Skip to main content

Pembantaian Rawagede dan Martabat Bangsa

Oleh: Yayat R Cipasang, Direktur Eksekutif Institut for Press and Cultural Studies (IPCS) Depok, Jawa Barat

KANTOR berita Associated Press (AP), Senin (24/11), membawa kabar buruk yang kesekian kalinya bahwa pemerintah Belanda tetap keukeuh tidak akan memberikan kompensasi bagi 431 korban pembantaian di Rawagede, 9 Desember 1949.

Dalam tragedi kemanusiaan 61 tahun lalu itu, laki-laki warga Desa Rawagede dibantai tentara kolonial Belanda dalam masa Agresi Militer Belanda II atau pemerintah kolonial menyebutnya aksi polisional memberantas perusuh-perusuh dan pelaku kriminalitas.

Sebutan aksi polisional ini sangat menistakan pejuang-pejuang yang mempertahankan kemerdekan. Selayaknya pemerintah Indonesia tersinggung dengan istilah aksi polisional itu.

Karena dengan demikian para pejuang yang "telanjur" dikubur di taman makam pahlawan itu berarti para kriminal. Konsekuensinya, ya harus dibongkar dan dienyahkan dari taman makam pahlawan.

Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak tersinggung dan malah melunak. Bahkan upaya Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang peduli dengan warga Rawagede malah dihalang-halangi dan dicurigai.

Rawagede

Dalam laporan AP tersebut, pemerintah Belanda berdalih, permintaan kompensasi telah kedaluwarsa karena kejadian sudah terlalu lama. Ini sungguh ironis dengan perilaku Belanda sendiri yang hingga kini masih menuntut kompensasi kepada pemerintah Jerman atas kekejian NAZI dan kepada pemerintah Jepang atas penahanan dan penyiksaan puluhan ribu interniran di Hindia Belanda pada masa Perang Dunia II.

Sejatinya, memang pemerintah Belanda tidak punya keinginan sedikit pun untuk memberikan kompensasi kepada korban di Rawagede atau korban Westerling di Sulawesi Utara. Sungguh beralasan bila pemerintah Belanda hingga kini terus bersikukuh bahwa Agresi Militer I dan II itu sebagai aksi polisional memberantas gerombolan perusuh.

Kemudian pemerintah Belanda juga masih bersikukuh kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanya diakui secara de facto atau secara moral tidak secara hukum atau de jure. Pengakuan Belanda secara de jure diberikan pada 27 Desember 1949, yaitu ketika penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Dari sini terlihat bahwa Belanda ingin menghindar dari tuduhan telah melakukan kejahatan perang yang hukumannya sangat berat dan termasuk harus membayar kompensasi yang tidak ringan bagi korban tentara kolonial.

Lebih lucu lagi, pemerintah Belanda juga berdalih, kompensasi itu tidak perlu lagi diberikan karena banyaknya wisatawan Belanda yang berkunjung ke Indonesia serta bantuan dalam bentuk hibah juga diseterakan dengan kompensasi untuk korban pembantaian Rawagede. Sungguh tidak masuk akal dan mengada-ada!

Ladang Pembantaian

Agresi Militer Belanda II mengundang perhatian PBB. Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menyetujui Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.

Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia, dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara, karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.

Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia, pada 8 Desember 1947 dimulai perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville sebagai tempat netral.

Walaupun telah ditandatangani gencatan senjata dan selama perundingan di atas kapal Renville berlangsung, di Jawa Barat tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen) yang pernah dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling.

Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor menyerang desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan seorangpun tentara Indonesia. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang.

Penduduk laki-laki di atas 15 tahun diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat keberadaan para pejuang Indonesia.

Perwira Belanda tersebut kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan.

Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin dan ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga kena tembak di tangan, namun dia menjatuhkan diri dan pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang, yaitu pembunuhan terhadap noncombatant. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 sentimeter saja, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.

Peristiwa pembantaian ini juga diketahui oleh Committee of Good Offices for Indonesia dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai "deliberate and ruthless", tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak berdosa sebagai kejahatan perang (war crimes).

Berdasarkan catatan KUKB, hingga kini masih hidup 9 orang janda korban dan 7 orang korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede. Yang termuda dari mereka, Imi, kini berusia 75 tahun. Ketika itu, dia berusia 15 tahun dan baru menikah 3 hari. Suaminya ditembak mati di hadapannya. Sejak itu dia tidak pernah menikan lagi. Mereka semua hanyalah penduduk desa yang buta huruf.

Dubes Belanda ke Rawagede

Anggota Parlemen Belanda dari Partai Sosialis Harry van Bommel menyampaikan mosi kepada pemerintah agar memfasilitasi veteran Belanda yang bersedia menghadiri peringatan Pembantaian Rawagede, Karawang, 9 Desember mendatang.

Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam diminta Bommel untuk menghadiri peringatan tragedi kemanusiaan yang menjadi beban sejarah Negeri Kincir Angin di Indonesia.

Rawagede-1

Perdebatan sempat terjadi di Parlemen Belanda mengenai layak tidaknya para veteran menghadiri peringatan pembunuhan 431 yang semua korbannya laki-laki. Namun, pernyataan resmi pemerintah Belanda menyatakan bahwa veteran tidak berkeinginan untuk hadir di Rawagede.

Menurut Ketua KUKB Batara Hutagalung, Bommel dalam surat elektroniknya menyampaikan kabar bahwa veteran yang akan hadir tidak secara institusi melainkan secara pribadi. Sejauh ini, ada satu keluarga veteran Belanda yang bersedia hadir dalam peringatan di Rawagede.

Bommel adalah dua di antara tiga anggota Parlemen Belanda yang pernah bertemu dengan korban dan ahli waris korban Rawagede di JW Marriott, 19 Oktober lalu. Ia juga memastikan Parlemen Belanda secara mayoritas memerintahkan Dubes Belanda di Indonesia untuk hadir di tengah-tengah warga Rawagede.

Bila memang Dubes Belanda jadi hadir, ini sebuah kemajuan besar dalam rangka rekonsiliasi. Namun, tidak akan mudah bagi Belanda untuk mengakui pembantaian itu sebagai kejahatan perang karena konsekuensinya akan sangat panjang baik secara politik maupun ekonomi.

Sumber Foto: http://indonesiakemarin.blogspot.com dan
www.swaramuslim.net


Depok, 1 Desember 2008

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f