Skip to main content

Barcelona


BAKOEL
Cafe, sore itu tidak seramai sehari sebelumnya. Di lantai dasar hanya ada seorang perempuan berambut ekor kuda dengan pakaian modis seperti sosialita kalau melihat tas merek Hermes di atas meja.

Perempuan itu sekira 45 tahun. Kerut di sudut mata bergaris tiga sangat terlihat dan leher bagian samping kiri setidaknya ada lima berbintik hitam.

Sebuah tahi lalat yang bersamar kulit menonjol indah di atas bibir kanan sekira setengah sentimeter dari hidung. Nyaris mirip tahi lalat Kate Winslet yang kadang samar dan kadang manifes.

Dia sudah pasti tak menyadari tengah diperhatikan seseorang karena pandangannya tengah fokus ke arah trotoar basah dari kaca bening tembus pandang.

Tidak jelas siapa yang dilihat di luar. Ada dua sepeda motor butut diparkir sembarangan di pinggir jalan. Entah milik tukang ojek pengkolan atau seseorang yang tengah berurusan di kantor sebelah. Hanya satu sepeda motor yang bisa dipastikan statusnya, karena ada rangka yang digunakan untuk membawa tabung gas dan air galon. Di sampingnya ada kereta milik seorang pedagang roti Tan Ek Tjoan yang sedang meladeni pembeli. Cuaca bagi yang suka hawa kering tengah tidak bersahabat kali ini karena di luar juga sudah mulai gerimis.

Sementara sedotan mungil ramah lingkungan yang selalu dibawanya dari rumah terus mengaduk segelas Espresso ukuran sedang. Cara mengaduknya sangat perlahan, jeda yang teratur dan seolah berirama.

Seorang laki-kaki muda dengan langkah terburu-buru hampir menabrak orang yang baru saja keluar sampai pintu berlonceng membuat barista kaget. Laki-laki sekira 20 tahun tangannya langsung menyeret kursi untuk mendekat. 

Senyum perempuan itu menyambutnya aneh. Seperti ada kerinduan tetapi sedikit canggung.

Begitu juga laki-laki yang duduk tepat di depannya dan nyaris beradu ujung hidung sangat bernafsu. Dan beberapa kali seolah ingin menerkamnya.

Dua mahluk ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna itu kemudian melempar tumbuhnya dan bersender di masing-masing kursi. Keduanya nyaris bersamaan menarik napas. Keduanya kemudian bersitatap dan keduanya saling menumpuk tangan di atas meja.

Kejadian itu sudah meyakinkan bahwa keduanya bukan ibu dan anak. Tidak ada hubungan darah. Yakinlah mereka memiliki hubungan istimewa. Mereka berpacaran atau berselingkuh.

"Maafkan Tante pemberitahuannya mendadak," kata Imelda. "Bagaimana kuliahnya?"

"Masih skripsi, tinggal perbaikan mikro. Substansi sudah tidak malasalah," Anton, membalas nyaris hilang suaranya.

"Biasa aja, bikin skripsi kok seperti buat tesis," Imelda memecah suasana.

Anton mengangkat bahu. Mata coklatnya terus menatap Imelda.

"Kita harus cooling down dulu. Kita harus akhiri. Hanya sementara. Seperti yang dibicarakan sekilas di telefon," suara Imelda sangat berat, meyakinkan.

"Tapi nggak lama kan?" kata Anton, ragu.

"Iya."

"Apakah suami Tante sudah tahu?"

"Belum."

"Kalau belum kenapa tidak lanjut saja. Seperti biasa. Sangat menyenangkan. Mungkin orang bilangnya absurd karena kita tak aneh-aneh sementara kita ini mahluk tinggi berahi."

"Berat untuk sekarang."

"Kenapa berat?"

"Anton belum baca berita hari ini? Coba lihat ini," Imelda menunjukkan berita dari sebuah media daring lewat gawainya.

Anton sebenarnya terkejut dari judulnya yang menyebut nama Imelda atas dugaan korupsi suaminya sebagai pejabat tingi di sebuah kementerian.

"Sebentar lagi akan menyeret Tante. Kalau hubungan kita terus berlanjut bisa menyeret Anton juga. Dan itu Tante nggak mau."

Anton tetap diam. 

"Anton sangat berharga dan bahkan tak ternilai buat Tante. Anton yang selama ini membuat hidup Tante optimistis dan berwarna."

"Saya akan kehilangan Tante untuk berapa lama?"

"Entahlah. Mungkin satu bulan, satu tahun atau mungkin lebih."

Anton semakin bingung. 

"Kalau rindu Tante, datanglah ke kafe ini atau bacalah novel favorit Tante di Taman Suropati tempat kita pertama kali bertemu. Buatlah puisi terbaik untuk Tante."

Seperti ada nada putus asa dari Imelda bila mendengar di bagian akhir pernyataannya yang sempat tercekat.

"Sudah Tante ingatkan sejak setahun lalu jangan korupsi lagi. Untuk apalagi, duit sudah banyak, emas apalagi, tanah banyak yang tak terurus, apartemen, peternakan di Cianjur," ujar Imelda. "Tapi rupanya perempuan jalang itu yang terus mencekokinya."

Ada jeda sebentar, emosinya mulai mereda.

"Perempuan yang hampir membuat mati suami karena mau buat perkasa disuapi terus obat kuat. Coba! Padahal dia nggak bisa dipaksa. Bangun saja susah apalagi mau bibikin keras."

