Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2016

Dahlan Iskan, si Bewok dan Ahok

AWALNYA, saya melihat ketiga nama yang sudah menjadi elite nasional itu tak ada hubungannya sama sekali alias berdiri sendiri. Belakangan setelah mencermati isu pemberitaan media massa dan memaknai segenap rumors di media sosial, saya melihat nama Dahlan Iskan, Surya Paloh (Bewok) dan Ahok bertransformasi melebihi nama itu sendiri, sangat luber dengan nilai dan konspiratif. Bila ketiga nama itu disandingkan dan ada keharusan untuk memilih, tentu saya tanpa berpikir terlalu lama saya akan memilih Dahlan Iskan. Termasuk bila ada tambahan nama lain seperti Jokowi. Tetap saya akan memilih Dahlan Iskan. Tentu di sini saya harus memberikan alasannya agar fair sehingga tidak dicurigai bukan-bukan oleh gerombolan  yang memiliki pemahaman berbeda dengan saya. Perlu dijelaskan pula, ketika Dahlan Iskan menjabat Dirut PT PLN (Persero) dan juga Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), saya termasuk sering menulis dan mengkritisi pemilik Grup Jawa Pos itu.  Beberapa polah dan goyonan

Film semi Korea, emang paling-paling...

BELAKANGAN ini tiba-tiba saja saya sangat menyukai film-film Korea Selatan, terutama sinema seminya. Aktrisnya tentu cantik-cantik. Ada yang kurus ada juga yang semok. Tidak seperti film Jepang, pemain semi itu seperti dibintangi aktris film kelas keduanya. Terlepas, dari aktris Korea itu apakah produk vermak wajah atau operasi plastik atau manipulasi make up yang kini juga digandrungi ibu-ibu muda di Indonesia. Film semi di Korea adalah bagian dari budaya populer yang terus disebarkan seperti virus ke sejumlah negeri jiran termasuk Indonesia. Dari sejumlah film yang sudah saya tonton ada sejumlah kesamaan tema dan juga substansi antara film-film Korea dengan film atau kultur urban di Indonesia. Nggak jauh dari kehidupan sosialita, hedonisme dan tentu perselingkuhan. Rupanya ini yang membuat remaja dan ibu-ibu muda Indonesia keranjingan film Korea. Setidaknya ada dua film semi Korea yang membetot perhatian saya. Kedua film yang diproduksi tahun 2016 ini memiliki kesamaan tema,

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Pingin jadi menantu tante

SELALU saja ada pengalaman menarik ketika anggota DPR terjun ke daerah baik itu saat reses, kunjungan kerja atau sosialisasi program. Anggota DPR dari Partai Demokrat Venna Melinda menyebut sangat banyak pengalaman menarik ketika berkunjung ke dapilnya. Pengalaman yang sungguh menggelikan dan juga mengagetkan Venna justru ketika tengah menyosialisasikan program empat pilar kebangsaan kepada anak-anak setingkat sekolah menengah atas (SMA). Cerita bermula ketika Venna yang berasal dari daerah pemilihan Jatim VI (meliputi Kab. Blitar, Kab. Kediri, Kab. Tulungagung, Kota Blitar, dan Kota Kediri) tengah berdialog dengan ratusan anak-anak SMA. Di tengah dialog–dengan penuh semangat–Venna bertanya kepada peserta yang mayoritas remaja putri tentang cita-cita mereka. “Hai, adikku semua!” “Hai, Tante.” “Siapa yang mau jadi presiden?” Tak ada jawaban. Peserta saling tengok. Venna heran. “Siapa yang mau jadi menteri?” Juga tak ada jawaban. Remaja putri yang hadir hanya cekikikan.

Duh, pramugari cantik Garuda menangis...

PENERBANGAN sekira 1 jam 30 menit dari Denpasar, kemarin, sebenarnya biasa saja. Galibnya penerbangan perusahaan pelat merah. Pendaratan yang sangat mulus oleh seorang pilot yang mengedalikan pesawat Airbus, nyaris tanpa goncangan. Namun beberapa menit menjelang mendarat di Bandara Antarbangsa Soekarnp-Hatta ada yang mengganggu perhatian saya. Saya mendengar perbincangan penuh emosional antara seorang pria paruh baya dengan seorang pramugari cantik yang duduk berhadapan. Pramugari itu beberapa kali terisak dan tangannya mengepal tisu. Sekira tiga lembar tisu itu terus dibasahi air mata yang mengucur deras. Saking derasnya, air mata itu sampai mengalir ke batang hidungnya yang bangir. Saya melihat bedak dan maskara itu ikut meleleh. Tapi dengan lembut jari lentik dan tisu lembut itu mengusap wajahnya. Tetap cantik. Pramugari itu berusaha untuk tersenyum dan mengucapkan terimakasih saat penumpang beringsut turun. Saya mencoba mendekat dan ingin menyapanya, tapi takut dianggap