BAKOEL Cafe, sore itu tidak seramai sehari sebelumnya. Di lantai dasar hanya ada seorang perempuan berambut ekor kuda dengan pakaian modis seperti sosialita kalau melihat tas merek Hermes di atas meja.
Perempuan itu sekira 45 tahun. Kerut di sudut mata bergaris tiga sangat terlihat dan leher bagian samping kiri setidaknya ada lima berbintik hitam.
Sebuah tahi lalat yang bersamar kulit menonjol indah di atas bibir kanan sekira setengah sentimeter dari hidung. Nyaris mirip tahi lalat Kate Winslet yang kadang samar dan kadang manifes.
Dia sudah pasti tak menyadari tengah diperhatikan seseorang karena pandangannya tengah fokus ke arah trotoar basah dari kaca bening tembus pandang.
Tidak jelas siapa yang dilihat di luar. Ada dua sepeda motor butut diparkir sembarangan di pinggir jalan. Entah milik tukang ojek pengkolan atau seseorang yang tengah berurusan di kantor sebelah. Hanya satu sepeda motor yang bisa dipastikan statusnya, karena ada rangka yang digunakan untuk membawa tabung gas dan air galon. Di sampingnya ada kereta milik seorang pedagang roti Tan Ek Tjoan yang sedang meladeni pembeli. Cuaca bagi yang suka hawa kering tengah tidak bersahabat kali ini karena di luar juga sudah mulai gerimis.
Sementara sedotan mungil ramah lingkungan yang selalu dibawanya dari rumah terus mengaduk segelas Espresso ukuran sedang. Cara mengaduknya sangat perlahan, jeda yang teratur dan seolah berirama.
Seorang laki-kaki muda dengan langkah terburu-buru hampir menabrak orang yang baru saja keluar sampai pintu berlonceng membuat barista kaget. Laki-laki sekira 20 tahun tangannya langsung menyeret kursi untuk mendekat.
Senyum perempuan itu menyambutnya aneh. Seperti ada kerinduan tetapi sedikit canggung.
Begitu juga laki-laki yang duduk tepat di depannya dan nyaris beradu ujung hidung sangat bernafsu. Dan beberapa kali seolah ingin menerkamnya.
Dua mahluk ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna itu kemudian melempar tumbuhnya dan bersender di masing-masing kursi. Keduanya nyaris bersamaan menarik napas. Keduanya kemudian bersitatap dan keduanya saling menumpuk tangan di atas meja.
Kejadian itu sudah meyakinkan bahwa keduanya bukan ibu dan anak. Tidak ada hubungan darah. Yakinlah mereka memiliki hubungan istimewa. Mereka berpacaran atau berselingkuh.
"Maafkan Tante pemberitahuannya mendadak," kata Imelda. "Bagaimana kuliahnya?"
"Masih skripsi, tinggal perbaikan mikro. Substansi sudah tidak malasalah," Anton, membalas nyaris hilang suaranya.
"Biasa aja, bikin skripsi kok seperti buat tesis," Imelda memecah suasana.
Anton mengangkat bahu. Mata coklatnya terus menatap Imelda.
"Kita harus cooling down dulu. Kita harus akhiri. Hanya sementara. Seperti yang dibicarakan sekilas di telefon," suara Imelda sangat berat, meyakinkan.
"Tapi nggak lama kan?" kata Anton, ragu.
"Iya."
"Apakah suami Tante sudah tahu?"
"Belum."
"Kalau belum kenapa tidak lanjut saja. Seperti biasa. Sangat menyenangkan. Mungkin orang bilangnya absurd karena kita tak aneh-aneh sementara kita ini mahluk tinggi berahi."
"Berat untuk sekarang."
"Kenapa berat?"
"Anton belum baca berita hari ini? Coba lihat ini," Imelda menunjukkan berita dari sebuah media daring lewat gawainya.
Anton sebenarnya terkejut dari judulnya yang menyebut nama Imelda atas dugaan korupsi suaminya sebagai pejabat tingi di sebuah kementerian.
"Sebentar lagi akan menyeret Tante. Kalau hubungan kita terus berlanjut bisa menyeret Anton juga. Dan itu Tante nggak mau."
Anton tetap diam.
"Anton sangat berharga dan bahkan tak ternilai buat Tante. Anton yang selama ini membuat hidup Tante optimistis dan berwarna."
"Saya akan kehilangan Tante untuk berapa lama?"
"Entahlah. Mungkin satu bulan, satu tahun atau mungkin lebih."
Anton semakin bingung.
"Kalau rindu Tante, datanglah ke kafe ini atau bacalah novel favorit Tante di Taman Suropati tempat kita pertama kali bertemu. Buatlah puisi terbaik untuk Tante."
Seperti ada nada putus asa dari Imelda bila mendengar di bagian akhir pernyataannya yang sempat tercekat.
"Sudah Tante ingatkan sejak setahun lalu jangan korupsi lagi. Untuk apalagi, duit sudah banyak, emas apalagi, tanah banyak yang tak terurus, apartemen, peternakan di Cianjur," ujar Imelda. "Tapi rupanya perempuan jalang itu yang terus mencekokinya."
Ada jeda sebentar, emosinya mulai mereda.
"Perempuan yang hampir membuat mati suami karena mau buat perkasa disuapi terus obat kuat. Coba! Padahal dia nggak bisa dipaksa. Bangun saja susah apalagi mau bibikin keras."
Anton sebenarnya ingin tertawa. Tapi bisa menahannya. Anton meraih tangan Imelda dan kemudian meremas jarinya yang berkutek merah. Hangat.
"Mau bikin mati, sekarang dia mau menjebloskan si Johan dan mungkin Tante istrinya juga dibui."
Anton hanya bisa diam dan menatap wajah Imelda yang sudah dikenalnya sejak pertemuan pertama di Taman Suropati tiga bulan lalu. Imelda tengah sendirian di bangku taman yang menghadap ke rumah dinas Gubernur DKI Jakarta sambil membaca novel klasik "The Ladies Paradise" karya penulis Prancis Emile Zola. Novel yang memotret Kota Paris dengan segala kelakuan warganya.
Anton menganggap tidak penting untuk bicara. Saat ini yang tepat menjadi pendengar yang baik.
"Perempuan jahanam yang cuma bermodalkan operasi keperawanan dan tetek palsu," kembali Imelda nyerocos.
Anton berusaha untuk memberi tahu Imelda untuk menurunkan volume suara dengan gerakan tangan. Anton tak nyaman dengan senyuman kasir dan barista yang menguping.
"Saya yakin di memeknya ada duit korupsi. Benang untuk untuk menjahitnya pakai duit suap dari rekanan proyek," katanya lagi. "Najis!"
Anton kembali menenangkan Imelda dengan menyentuh kedua tangannya. Sementara barista dan seorang kasir menahan tawa dengan menutup mulutnya. Mungkin mendengar kata 'memek'.
"Satu bulan ini jangan dulu menghubungi Tante. Tak ada gunanya juga karena akan ganti nomor juga. Nomor ini akan dibuang."
"Saya pasti rindu," Anton seperti merengek.
"Iya tahu. Tante mengerti."
"Ini uang kuliah," Imelda menyodorkan amplop coklat sangat tebal.
"Saya tidak minta uang."
"Memang tidak ada yang minta."
"Lalu."
"Tante hanya ngasih aja. Mungkin perlu biaya untuk skripsi."
"Saya sudah cukup sebagai konten kreator."
"Tante tahu. Terima saja. Itu uang halal, bukan duit korupsi."
"Saya jadi seperti jual jasa."
"Tidak ada yang jual jasa. Memang kita pernah berhubungan badan. Tidak kan? Selama ini kita hanya ngobrol, nonton film, makan diskusi tentang buku. Itu saja kan? Tak ada yang lain."
Anton mengangguk.
"Tante bukan istri yang dendam. Karena suami selingkuh atau kawin lagi lalu Tante harus membalasnya. Tidak! Kalah dong Tante."
Anton hanya tersenyum. Kemudian berujar seperti pengakuan anak kecil, "Kita hanya cium pipi."
"Hahahahah. Iya, cium pipi. Ciuman sayang atau ciuman nafsu?"
"Menurut Tante rasanya seperti apa?"
Pertanyaan bodoh itu terlontar juga.
"Ehm.... Pantau pemberitaan di media ya. Kalau tidak ada, berarti Tante aman."
Anton mengangguk. Kopi yang baru dipesan sudah datang dan menguap aroma arabika Gunung Puntang. Aroma kopi yang bercampur dengan wangi parfum Imelda yang meninggalkannya sendirian.
Mata Anton tak berkedip sampai bokong sempurna perempuan itu menghilang.
***
Sore itu Anton tengah mengerjakan proyek konten video seorang youtuber di sebuah kafe di kawasan Rasuna Said bersama dua orang temannya.
Tiga kali bunyi Whatsapp diabaikannya. Anton mengira hanya bunyi dari grup WA yang iseng dan banyak menebar hoaks atau gosip murahan di kalangan anak kampus sastra. Sudah lama berniat keluar dari grup tapi nggak enak sama teman-temannya. Demi menghormati teman-temannya hanya dibiarkan dan tak pernah dibaca lagi.
Bunyi yang kelima, baru Anton mengeluarkan gawai dari saku celananya. Pesan bukan dari WA melainkan dari Telegram. Nomornya tak asing.
"Anton ini Tante."
Sudah tiga kali pesan dengan kalimat yang nyaris sama.
"Maaf. Tadi lagi rapat sama teman. Oke, oke," balas Anton cepat tapi anehnya tak meninggalkan typo.
"Anton berikan alamat nanti ada kurir yang antarkan tiket pesawat dan transport."
"Maksud Tante?"
"Tante sudah di Barcelona seminggu yang lalu. Tante aman."
"Johan dan si perempuan jalang itu yang jadi tersangka. Tante aman. Selingkuhan si Johan memang dungu. Dasar pemalas dan mau gampangnya saja. Semua duit maunya ditransfer. Tahu rasa, walaupun yang transfer sopirnya si Johan. Ketahuan juga."
Anton masih belum bicara. Dia masih kaget dan tidak percaya. Ternyata sudah hampir enam bulan Anton tak memperhatikan Imelda. Lupa juga membaca novel kesukaan Imelda di Taman Suropati. Apalagi membuat puisi rindu.
Apakah Anton telah melupakannya? Ah, tidak. Buktinya aku masih rindu, batin Anton.
Rindu melihat payudaranya yang ideal seperti Amber Heard, tingginya seperti Gwyneth Paltrow dan bokongnya mirip Scarlett Johansson.
"Segera ke Barcelona. Ditunggu ya. Sudah bosan disebut Tante."
Depok, 4 Juni 2023
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada