Skip to main content

Mengapa BPLS bukan BPLL?

Oleh: Yayat R Cipasang

MASA tugas Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo berakhir 8 April lalu. Kini pemerintah menggantinya dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Badan ini dikukuhkan dengan Peraturan Presiden No. 14/2007.

Badan ini lebih powerful, terstruktur, dan tugas-tugas personelnya lebih jelas. Pemerintah beralasan, penanganan semburan lumpur dari sumur Lapindo Inc. yang berdampak kepada ekonomi dan sosial masyarakat Sidoarjo dan Jawa Timur tidak cukup hanya ditangani sebuah tim.

BPLS atau BPLL

Penulis tidak mempermasalahkan biaya untuk BPLS yang dicomot dari APBN. Juga tidak mempermasalahkan personelnya yang banyak diragukan kapasitas serta kapabilitasnya. Boro-boro usil mempermasalahkan Ketua BPLS Sunarso, seorang jenderal yang dekat dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie. Keluarga Bakrie adalah pemilik Lapindo Inc.

Yang membuat penulis gusar adalah kenapa namanya BPLS bukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLL) atau BPL2? Adakah motif sistematis di balik nama itu?

Apakah saya usil? Sepertinya tidak. Penulis yakin Presiden SBY dan penasihatnya memikirkan secara matang untuk memutuskan nama BPLS ini. Penulis juga yakin tim komunikasi politik SBY sangat terlatih dalam memutuskan sebuah nama sebelum dilempar ke publik. Bukankah SBY dan timnya sangat cerdik dan berpengalaman dalam Pilpres 2004.

Indikasinya bisa dilihat dari orang-orang Partai Demokrat (PD) yang sangat terdidik secara akademis, baik di lingkungan partai atau di lingkungan koran Jurnal Nasional, afiliasi PD. Di koran Jurnal Nasional misalnya. Di sana bercokol orang-orang lembaga swadaya masyarakat (LSM) mumpuni serta seniman dan budayawan yang sangat andal dalam berbahasa. Dari latar belakang itu, penulis yakin ada upaya sistematis dari pemerintah SBY untuk mereduksi dan mengaburkan permasalahan substansial dari kasus Lapindo. Artinya, penamaan BPLS itu direkayasa dan penuh motif.

Kelemahan wartawan

Penamaan BPLS, dalam amatan penulis sebagai sebuah upaya hegemoni bahasa dari pemerintah pusat dalam membuat istilah. SBY sangat paham bahasa pemerintah atau pejabat di era Orde Baru sangat mengakar di masyarakat. Bahasa pemerintah sangat mudah ditelan mentah-mentah oleh masyarakat termasuk oleh jurnalis.

SBY juga paham bahwa jurnalis Indonesia umumnya sama dengan orang awam, malas berpikir kritis. Orang-orang di sekitar SBY juga sangat mengerti dengan karakter jurnalis Indonesia paling malas memverifikasi data dan malas mencari latar belakang permasalahan.

Banyak jurnalis yang hanya puas mencegat pejabat secara keroyokan (hit and run) dan mengunyahnya bersama-sama. Selama ini bisa dilihat di koran atau di televisi pernyataan pemerintah selalu menjadi headline. Bukan latar belakang beritanya yang menjadi headline.

Selain itu, persaingan antarmedia juga semakin memperparah wartawan sehingga tidak ada waktu atau memang malas untuk melakukan syarat wajib: cek dan ricek. Lebih-lebih menggunakan nalarnya. Apalagi dengan sistem deadline yang mendekati realtime, berita menjadi industri dan jurnalis menjadi mesin.

Analisis wacana kritis

Dalam teori Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), penamaan BPLS yang dilakukan SBY patut dicurigai. BPLS dan BPLL jelas berbeda baik dari singkatan maupun substansinya.

Dalam CDA ada istilah nominalisasi (membesarkan atau mengecilkan jumlah). Nominalisasi dalam hal-hal tertentu bisa berdampak baik, tetapi dalam kasus-kasus tertentu bisa berdampak mengaburkan masalah. Pemilihan frasa "lumpur lapindo" dan "lumpur sidoarjo" di sini terlihat ada upaya pengaburan isu dan siapa yang harus yang bertanggung jawab.

Jelas ini menyesatkan. Dalam frasa "lumpur lapindo" jelas siapa yang harus bertanggung jawab dan siapa pembuat bencana. Latar belakang sangat jelas yaitu pengeboran sumur oleh Lapindo Inc. Siapa yang harus bertanggung jawab? Ya, Lapindo.

Sedangkan dengan frasa "lumpur sidoarjo". Isu Lapindo diarahkan menjadi tanggung jawab warga Sidorjo atau Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Di sini ada upaya mengalihkan tanggung jawab institusi menjadi tanggung jawab kolektif.

Upaya ini sudah berhasil dengan gejala yang sudah tampak seperti warga secara perlahan bukan lagi membenci PT Lapindo, tetapi sudah membenci pemerintah daerahnya. Ini karena isu yang dikembangkan mengarahkan bahwa lumpur itu menjadi tanggung jawab kolektif pemerintah daerah juga.

Dilema media

Kini media cetak, elektronik dan internet menerima hasil jadi penamaan versi pemerintah. Dampak penamaan versi pemerintah ini sangat dahsyat. SCTV dan RCTI yang sebelumnya menggunakan frasa "lumpur lapindo" terpaksa menggunakan "lumpur sidoarjo".

Kecuali memang Lativi dan ANTV. Kedua televisi ini memang sejak dari awal sudah menggunakan frasa "lumpur sidoarjo". Maklum kedua stasiun televisi ini memang milik keluarga Bakrie.

Apakah jurnalis boleh mengganti nama ini menurut versinya? Saya menjawabnya boleh-boleh saja. Alasannya, penamaan versi pemerintah terlalu mengecilkan permasalahan. Dan terlihat ada upaya untuk mengaburkan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus lumpur Lapindo. Wartawan yang mempunyai hati nurani dan tanggung jawab moral, penulis sarankan untuk menulis dalam medianya dengan sebutan BPLL atau BPL2.[]

Jakarta, 30 April 2007

Comments

  1. Kami sangat tertarik dengan tulisan ini. Ini semacam kelanjutan dari tulisan sebelumnya, "Lumpur Sidoarjo vs Lumpur Lapindo". Sejauh ini, kami telah kroscek ke beberapa media, termasuk ANTV dan Lativi. Beberapa media lokal (Surabaya) pun pernah kami datangi. Dan kami sangat ingin berbincang-bincang secara langsung dengan Kang Yayat sehubungan dengan kasus ini. Posisi kami sekarang di Jakarta, kapan ang Yayat ada waktu luang? Mohon bantuannya, ini untuk laporan dalam majalah Indikator, FE, Unibraw, Malang. Kami di Jakarta sampai Selasa (29/05) Untuk CP, tolong hubungi kmi di 08179312813. Terimakasih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda Berkomentar Maka Saya Ada

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f