Skip to main content

Jeng Susi


DALAM
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, janda didefinisikan sebagai wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai atau lantaran ditinggal mati suami.

Ada banyak jenis janda di antaranya janda berhias, yaitu janda yang belum beranak. Selanjutnya ada janda kembang sebutan untuk janda muda yang cantik dan belum beranak.

Berikutnya dikenal janda muda yaitu janda yang usianya masih relatif muda dan terakhir janda tebal, yaitu janda yang kaya dari sisi materi atau dalam istilah anak muda jaman kiwari disebut janda tajir.

Namun entah istilah apa yang cocok untuk para janda yang tergabung dalam Paguyuban Janda Indonesia (PJI), sebuah organisasi yang baru didirikan enam bulan silam itu. 

Ada yang curiga organisasi ini didirikan karena setahun lagi menjelang Pemilu. Artinya organisasi ini didirikan untuk kepentingan elitenya sehingga memiliki daya tawar dengan partai politik.

Tuduhan itu sampai saat ini tidak terbukti. Dari semua pengurusnya yang rata-rata cantik, semok dan wangi ini tidak ada yang termanifes sebagai kader parpol atau bagian dari kino partai. 

Tapi apapun tuduhan kepada mereka janganlah terlalu serius. Tudingan dan rumors tak mereka pedulikan. Dan para pengurus PJI memang cuek dengan sebutan atau stempel yang diberikan masyarakat.

Buat mereka istilah hanya akan memperpanjang kosa kata di kamus dan hanya akan menjadi permainan wacana pengamat sosial yang mencari popularitas di televisi partikelir.

Baginya, janda adalah janda. Itu sudah cukup. Biarkan ia terbebas dari kerangkeng makna, abstrak dan misterius. Kadang absurd. Bukankah sebagian orang suka dengan yang serba misterius?

Jeng Susi, 42 tahun, yang secara aklamasi terpilih menjadi ketua umum sempat melontarkan tekadnya untuk meningkatkan kesejahteraan para janda ketika presentasi program di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Saat itu dia juga merilis data jumlah janda paling anyar di Tanah Air yang diperoleh dari berbagai sumber.

Mereka umumnya lemah secara hukum, ekonomi dan memiliki daya tawar yang rendah. Terutama di daerah-daerah tertentu bahkan banyak janda di bawah umur. Di daerah tertentu ada janda musiman. Ketika musim paceklik atau malaise jumlah janda meningkat. Keprihatinan inilah yang menjadi salah satu alasan Jeng Susi mendirikan PJI.

Mungkin ada yang penasaran seperti apa sih sosok Jeng Susi ini. Biar ada bayangan, Jeng Susi itu kalau di Hollywood setidaknya mungkin mirip Elisabeth Olsen dan kadang mirip Jodie Comer. Tergantung fesyen yang dikenakan. Kadang justru mirip Scarlett Johansson.

Tidak sepenuhnya mirip Scarlett yang menjadi pemeran utama dalam "Black Window", "Under the Skin" atau "Vicky Cristina Barcelona". Memang penampilannya kadang berubah drastis sesuai outfit atau acara yang dihadiri. Tapi penampilan keseharian Jeng Susi lebih banyak mirip Cristina dalam Vicky Cristina Barcelona, kasual dan gemesin.

“Janda harus bangkit!” serunya saat itu yang disambut riuh serta tepuk tangan sekitar 250 janda yang 40 di antaranya sekaligus menjadi pengurus pusat.

“Janda adalah aset bangsa bukan perusak bangsa. Apalagi perusak bapak-bapak. Itu penghinaan. Tidak benar bila janda disebut sebagai penggoda istri orang. Itu oknum. Sekali lagi itu hanya oknum,” lanjutnya yang juga disambut standing ovation.

Kepada wartawan yang merubunginya seusai jumpa pers, Jeng Susi yang sangat wangi sempat menanggapi isu yang sudah dilansir sebuah radio berita sebelumnya tentang tawaran untuk berafiliasi dengan dua partai politik besar, Partai Gigi Kuning dan Partai Bibir Putih.

“Apakah tawaran itu serius Jeng Susi?” tanya seorang wartawan kerempeng berkacamata tebal berambut jiggrak.

“Saya kembali jelaskan bahwa organisasi kami independen dan berusaha untuk tidak tersangkut urusan politik praktis,” jawabnya diplomatis.

“Jawaban Jeng Susi tidak jelas. Abstrak. Membingungkan dan penuh interpretasi,” sambar seorang wartawan infotainmen.

Sebelum menjawab pertanyaan, Jeng Susi sejenak membereskan rambut sasaknya. Rambut hasil olahan sebuah salon ternama. Mahal. Ah, mahal itu kan relatif.

“Maksud Anda?” Jeng Susi balik bertanya.

“Maksud saya, ya atau tidak siap bergabung,” timpal sang wartawan, sok tegas.

“Saya tidak suka dengan jawaban ya dan tidak. Jawaban itu tidak kreatif. Kurang eksplorasi. Dari jawaban tersebut tidak akan lahir wacana dan yang ada hanya hitam putih,” jawab Jeng Susi berapi-api.

“Saya tambah tidak mengerti. Jawaban Anda semakin abstrak," komentar wartawan infotainmen itu sambil ngeloyor pergi.

Komentar Jeng Susi yang filosopis sudah pasti tidak akan menarik bagi tayangannya yang selalu mengeksploitasi perselingkuhan dan perceraian selebritas. Bahkan sudah pasti sang produser akan mentah-mentah menolaknya dan malah balik mencurigainya mendapat amplop.

Ujung-ujungnya sang produser yang sok tahu dan gila jabatan struktural minta ditraktir makan Gultik (Gulai Tikungan) di Blok M.

“Terus terang saja, saya trauma dengan partai politik.” Tiba-tiba Jeng Susi berucap dengan nada mengeluh.

“Bisa diperjelas, Jeng,” tanya seorang wartawan dari harian terbesar nasional yang kerap menulis masalah emansipasi wanita, feminisme, gender, dan advokasi perempuan, ini penasaran.

“Bekas suami saya orang partai,” jawab Jeng Susi.

“Siapa namanya? Paling tidak inisial.” Pertanyaan itu hampir serempak dilontarkan sekitar sepuluh wartawan yang merubunginya.

“Anda cari sendiri. Saya tidak akan menyebutkan identitasnya. Yang jelas saya pernah menjadi istrinya.”

“Kenapa bisa bercerai.” Kembali wartawan hampir serempak bertanya.

“No comment!”

* * *

Esoknya, sejumlah spekulasi pun menghiasai sejumlah koran nasional dan daerah. Sebuah surat kabar konservatif yang menghindari sensasi dan kini halamannya semakin tipis lantaran bersaing dengan medsos, menulis Jeng Susi pernah menikah dengan seorang anggota parlemen dari fraksi yang paling tidak tahan jadi oposisi.

Sedangkan sebuah koran yang mengandalkan pendapatan dari menjual oplah lumayan berani. Jeng Susi langsung ditulis pernah berselingkuh dengan anggota parlemen dari Partai Gigi Kuning dan dilengkapi inisial.

Sedangkan sebuah tabloid yang tak pernah menggaji karyawannya dan hanya modal kartu pers lebih berani lagi bahwa Jeng Susi sebenarnya adalah bekas istri simpanan yang pernah didamprat istri tua seorang angggota parlemen yang berasal dari daerah.

Wartawan hanya sibuk berspekulasi. Jeng Susi tak peduli.

Hari ini Jeng Susi terbang dengan jet pribadi. Kata sekretaris pribadinya, "Agenda sosialisasi."


                                         Depok, 19 Maret 2023


Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f