Skip to main content

Istri Rajip Minggat


SUDAH
enam purnama, Rajip ditinggal istri. Perempuan kedua yang paling dicintai setelah almarhumah ibunya yang mati karena ayan dan mengambang di empang pemancingan.

Rajip yang kawin muda tepatnya pada usia 19 tahun dan istrinya Sarwendah terpaut satu tahun lebih muda, tidak menyangka bakal ditinggal setelah hidup serumah tanpa anak -- walau dibuahi seminggu tiga kali -- selama lima tahun.

Sarwendah tidak hanya sekadar istri, teman, pemuas berahi tetapi juga sumber inspirasi. Sejumlah puisi dan cerpen lahir dari kehidupan dan penggambaran keseharian istrinya. Sebagian kecil tulisannya masih mentah namun lebih banyak lagi yang sudah rampung dan bernilai sastra. Tulisan sengaja dicetak dalam kertas kuarto menggunakan printer kantor tempat Rajip mencari nafkah sebagai kerani di perusahaan jasa kurir. Sebagian besar tulisan justru tersimpan dalam gejetnya. Semua tulisan dikerjakan lewat hape buatan China seri jadul ketika rehat, saat naik angkot atau ketika minum Kopi Liong Bulan di kedai pinggir jalan dekat Stasiun Tebet milik Mang Ajay Surajay.

Sampai saat ini, Rajip tak hendak menerbitkannya atau mengirimkan ke media sastra. Bukan karena minder tetapi memang lantaran belum ada niat untuk menerbitkannya. Rajip masih terus membacanya, bahkan ada karyanya yang sudah dibaca 30 kali. Rajip ingat karena saat itu bulan Agustus dan tiap hari dibaca.

Rajib begitu bersemangat menulis apapun tentang istrinya. Sampai tidak ada yang terlewatkan. Alis lebatnya, mata belonya, hidung bagusnya yang mirip Sandra Bullock, jari tangan, bokong, kuku hingga bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya termasuk di area paling sensitif pun tak luput jadi bahan tulisan.

Harapan, keinginan, ambisi, keluhan sampai candaan yang paling nakal pun dijadikan cerpen. Anehnya, Sarwendah seperti menikmatinya. Bahkan dia juga sebagai editor yang baik. Tidak hanya mengoreksi salah kata dan diksi tetapi hal-hal substantif pun bisa dia bahas berjam-jam hanya untuk memberi nama karakter, plot, latar hingga soal ending.

Rajib sampai pernah heran juga istrinya selain cerdas juga kok bisa secantik itu. Lebih heran lagi Rajip bisa mendapatkan istrinya padahal ketika masih perawan, Sarwedah seperti restoran viral zaman kiwari.  Antre! Laki yang cuma ingin menikmati sensasi sampai yang ngajak serius berbaur dalam satu antrean. Dan, justru Sarwendah pilih Rajip yang saat itu menghadiahinya tiga bait puisi berjudul "Bulu Matamu".

Rajib tak pernah tahu asal Sarwendah yang kini telah menjadi manusia urban. Namun, suatu kali Sarwendah mengaku keluarganya masih ada di perkebunan Batulawang di Priangan. Perkebunan karet, coklat dan jati yang dulunya milik Belanda. Konon, uyut Sarwendah adalah gundik seorang Belanda. Sarwendah pernah memperlihatkan foto kusam seorang perempuan muda berfoto dengan petugas perkebunan berwajah bule. Sarwendah meyakini perempuan itu adalah uyutnya. Rajip percaya.

***

Perpustakaan pribadi yang berisi buku sastra dan kumpulan puisi terjemahan sudah hampir 200 judul kini sudah tertata rapi dalam rak IKEA empat tingkat. Setiap bulan Rajip menyisihkan 300 ribu buat beli buku. Sarwendah tak pernah mengeluh karena dia juga doyan baca buku.

"Untuk menikmati sastra tak harus pendidikan tinggi apalagi sampai harus gelar doktor atau pun bergelar profesor sedekah (honoris causa)," kata Sarwendah, alumnus SMK jurusan kelistrikan, suatu saat ketika berbincang dengan tetangganya yang usil dan nyinyir, Suminem. 

"Lu, makan aja masih susah emang bisa kenyang dengan doyan baca. Panci aja masih kredit dari Mang Wawan Sutarwan dari Tasik," sindir Suminem. "Inget, rumah aja masih ngontrak."