Anton sebenarnya ingin tertawa. Tapi bisa menahannya. Anton meraih tangan Imelda dan kemudian meremas jarinya yang berkutek merah. Hangat.

"Mau bikin mati, sekarang dia mau menjebloskan si Johan dan mungkin Tante istrinya juga dibui."

Anton hanya bisa diam dan menatap wajah Imelda yang sudah dikenalnya sejak pertemuan pertama di Taman Suropati tiga bulan lalu. Imelda tengah sendirian di bangku taman yang menghadap ke rumah dinas Gubernur DKI Jakarta sambil membaca novel klasik "The Ladies Paradise" karya penulis Prancis Emile Zola. Novel yang memotret Kota Paris dengan segala kelakuan warganya.

Anton menganggap tidak penting untuk bicara. Saat ini yang tepat menjadi pendengar yang baik.

"Perempuan jahanam yang cuma bermodalkan operasi keperawanan dan tetek palsu," kembali Imelda nyerocos. 

Anton berusaha untuk memberi tahu Imelda untuk menurunkan volume suara dengan gerakan tangan. Anton tak nyaman dengan senyuman kasir dan barista yang menguping.

"Saya yakin di memeknya ada duit korupsi. Benang untuk untuk menjahitnya pakai duit suap dari rekanan proyek," katanya lagi. "Najis!"

Anton kembali menenangkan Imelda dengan menyentuh kedua tangannya. Sementara barista dan seorang kasir menahan tawa dengan menutup mulutnya. Mungkin mendengar kata 'memek'.

"Satu bulan ini jangan dulu menghubungi Tante. Tak ada gunanya juga karena akan ganti nomor juga. Nomor ini akan dibuang."

"Saya pasti rindu," Anton seperti merengek.

"Iya tahu. Tante mengerti."

"Ini uang kuliah," Imelda menyodorkan amplop coklat sangat tebal.

"Saya tidak minta uang."

"Memang tidak ada yang minta."

"Lalu."

"Tante hanya ngasih aja. Mungkin perlu biaya untuk skripsi."

"Saya sudah cukup sebagai konten kreator."

"Tante tahu. Terima saja. Itu uang halal, bukan duit korupsi."

"Saya jadi seperti jual jasa."

"Tidak ada yang jual jasa. Memang kita pernah berhubungan badan. Tidak kan? Selama ini kita hanya ngobrol, nonton film, makan diskusi tentang buku. Itu saja kan? Tak ada yang lain."

Anton mengangguk.

"Tante bukan istri yang dendam. Karena suami selingkuh atau kawin lagi lalu Tante harus membalasnya. Tidak! Kalah dong Tante."

Anton hanya tersenyum. Kemudian berujar seperti pengakuan anak kecil, "Kita hanya cium pipi."

"Hahahahah. Iya, cium pipi.  Ciuman sayang atau ciuman nafsu?"

"Menurut Tante rasanya seperti apa?"

Pertanyaan bodoh itu terlontar juga.

"Ehm.... Pantau pemberitaan di media ya. Kalau tidak ada, berarti Tante aman."

Anton mengangguk. Kopi yang baru dipesan sudah datang dan menguap aroma arabika Gunung Puntang. Aroma kopi yang bercampur dengan wangi parfum Imelda yang meninggalkannya sendirian.

Mata Anton tak berkedip sampai bokong sempurna perempuan itu menghilang.

***

Sore itu Anton tengah mengerjakan proyek konten video seorang youtuber di sebuah kafe di kawasan Rasuna Said bersama dua orang temannya.

Tiga kali bunyi Whatsapp diabaikannya. Anton mengira hanya bunyi dari grup WA yang iseng dan banyak menebar hoaks atau gosip murahan di kalangan anak kampus sastra. Sudah lama berniat keluar dari grup tapi nggak enak sama teman-temannya. Demi menghormati teman-temannya hanya dibiarkan dan tak pernah dibaca lagi.

Bunyi yang kelima, baru Anton mengeluarkan gawai dari saku celananya. Pesan bukan dari WA melainkan dari Telegram. Nomornya tak asing.

"Anton ini Tante."

Sudah tiga kali pesan dengan kalimat yang nyaris sama.

"Maaf. Tadi lagi rapat sama teman. Oke, oke," balas Anton cepat tapi anehnya tak meninggalkan typo.

"Anton berikan alamat nanti ada kurir yang antarkan tiket pesawat dan transport."

"Maksud Tante?"

"Tante sudah di Barcelona seminggu yang lalu. Tante aman."

"Johan dan si perempuan jalang itu yang jadi tersangka. Tante aman. Selingkuhan si Johan memang dungu. Dasar pemalas dan mau gampangnya saja. Semua duit maunya ditransfer. Tahu rasa, walaupun yang transfer sopirnya si Johan. Ketahuan juga."

Anton masih belum bicara. Dia masih kaget dan tidak percaya. Ternyata sudah hampir enam bulan Anton tak memperhatikan Imelda. Lupa juga membaca novel kesukaan Imelda di Taman Suropati. Apalagi membuat puisi rindu. 

Apakah Anton telah melupakannya? Ah, tidak. Buktinya aku masih rindu, batin Anton.

Rindu melihat payudaranya yang ideal seperti Amber Heard, tingginya seperti Gwyneth Paltrow dan bokongnya mirip Scarlett Johansson.

"Segera ke Barcelona. Ditunggu ya. Sudah bosan disebut Tante." 



                                          Depok, 4 Juni 2023


Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f