Skip to main content

Posts

Jeng Susi

DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, janda didefinisikan sebagai wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai atau lantaran ditinggal mati suami. Ada banyak jenis janda di antaranya janda berhias, yaitu janda yang belum beranak. Selanjutnya ada janda kembang sebutan untuk janda muda yang cantik dan belum beranak. Berikutnya dikenal janda muda yaitu janda yang usianya masih relatif muda dan terakhir janda tebal, yaitu janda yang kaya dari sisi materi atau dalam istilah anak muda jaman kiwari disebut janda tajir. Namun entah istilah apa yang cocok untuk para janda yang tergabung dalam Paguyuban Janda Indonesia (PJI), sebuah organisasi yang baru didirikan enam bulan silam itu.  Ada yang curiga organisasi ini didirikan karena setahun lagi menjelang Pemilu. Artinya organisasi ini didirikan untuk kepentingan elitenya sehingga memiliki daya tawar dengan partai politik. Tuduhan itu sampai saat ini tidak terbukti. Dari semua pengurusnya yang rata-rata cantik, semok dan wangi ini ti
Recent posts

Istri Rajip Minggat

SUDAH enam purnama, Rajip ditinggal istri. Perempuan kedua yang paling dicintai setelah almarhumah ibunya yang mati karena ayan dan mengambang di empang pemancingan. Rajip yang kawin muda tepatnya pada usia 19 tahun dan istrinya Sarwendah terpaut satu tahun lebih muda, tidak menyangka bakal ditinggal setelah hidup serumah tanpa anak -- walau dibuahi seminggu tiga kali -- selama lima tahun. Sarwendah tidak hanya sekadar istri, teman, pemuas berahi tetapi juga sumber inspirasi. Sejumlah puisi dan cerpen lahir dari kehidupan dan penggambaran keseharian istrinya. Sebagian kecil tulisannya masih mentah namun lebih banyak lagi yang sudah rampung dan bernilai sastra. Tulisan sengaja dicetak dalam kertas kuarto menggunakan printer kantor tempat Rajip mencari nafkah sebagai kerani di perusahaan jasa kurir. Sebagian besar tulisan justru tersimpan dalam gejetnya. Semua tulisan dikerjakan lewat hape buatan China seri jadul ketika rehat, saat naik angkot atau ketika minum Kopi Liong Bulan di kedai

Bangku Panjang di Cikini

AKHIR Februari. Hujan deras baru saja reda. Beton dan aspal di jalan dengan cepat mengering. Aku duduk dan berselonjor di kursi pinggir jalan. Trotoar Cikini 53 masih menyisakan sedikit genangan air. Dua anak laki-laki berseragam sekolah menengah pertama baru saja keluar dari gerbang sekolah dan membuyarkan genangan air tersebut hingga tandas. Air menciprat ke teman di sebelahnya. Mereka pun bakupukul dengan penuh keakraban. Kekerasan yang dilakukan dianggap sebagian orangtua mungkin keterlaluan. Tetapi itulah kearaban versi anak-anak sekolah. Mereka nyaris gulat dan baju bagian belakang mereka kotor sisa lumpur yang dibawa telapak sepatu pejalan kaki. Orangtua selama ini sangat sensitif. Selalu berlebihan. Ketika anak berantem kemudian memar-memar dengan gampangnya lapor polisi. Sehingga kearaban pun hilang. Padahal mereka juga sebenarnya merasakan masa kecil yang gembira dan penuh dengan kekerasan. Verbal maupun fisik. Dulu, kita sangat gembira ketika saling ledek dan saling menghin

Barcelona

BAKOEL Cafe, sore itu tidak seramai sehari sebelumnya. Di lantai dasar hanya ada seorang perempuan berambut ekor kuda dengan pakaian modis seperti sosialita kalau melihat tas merek Hermes di atas meja. Perempuan itu sekira 45 tahun. Kerut di sudut mata bergaris tiga sangat terlihat dan leher bagian samping kiri setidaknya ada lima berbintik hitam. Sebuah tahi lalat yang bersamar kulit menonjol indah di atas bibir kanan sekira setengah sentimeter dari hidung. Nyaris mirip tahi lalat Kate Winslet yang kadang samar dan kadang manifes. Dia sudah pasti tak menyadari tengah diperhatikan seseorang karena pandangannya tengah fokus ke arah trotoar basah dari kaca bening tembus pandang. Tidak jelas siapa yang dilihat di luar. Ada dua sepeda motor butut diparkir sembarangan di pinggir jalan. Entah milik tukang ojek pengkolan atau seseorang yang tengah berurusan di kantor sebelah. Hanya satu sepeda motor yang bisa dipastikan statusnya, karena ada rangka yang digunakan untuk membawa tabung gas dan

Berahi Ibu Dewan

KACA kamar hotel Room 318 yang tingginya bersaing dengan menara milik sebuah bank nasional yang ikonik di sampingnya, berembun. Padahal dalam kondisi normal kaca itu tembus pandang dan aktivitas di kantor sebelah terlihat jelas bila krei tak ditutup. Hujan yang mengguyur Ibu Kota sejak tadi pagi membuat siapapun membeku. Termasuk Ibu Dewan yang sejak pukul 13.00 hingga 16.45 masih telanjang. Keringat penuh berahi yang tumpah dan membasahi sprei putih serta bed cover sempat disingkirkan dengan kaki kekuatan penuh dan terjuntai di samping ranjang sebelah kanan, terpaksa ditarik kembali dengan kaki yang sama. Entah sudah berapa kali telepon genggam berteriak dan bunyi notifikasi Whatsapp yang masuk hampir berselang dua menit. Ibu Dewan lupa mematikan hapenya. Mencoba meregangkan seluruh tubuhnya sambil melenguh seperti kucing betina habis bersetubuh. Ibu Dewan masih merasakan linu di sebagian tubuhnya. Satu botol air mineral 500 ml diteguknya hampir tandas kemudian kembali membanting tub

Pledoi Cinta Andre

LUCIANA Andalusia. Tubuhnya ramping. Tidak tinggi, rambut hitam sebahu. Selalu mengenakan jins dan sebatu alas datar. Andre mengenal cewek Palembang ini sejak kuliah semester pertama di Universitas Indonesia lima belas tahun silam. Hubungan semakin dekat secara fisik dan emosional saat Luci, cewek imut itu, ikut bergabung dengan organisasi yang Andre dirikan di kampus, Komunitas Kajian Sastra Rusia. Intensnya pertemuan organisasi, lama-lama Andre semakin mempercayai pepatah Jawa witing tresno jalaran sukokulino (meski baru tahu artinya setelah cek Google). Pertama Andre tertarik karena fisiknya, terutama rambut sebahunya yang lurus kayak direbonding dan beberapa jerawat kemerahan yang selalu menghiasi muka bulatnya. Tahap selanjutnya Andre semakin meningkatkan porsi perhatian kepada Luci karena kalau diajak diskusi tentang apa saja selalu nyambung. Sebenarnya, sejak awal-awal Andre sempat berusaha untuk nembak Luci. Namun, entah sudah berapa kali niat itu selalu diurungkan karena tak

Selamatkan TVRI!

(Foto: wartaekonomi.co.id) TELEVISI Republik Indonesia (TVRI) seperti Kapal Titanic yang tinggal menunggu karam. Secara finansial boleh dikatakan sudah bangkrut. Sementara upaya reformasi di tubuh televisi yang selama Orde Baru menjadi corong pemerintah itu ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan.  Direktur Utama TVRI Sumita Tobing malah dituntut mundur oleh sebagian karyawannya. Konflik di TVRI sebenarnya sudah terjadi sejak 21 Juni 2001, ketika Sumita yang mantan Direktur Pemberitaan SCTV ini diangkat menjadi nakhoda televisi yang mempunyai moto atau call station: menjalin persatuan dan kesatuan ini.  Konflik mulai terjadi setelah lulusan Ohio State University ini merombak drastis sistem manajemen, termasuk di divisi program hiburan dan pemberitaan. Upaya perbaikan yang digagas Sumita ini ternyata malah menuai resistensi sistematis dari dalam.  Terakhir, beredar secara terbuka di kalangan karyawan TVRI Pusat, surat Federasi Serikat Pekerja (FSP-TVRI). Isinya, meminta Mente