Skip to main content

Gubernur Anies Terpapar Toksin Pilkada 2017 dan Pemilu 2019

Foto: Alinea.id

ENTAH sampai kapan warga Jakarta baik yang menetap maupun yang ngontrak atawa yang mukim atau yang cuma numpang kencing dan makan di Jakarta akan berhenti berkelahi di media sosial. Ribut saja tiap hari. Apa nggak capek?

Walaupun jadi buzzer menghasilkan banyak duit bahkan miliaran tapi kan lama-lama capek juga. Lucu juga kan mati dalam status sebagai buzzer. Adakah buzzer husnul khatimah?

Dua anasir yang berseteru diakui adalah bagian dari produk toksin bawaan Pilkada 2017 dan Pilpres 2019. Toksin itu entah sampai kapan akan terus merusak pikiran para netizen baik yang ideologis maupun yang memang sekadar mengeruk uang.

Sekali-sakali kopi darat kek berantemnya di Monas atau di Lapangan Banteng atau sekalian di GBK biar seru dan jadi tontonan menarik.

Mungkin terlihat brutal tapi sekali-kali mungkin perlu dicoba biar adrenalin dan emosinya tersalurkan. Daripada marah-marah dan nyinyir yang makan hati. Bisa kumat jantungmu.

Tak elok ketika sebagian warga Jakarta tengah berjibaku menyelamatkan diri dan bertahan hidup akibat banjir, sebagian warga lain yang ber-KTP Jakarta yang tengah duduk manis di rumahnya atau dia tengah menyesap kopi di kafe malah memanfaatkan isu banjir sebagai ladang jualan.

Seharusnya banjir itu menyatukan warga Jakarta dan sekitarnya untuk tolong-menolong dan bahu-membahu dengan tidak membedakan asal, suku, agama dan latar belakang apalagi pilihan politik. Kamu sih, mengabaikan cuitan mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim.

Bacalah sejenak. Kan enak kalau sekali-kali membaca cuitan yang bijak dan menyejukkan. Nggak panas terus tiap hari nyalain kompor? "Berdebatlah ketika banjir sudah surut atau sebelum banjir sekalian lebih bagus".

Terus, kalau berdebat pun yang lebih elite sedikit gitu. Misalnya membahas soal Normalisasi vs Naturalisasi untuk Sungai Ciliwung dan 12 aliran sungai lainnya. Ini kan lebih ilmiah dan ada teorinya. Bukunya pun banyak sejak zaman Mbah Coen ketika VOC membangun Batavia.

Ini yang diperdebatkan soal Anies Baswedan tak mengerti soal Kemang dan Kemanggisan-lah. Atau Ahok mulut comberan seperti keruhnya Sungai Ciliwung-lah. Ini perdebatan macam apa? Apa gunanya sekolah keluar negeri, pendidikan tinggi dan juga status sosial lainnya seperti sebutan pakar, politisi, analis, ahli, pengamat. Tidak ada artinya lagi statusmu dan gelar doktormu ketika terjebak pada perdebatan recehan dan ecek-ecek.

Kembali ke soal normalisasi yang diusung Gubernur Ahok, BTP atau suaminya Puput Nastiti memang memiliki kekurangan dan kelebihan. Begitu juga program naturaliasi kali Ciliwung yang diusung Gubernur Anies Baswedan atawa AnBas juga memiliki kekurangan dan kelebihan.

Intinya Jakarta tidak mungkin bebas banjir. Toh sudah dari sononya dan juga sunatullah. Air akan mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah. Itu tidak bisa ditolak.

Sebenarnya kan tinggal dicari jalan tengahnya. Karena baik normalisasi maupun naturalisasi juga sama-sama memakan biaya dan juga pada saatnya akan berdampak pada penggusuran. 

Ahok sudah dikenal sebagai raja tega dengan menggusur warga di bantaran kali dan memindahkannya ke rusunawa tak jauh dari lokasi penggusuran. Tapi di sisi lain juga mengizinkan reklamasi ugal-ugalan di laut Jakarta.

Begitu juga Anies, tidak mungkin naturalisasi berjalan optimal sementara di pinggiran kali Ciliwung sudah tidak ada lagi resapan air karena di sana sudah banyak rumah penduduk dan juga gedung-gedung pencakar langit.

Kalau sudah berdebat secara elegen dan ilmiah dan tidak juga ketemu solusinya serahkan ke ahlinya. Tuh, bejibun di ITB, UI, UGM, atau Trisakti. Di antara mereka banyak yang idealis. Masih banyak yang mencintai ilmu dan profesinya dibanding jadi komprador, buzzer atau proyektor (maksudnya pemain proyek).

Sudahilah, saling menyalahkan. Mulailah dari diri sendiri. Tidak buang sampah sembarangan. Pakailah sedotan dari bambu atau steinles biar tahan lama jangan pakai plastik. Dan, kalau nginap di Puncak apakah beristirahat atau cuma tengok kampung Arab, bawalah makanan yang dibungkus daun pisang atau daun jati jangan bawa mie instan biar nggak ninggalin sampah plastik.

Sederhana kan?


Haluan.co, 6/1/2020

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f