Ah, tapi dasar Sarwendah tak pernah tersinggung. Apapun yang dikatakan tetangga. Tak pernah dimasukin hati. Semuanya ditanggapi dengan senyuman. Justru sikap ini yang membuat frustrasi tetangganya sampai ocehan berhenti sendiri.

Ada satu cerpen Rajip yang paling disukai Sarwendah dan kerap dibaca berulang judulnya "Dalam Dekapan Berandalan Geng Motor". Cerpen sepanjang 9.000 kata. Itu mungkin cerpen terpanjang milik Rajip yang selama ini kebanyakan karyanya berbentuk cerita mini (cermin). Rajib terkesan dan terinspirasi prosa pendek karya penyair Joko Pinurbo "Tak Ada Asu di Antara Kita", yang setiap ceritanya habis dibaca dalam tiga gigitan pisang goreng pontianak.

Awalnya cerpen itu berjudul "Geng Motor", namun Rajib setelah menimbang banyak, lebih memilih judul usulan istrinya, "Dalam Dekapan Berandalan Geng Motor". Dan tidak ada rencana untuk mengubah sedikit pun judul cerpen tersebut.

Namun, draf cerpen tersebut yang disimpan di rak buku bagian tengah ternyata raib bersama istrinya. Rajip pun curiga cerpen tersebut kemungkinan dibawa istrinya. Tapi untuk apa, batin Rajip.

Sampai saat ini Rajip tak pernah tahu alasan istrinya minggat. Urusan ekonomi tak masalah. Semua gaji kecuali untuk buku, langsung masuk rekening istri. Bahkan Rajip pun tak pernah tahu kode PIN dan memang tak mau tahu.

Soal kehidupan seksual, istrinya tak pernah mengeluh. Malah sering kewalahan. Dan Rajip terpaksa menekan berahinya dengan 100 kali push up. Pun, soal anak. Malah katanya seneng belum punya anak justru bisa bebas berdua seperti pengantin baru yang abadi. Dan tak pernah tersinggung dibilang tetangga sebagai keluarga gabug alias mandul.

***

Sore itu, Rajip menemukan surat bersampul putih dan berperangko. Rupanya ketika membuka pintu surat itu kegeser daun pintu ke pojok belakang. Baru ditemukan hampir delapan jam kemudian ketika Rajip hendak menutup pintu yang memang selalu terbuka hanya untuk sekadar menikmati bougenvil yang merambat di pagar bambu.

Tidak ada nama pengirim cuma alamat tujuan tertulis Aa Rajip dan alamat lengkap dengan kode posnya. Rajib tidak langsung merasa surat itu datang dari Sarwendah karena yang memanggil Aa banyak juga termasuk keluarga ibunya.

Rajip pun tak curiga surat itu datang dari istrinya. Karena sejak pacaran hingga menikah selama lima tahun Sarwendah tidak pernah sekalipun menulis surat untuknya. Apalagi surat cinta dan semacamnya.

Sarwendah bukan tipe wanita yang menuangkan cinta lewat narasi tetapi lebih dominan aksi. Berbeda dengan Rajip yang unggul dalam imajinasi, narasi dan aksi. Itulah kenapa Sarwendah menyukainya.

Rajip baru yakin surat itu dari Sarwendah ketika melihat langsung tiga foto ukuran kartu pos berwarna yang memperlihatkan kebersamaan Sarwendah dalam gerombolan kelompok geng motor. Entah dimana. Seperti di pegunungan atau mungkin bukit. 

Tidak hanya Sarwendah. Ada tiga perempuan lain yang tengah mengelilingi api unggun. Cuma sekira 15 laki-laki semuanya fokus pada Sarwendah yang sepertinya tengah memperagakan sebuah tarian. Sensual. Tari apakah, Rajip tak peduli. 

Selama ini Rajip tak pernah melihat istrinya menari, termasuk di hadapannya.  Sarwendah juga tidak pernah cerita bisa menari.

Cuma ada kalimat singkat di keterangan foto bagian belakang, "Aa terimakasih inspirasi cerpennya. Endah, menikmati banget dan apa yang menjadi imajinasi Aa dalam cerpen, Endah dapat menikmati dan menjiwainya. Terimakasih. Suatu hari mungkin Endah akan pulang dan cerita kepada Aa. Muah."

Rajib tak bisa berkata-kata. Hanya seperti orang linglung saja.

Serasa ingin merobek,  mencabik-cabik dan membakar cerpen tersebut. Tapi cerpen itu dibawa Sarwendah entah kemana. 


                                           Depok, 14 Juni 2023

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f