Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2008

Susah banget minta maaf, Meneer!

KANTOR berita Associated Press (AP), Senin (24/11), membawa kabar buruk yang kesekian kalinya bahwa pemerintah Belanda tetap keukeuh tidak akan memberikan kompensasi bagi 431 korban pembantaian di Rawagede, 9 Desember 1949. Dalam tragedi kemanusiaan 61 tahun lalu itu, laki-laki warga Desa Rawagede dibantai tentara kolonial Belanda dalam masa Agresi Militer Belanda I atau pemerintah kolonial menyebutnya aksi polisional memberantas perusuh-perusuh dan pelaku kriminalitas. Sebutan aksi polisional ini sangat menistakan pejuang-pejuang yang mempertahankan kemerdekan. Selayaknya pemerintah Indonesia tersinggung dengan istilah aksi polisional itu. Karena dengan demikian para pejuang yang “telanjur” dikubur di taman makam pahlawan itu berarti para kriminal. Konsekuensinya, ya harus dibongkar dan dienyahkan dari taman makam pahlawan. Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak tersinggung dan malah melunak. Bahkan upaya Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang peduli dengan warga Rawagede

Puisi Chairil Anwar bikin kuduk merinding

Foto: tirto.id TRAGEDI pembantaian 431 noncombatan atau sipil yang tidak bersalah dalam perang kemerdekaan di Rawagede, Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, seolah terjadi di depan mata. Apalagi saat puisi Chairil Anwar dibacakan seorang anak SMP di pusara para korban keganasan kolonial Belanda dalam rangka peringatan ke-61 Tragedi Rawagede, kemarin (9/12) . Beberapa di antaranya bahkan ada yang menitikkan air mata. Karawang Bekasi Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Kami bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa Kami cuma tulang-tulang

Eksil Sunda Melawat ke Tanah Parahyangan

SUATU hari penulis mendapat email dari Supardi Adiwidjaya (66), eksil Sunda di Belanda. Pos eletronik itu tak terlalu panjang tetapi sangat berkesan terutama tentang penegasan ideologi yang dianutnya. Selama ini penulis mendapat kesan, eksil yang berdiaspora di Belanda, Prancis, Eropa Timur, Kuba atau negara lainnya kerap berpandangan sinis dan provokatif, apalagi bila menyangkut Orde Baru. "Saya senang sekali membaca dua atikel kritis Anda yang dimuat Pikiran Rakyat Bandung. Saya juga senang membaca tulisan-tulisan di blog Anda," kata Supardi yang kembali mendapat kewarganegaraan Indonesia Selasa, 13 November 2007 pukul 11.00 waktu Belanda. Tak lama berselang, penulis kembali mendapat pos elektronik yang mengabarkan Supardi bakal berkunjung ke Indonesia. "Saya akan ke Indonesia dua bulan mendatang. Anda mau oleh-oleh apa?" tulisnya. "Boleh, kalau bekenan saya bawain buku tentang jurnalisme," balas penulis singkat. Supardi mengaku, secara

Pembantaian Rawagede dan Martabat Bangsa

Oleh: Yayat R Cipasang , Direktur Eksekutif Institut for Press and Cultural Studies (IPCS) Depok, Jawa Barat KANTOR berita Associated Press (AP), Senin (24/11), membawa kabar buruk yang kesekian kalinya bahwa pemerintah Belanda tetap keukeuh tidak akan memberikan kompensasi bagi 431 korban pembantaian di Rawagede, 9 Desember 1949. Dalam tragedi kemanusiaan 61 tahun lalu itu, laki-laki warga Desa Rawagede dibantai tentara kolonial Belanda dalam masa Agresi Militer Belanda II atau pemerintah kolonial menyebutnya aksi polisional memberantas perusuh-perusuh dan pelaku kriminalitas. Sebutan aksi polisional ini sangat menistakan pejuang-pejuang yang mempertahankan kemerdekan. Selayaknya pemerintah Indonesia tersinggung dengan istilah aksi polisional itu. Karena dengan demikian para pejuang yang "telanjur" dikubur di taman makam pahlawan itu berarti para kriminal. Konsekuensinya, ya harus dibongkar dan dienyahkan dari taman makam pahlawan. Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak te

Belajar berkelit dari panggilan polisi, cilaka!

INI oleh-oleh dari training paralega bertemakan "Bagaimana Jurnalis Menghindari Gugagatan Hukum" yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerjasama dengan LBH Pers di GG House, Puncak, Bogor, Jawa Barat, Jumat-Minggu, 14-16 November 2008. Banyak pengalaman ditimba dari training yang menurut saya dikemas cukup interaktif ini. Selain pembicara yang berkompeten juga teman-teman peserta pelatihan dari beragam suku dan asal media sangat akrab dan bersahabat. Sebelum pulang untuk kembali sibuk dengan aktivitas di Jakarta, saya sempat berfoto dengan empat jurnalis perempuan yang cerewet dan kritis. Duduk dari sebelah kiri Indah Dian Novita (SCTV) dan Rifa (Harian Kontan). Berdiri dari kiri Musdalifah (Jurnal Nasional) dan Elizabeth Fang (ME Asia). Laki-laki yang di tengah tak perlu lagi dipernalkan. *) Kata “cilaka” adalah ikon Bayu Wicaksono (LBH Pers) saat menjadi pembicara. Ada yang menghitung kata cilaka diucapkan sampai 50 kali selama presentasi. Rajin