SEBUAH majalah sekelas Tempo, laporan utamanya sering membuat heboh negeri ini. Kasus mutakhir dalam edisi Hidung Pinokio yang membuat meradang pendukung Presiden Jokowi. Sampai-sampai para pendukung fanatik, baik yang laten maupun yang manifes berebut merisak majalah Tempo terutama aplikasi daringnya.
Namun tidak menemukan data apakah kontroversi Hidung Pinokio tersebut menguntungkan Tempo secara finansial (majalah habis dibeli) atau malah buntung. Dalam menentukan laporan utama tentu saja sebuah majalah pasti selalu menghitung untung dan rugi.
Begitu juga mengenai laporan utama majalah Tempo edisi 8 November 2019 yang menampilkan kover ilustrasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyembul dari kaleng Aibon. Wajah dan sekujur badannya berlumuran Aibon dengan tulisan provokatif "Aib Anggaran Anies".
Tulisan lain dalam laporan itu tak kalah provokatifnya misalnya ada yang berjudul "Kotak Pandora Anggaran Ibu Kota", "Laju Cepat Bujet Formula E", "Satu Sistem Dua Hasil", "Suara Berbuah Hibah" dan "Alokasi Janggal di Tahap Awal". Sebagai bumbunya tentu ada bagian wawancara dengan Anies Baswedan.
Tapi anehnya, para pendukung Anies yang juga tak kalah fanatiknya dengan pendukung Ahok+Jokowi, tidak menampakkan rasa marah. Tidak ada yang menggeruduk kantor majalah Tempo di Jalan Palmerah Selatan, misalnya. Tidak ada yang membakar majalah atau mengajukan somasi atau lapor polisi atawa paling lunak melapor ke Dewan Pers.
Ini kontras, ketika wajah Anies diilustrasikan sebagai Joker oleh Ade Armando. Legislator Fahira Idris misalnya langsung melaporkan Ade Armardo ke Polda Metro Jaya. Kasusnya sampai sekarang masih dalam penanganan polisi (berujung nggak jelas).
Sepertinya, pernyataan Anies dalam akun pribadinya yang justru memuji dan menghargai laporan utama Tempo menyejukkan para pendukungnya. Sekaligus pula, pernyataan Anies itu yang membuat isu tersebut sepi dari pemberitaan alias tidak viral atau mewabah.
"Terimakasih Tempo telah menjalankan tugasnya sbg pilar keempat demokrasi. Semoga perbaikan yg sdg berjalan bisa segera kami tuntaskan. Terus awasi kami yg sdg bertugas di pemerintahan.... Karikaturnya boleh juga. Kalau tidak begitu bukan Tempo namanya." (diimbuhi simbol senyuman dan jempol)
Entahlah. Apakah tidak viralnya laporan utama Tempo di kalangan yang maha kuasa netizen itu karena sikap adem Anies? Bisa juga. Namun, apakah tidak viralnya laporan tentang Anies itu justru 'merugikan' majalah Tempo? Padahal, mungkin diharapkan laporan itu bisa menjadi alat kemarahan pendukung Anies dan juga menjadi bahan gorengan pendukung Ahok.
Anies memang sangat lihai dan bisa memendam amarah untuk urusan DKI Jakarta. Perisakan kepada Anies Baswedan sejak menjadi gubernur DKI Jakarta selalu ditanggapi dengan dingin dan senyuman. Dari mulai soal rencana balapan Formula E, lem Aibon, jembatan penyeberangan orang tanpa atap hingga biaya konsultan.
Dari kalangan yang netral juga banyak yang memuji sikap Anies yang tidak reaktif dengan laporan majalah Tempo. Anies dianggap sebagai pejabat yang konsisten antara ucapan dan perbuatan untuk saat ini.
Dalam grup perbincangan di kelompok Humanika misalnya, Anies Baswedan akan terus dirisik segala perbuatan dan kebijakannya karena selama ini keputusannya banyak merugikan para bohir. Contoh yang paling fenomenal menghentikan reklamasi pantai Jakarta.
Terkait media, Anies Baswedan juga tidak mungkin menggugat Tempo. Karena pada tahun 1994 Anies Baswedan termasuk yang membela kebebasan pers salah satunya menentang pembredelan Tempo, Tabloid Detik dan majalah Editor oleh rezim Orde Baru di Universitas Gadjah Mada (UGM). Anies disebutkan termasuk yang terluka saat itu karena dihajar popor senjata milik serdadu.
"Hari itu, Anies Rasyid Baswedan terjungkal kena popor senapan. Tapi hari itu juga membuktikan bahwa keteguhan Anies untuk mempertahankan kebenaran tidak terjungkal meskipun berhadapan dengan laras senapan dan nyawa taruhannya," kenang Ferizal Ramli dalam blog pribadinya yang ditulis dari Jerman pada 21 Mei 2007 pada saat Anies masih menjadi rektor Universitas Paramadina.
Itulah Anies Baswedan, 25 tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa sudah memperjuangkan kebebasan pers. Kini saat menjadi pemimpin pemerintahan di Jakarta konsisten menghormati kebebasan pers termasuk Tempo yang dulu dibelanya.
Haluan.co. 11/11/2019
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada