'For Sale' dan sisi lainnya bertuliskan 'For Rent'.

Dalam perjalanan, Agung banyak bercerita tentang masa-masa selama kuliah di Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.  Ia mengaku teman dekat mantan angota DPR dari PAN Djoko Susilo yang kini Duta Besar RI di Swiss. "Saya sama Djoko itu teman satu kos. Saya pernah hidup susah sama dia. Saya pernah makan sama dia dalam satu ketel nasi liwet," ujarnya mengenang. "Nah, kalau Andi Mallarangeng itu adik kelas saya," tambahnya.

Caranya berkisah sangat menarik. Tidak ada saat itu yang berkuasa untuk berkomentar atau memverifikasinya. "Teman-teman angkatan saya sudah banyak yang jadi diplomat dan pejabat," ujarnya ketika perjalanan sudah melintas di Semangi.

"Kalau saya dulu tidak antipegawai negeri saya juga mungkin sudah jadi diplomat seperti mereka. Bahasa Inggris saya juga sangat baik," ujarnya. "Saya juga kadang menyesal kenapa saat itu semua ijazah saya bakar," tambahnya. Terlihat ada raut penyesalan dari air mukanya.

Namun ketika perjalanan sampai di jalur cepat Jalan Sudirman tepatnya di depan Hotel Sahid, mobil Mazda keluaran 1995 itu mulai batuk-batuk. Gelagat aneh mulai mengkhawatirkan. Kami mulai saling tengok.

"Waduh! Bensinnya habis. Kita keenakan ngobrol ya. Padahal tadi selepas keluar dari DPR saya mau langsung ke pom bensin," kata Agung.

Keanehan lain, mobil pun sepertinya agak miring ke sebelah kanan. Setelah kami turun baru ketahuan. Ternyata ban depan yang sudah gundul, bocor. Sial!

Untuk tidak lebih parah lagi, semisal pantat mobil itu diseruduk Metromini mabuk, Mayasari ugal-ugalan atau PPD kejer-kejer, mobil pun kami dorong pelan-pelan untuk sekadar menepi.

Kami terpaksa berbagai tugas, satu orang membeli bensin eceran di belakang Hotel Sahid, satu orang mencegat mobil yang berbaik hati untuk sekadar meminjamkan dongkraknya. Tidak berhasil. Sementara dongkrak mungil yang dibawa Agung tidak lebih dari dongkrak bajaj. Waduh!

"Ini bagian dari perjuangan. Banyak ujian untuk sampai pada diskusi yang membicarakan nasib bangsa," ujar Agung mencoba menghibur.

"Ha...ha...ha...." kami  pun yang tadinya kusut jadi  terbahak-bahak. Toh, orang lain tak ada yang peduli.

Menghentikan mobil di Jalan Sudirman adalah pekerjaan  yang sangat  sia-sia. Hanya dalam satu komando, mobil pun dapat diangkat bersama dan ban serep pun dalam hitungan menit terpasang sempurna.

Sepanjang jalan dan sampai di tujuan kita tertawa bersama. Dan ternyata sangat puas mentertawakan diri sendiri!

"Ini pengalaman pertama saya nahas bisa berlapis. Ya, biasanya kalau di jalan kalau tak habis bensin ya pecah ban. Tapi ini sekaligus dua-duanya, habis bensin plus gembos ban," ujar seorang teman.

"Ha...ha...ha...." lagi-lagi kami mentertawakan diri sendiri lebih puas lagi.


*Kisah lama yang sayang dilewatkan


Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f