Foto: tirto.id
Apalagi saat puisi Chairil Anwar dibacakan seorang anak SMP di pusara para korban keganasan kolonial Belanda dalam rangka peringatan ke-61 Tragedi Rawagede, kemarin (9/12) . Beberapa di antaranya bahkan ada yang menitikkan air mata.
Karawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Kami bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai,
Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaullah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
“Setiap puisi Chairil Anwar dibacakan di tempat ini. Saya selalu merinding,” kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung.
KUKB adalah sebuah organisasi nirlaba nonpemerintah yang memperjuangkan hak-hak warga sipil korban pembantaian tentara kolonial Belanda dan Inggris secara bermartabat.
“Jadi tulang-tulang berserakan yang ada dalam puisi Chairil Anwar itu ya di sini,” ujar Batara.
Peringatan ke-61 Pembataian Rawagede ini mendapat liputan luas media cetak dan radio Belanda. Liputan media nasional juga cukup lengkap dari mulai media online, radio, cetak, kantor berita hingga televisi.
Metro TV dan TVOne yang secara khusus membuat film dokumenter tentang tragedi yang dapat dikategorikan genosida, kejahatan HAM, dan kejahatan perang ini.
“Ini menunjukkan media kita sudah melek sejarah,” kata Batara mengomentari luasnya peliputan media.
Dalam peringatan tersebut, Dubes Belanda Nikolaos van Dam yang fasih bahasa Indonesia dan Arab ini menabur bunga di pusara korban keganasan kolonial seperti di makam Selin, Doyot, Toyib, Takib, Deblo, Tirtawinata, Dacim dan Sertim.
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada