COMMUTERLINE jurusan Tanahabang siang itu mestinya tidak harus padat dan berjubel karena pegawai kantor sudah pada sibuk dengan kerjaannya. Kalau pun kereta masih berisi penumpang paling tidak mereka ini berprofesi sebagai wartawan, pekerja serabutan, PNS malas, pedagang kain atau pengangguran.
Siang itu saya tidak tertarik dengan siapapun kecuali seorang ibu muda yang cantik dan tentu saja seksi. Tapi sayang bersama suaminya yang tentu saja tampan. Kalau suaminya jelek mutlak berarti cewek tersebut bisa jadi matanya siwer atau memang matre dari sononya.
Seorang cowok yang jakunnya kelihatan turun naik melihat cewek tersebut dengan ikhlas lillahitaala memberikan tempat duduknya. “Silakan,” kata cowok itu ramah banget.
“Terimakasih,” cewek itu tersenyum.
Cowok itu tersenyum lagi. Ah, andai saja nggak bersama suaminya, cowok itu mungkin inginnya berdiri gelantungan di depan cewek itu. Maklum tali kutangnya dan bajunya yang transparan sangat menggoda.
Tapi ya sudahlah, mungkin kali ini bukan rezeki cowok itu. Kali ini perhatian beralih kepada bocah laki-laki yang sekira empat tahun dalam pelukan ibu muda tersebut.
“Mama, kasihan papa berdiri.”
“Ya, nggak apa-apa. Keretanya lagi penuh.”
“Papa juga kan bisa duduk, Ma.”
“Nggak bisa, ngga ada tempat.”
“Bisa, mama dipangku papa dan aku dipangku mama.”
Gubrak!
Wajah sang ibu terlihat semu merah. Para penumpang hampir semuanya tersenyum namun ditahan.
Siang itu saya tidak tertarik dengan siapapun kecuali seorang ibu muda yang cantik dan tentu saja seksi. Tapi sayang bersama suaminya yang tentu saja tampan. Kalau suaminya jelek mutlak berarti cewek tersebut bisa jadi matanya siwer atau memang matre dari sononya.
Seorang cowok yang jakunnya kelihatan turun naik melihat cewek tersebut dengan ikhlas lillahitaala memberikan tempat duduknya. “Silakan,” kata cowok itu ramah banget.
“Terimakasih,” cewek itu tersenyum.
Cowok itu tersenyum lagi. Ah, andai saja nggak bersama suaminya, cowok itu mungkin inginnya berdiri gelantungan di depan cewek itu. Maklum tali kutangnya dan bajunya yang transparan sangat menggoda.
Tapi ya sudahlah, mungkin kali ini bukan rezeki cowok itu. Kali ini perhatian beralih kepada bocah laki-laki yang sekira empat tahun dalam pelukan ibu muda tersebut.
“Mama, kasihan papa berdiri.”
“Ya, nggak apa-apa. Keretanya lagi penuh.”
“Papa juga kan bisa duduk, Ma.”
“Nggak bisa, ngga ada tempat.”
“Bisa, mama dipangku papa dan aku dipangku mama.”
Gubrak!
Wajah sang ibu terlihat semu merah. Para penumpang hampir semuanya tersenyum namun ditahan.
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada