Oleh: Yayat R Cipasang [kangyayat@gmail.com]
DRAF Rancangan Undang-undang Penyiaran kembali dibahas dan rencananya Indonesia mulai Agustus 2002 sudah mempunyai UU Penyiaran. Namun diperkirakan pembahasan RUU Penyiaran babak kedua ini bakal berjalan alot. Di antaranya yang bakal seru dibahas adalah soal keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK).
Sebelumnya, DPR menggunakan hak inisiatifnya dengan mencantumkan tiga lembaga penyiaran di Indonesia yang meliputi lembaga penyiaran publik, swasta, dan komunitas. Dasar DPR mencantumkan LPK itu sama dengan pendapat pakar, pengamat pers dan juga UNESCO yang menyatakan lembaga ini cukup berpotensi mengembangkan demokrasi di kalangan masyarakat bawah.
Namun keberadaan LPK ini ditentang secara terang-terangan oleh pemerintah dan Perhimpunan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Bahkan Ketua PRSSNI Gandjar Suwargani menyebutkan LPK sebagai pesanan asing. Gandjar juga menuding penyiaran komunitas berpotensi merusak nasionalisme dan menumbuhkan konflik di kalangan akar rumput (Tempo Interaktif, 5/4).
Sementara pemerintah memberi alasan bahwa masyarakat belum siap. Selain itu keberadaan LPK untuk sementara masih dapat dipenuhi lembaga penyiaran publik dan swasta. Terakhir, pemerintah juga menyebutkan keberadaan LPK malah menyebabkan pemborosan penggunaan spektrum frekuensi.
Di balik penolakan itu gerakan pegiat LPK di daerah-daerah tak tinggal diam. Mereka terus berjuang untuk menunjukkan keberadaannya sehingga dapat diakomodir dalam UU Penyiaran. Maka berdirilah Jaringan Televisi Komunitas (JTK) yang dideklarasikan di Bontang, Kalimantan Timur. Menyusul kemudian Jaringan Radio Komunitas (JRK) yang dideklarasikan di Jakarta. Kini sudah tercatat 20 anggota JTK dan sekitar 50 anggota JRK.
Latar Belakang
Komunitas Televisi Publik Indonesia (KTVPI) yang digagas Garin Nugroho lahir sebagai bentuk kepedulian akan televisi publik di Indonesia. Harapan ini sebelumnya digantungkan kepada TVRI. Namun harapan itu pupus karena dalam perkembangannya TVRI berubah menjadi perseroan terbatas yang sudah dipastikan tak beda jauh dengan televisi partikelir yang sudah ada.
Kini KTVPI hanya menggantungkan harapan pada LPK. Logikanya, setelah TVRI berubah status menjadi perseroan berarti sudah tidak ada lagi lembaga penyiaran publik. Dengan begitu klaim pemerintah bahwa peran LPK dapat diambil alih oleh penyiaran publik gugur dengan sendirinya. Karena itulah KTVPI mendukung dan memfasilitasi berdirinya JTK di Bontang.
Kegelisahan KTVPI sebenarnya juga representasi kegelisahan masyarakat pedesaan dan daerah terpencil. Para pemegang kekuasaan di pusat selama ini sok tahu mengenai kondisi di daerah. Karena itu tak aneh bila semuanya dipandang rata. Padahal keberadaan televisi swasta dan radio swasta atau pun RRI selama ini jelas-jelas menunjukkan ketidakdilan. Coba saja, mau adil bagaimana bila iklan mobil BMW dan kulkas bermerek yang sebenarnya konsumsi orang perkotaan juga secara serentak dapat diterima di pedesaan dan pedalaman. Bukankah secara tidak sengaja pemerintah telah menanamkan kecemburuan sosial di masyarakat? Padahal kebutuhan prioritas masyarakt di sana bukan itu.
Di sisi lain berita yang disiarkan secara serentak dan massif dari Jakarta juga dikonsumsi masyarakat di pedesaan dan pedalaman Kalimantan, misalnya. Padahal mereka sebenarnya membutuhkan berita tentang pembangunan di daerahnya, bukan berita kejahatan di ibu kota.
Dengan demikian keberadaan LPK bisa menjadi solusi menyelesaikan ketidakadilan tersebut. Selain keberadaan LPK sudah menjadi kebutuhan juga tak ada dasar untuk menolaknya. Sementara bila ada yang menuduh LPK menjadi pemecah belah masyarakat itu tidak bisa diterima karena hanya melihatnya dari satu kasus dan tidak bisa dipukul rata.
Memang benar ada radio di Subang, Jawa Barat yang menjadi provokator masyarakat sehingga terjadi tawuran antarpendukung sepakbola. Tapi itu bukan radio komunitas melainkan radio gelap tanpa izin pemerintah setempat dan tanpa badan hukum.
Seharusnya pemerintah atau PRSSNI juga melihat Radio Komunitas Abilawa yang juga berada di Subang yang berhasil menciptakan keamanan swakarsa dan menumpas bajing loncat di jalur Pantura. Atau juga tengok Radio Komunitas Angkringan di Yogyakarta yang berhasil menggalang beasiswa bagi pelajar tak mampu. Ini cukup positif.
Justru sebaliknya banyak radio siaran swasta yang melanggar frekuensi senaknya. Ini sebenarnya yang harus dirazia pemerintah bukan radio komunitas. Sebab frekuensi adalah ranah publik. Pemerintah wajib mencabut izin dan membekukan frekuensi yang disalahgunakan.
Tak Ada Alasan Ditolak
Pasal 28 UUD ’45 yang sekarang dalam proses amendemen menjamin setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia. Ini berarti LPK sebagai saluran yang tersedia di masyarakat diakui keberadaannya.
Selain itu keberadaan LPK juga, khususnya di luar Jawa dapat menghilangkan area blank spot. Kehadiran LPK diharapkan dapat mengatasi kendala teknis tersebut sehingga masyarakat dapat menikmati hiburan dan informasi di sekitar wilayahnya. Solusi ini ternyata sudah dicoba TV Komunitas Siantar dan ternyata masyarakat menyambutnya sangat antusias.
Konsep LPK
Pakar komunikasi Ashadi Siregar dalam sebuah seminar tentang radio komunitas di Yogyakarta menjelaskan, LPK pada prinsipnya adalah lembaga swadaya masyarakt yang diselenggarakan masyarakat, untuk masyarakat dan dibiayai masyarakat. LPK juga nonprofit karena lebih dikembangkan sebagai lembaga yang mengemban misi sosial.
Dalam konteks Indonesia, LPK hanya bisa eksis secara langgeng bila diletakkan dalam fokus multietnik dan multikultur. Dengan demikian para pengelola LPK harus mengembangkan model yang memiliki tingkat pemikiran yang matang dan bijak dalam menangani strategi kultur. LPK harus bisa menghindari perbenturan suku, agama, ras dan antargolongan yang selama ini dikhawatirkan sejumlah kalangan yang menolak LPK.
Kabar baik dikemukakan Kepala Sub Direktorat Pengaturan Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Ditjen Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan Woro Indah Widiastuti. Dalam sebuah diskusi Woro menyatakan radio komunitas sebenarnya dapat memanfaatkan saluran AM yang selama ini kurang diminati radio komersial. Radio komunitas dapat menggunakan saluran tersebut dengan kekuatan 10-100 watt. Namun, tentu saja kabar baik itu sulit terealisasi bila UU Penyiaran tak mengakomodasi LPK.[]
Jakarta, 3 Juni 2002
DRAF Rancangan Undang-undang Penyiaran kembali dibahas dan rencananya Indonesia mulai Agustus 2002 sudah mempunyai UU Penyiaran. Namun diperkirakan pembahasan RUU Penyiaran babak kedua ini bakal berjalan alot. Di antaranya yang bakal seru dibahas adalah soal keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK).
Sebelumnya, DPR menggunakan hak inisiatifnya dengan mencantumkan tiga lembaga penyiaran di Indonesia yang meliputi lembaga penyiaran publik, swasta, dan komunitas. Dasar DPR mencantumkan LPK itu sama dengan pendapat pakar, pengamat pers dan juga UNESCO yang menyatakan lembaga ini cukup berpotensi mengembangkan demokrasi di kalangan masyarakat bawah.
Namun keberadaan LPK ini ditentang secara terang-terangan oleh pemerintah dan Perhimpunan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Bahkan Ketua PRSSNI Gandjar Suwargani menyebutkan LPK sebagai pesanan asing. Gandjar juga menuding penyiaran komunitas berpotensi merusak nasionalisme dan menumbuhkan konflik di kalangan akar rumput (Tempo Interaktif, 5/4).
Sementara pemerintah memberi alasan bahwa masyarakat belum siap. Selain itu keberadaan LPK untuk sementara masih dapat dipenuhi lembaga penyiaran publik dan swasta. Terakhir, pemerintah juga menyebutkan keberadaan LPK malah menyebabkan pemborosan penggunaan spektrum frekuensi.
Di balik penolakan itu gerakan pegiat LPK di daerah-daerah tak tinggal diam. Mereka terus berjuang untuk menunjukkan keberadaannya sehingga dapat diakomodir dalam UU Penyiaran. Maka berdirilah Jaringan Televisi Komunitas (JTK) yang dideklarasikan di Bontang, Kalimantan Timur. Menyusul kemudian Jaringan Radio Komunitas (JRK) yang dideklarasikan di Jakarta. Kini sudah tercatat 20 anggota JTK dan sekitar 50 anggota JRK.
Latar Belakang
Komunitas Televisi Publik Indonesia (KTVPI) yang digagas Garin Nugroho lahir sebagai bentuk kepedulian akan televisi publik di Indonesia. Harapan ini sebelumnya digantungkan kepada TVRI. Namun harapan itu pupus karena dalam perkembangannya TVRI berubah menjadi perseroan terbatas yang sudah dipastikan tak beda jauh dengan televisi partikelir yang sudah ada.
Kini KTVPI hanya menggantungkan harapan pada LPK. Logikanya, setelah TVRI berubah status menjadi perseroan berarti sudah tidak ada lagi lembaga penyiaran publik. Dengan begitu klaim pemerintah bahwa peran LPK dapat diambil alih oleh penyiaran publik gugur dengan sendirinya. Karena itulah KTVPI mendukung dan memfasilitasi berdirinya JTK di Bontang.
Kegelisahan KTVPI sebenarnya juga representasi kegelisahan masyarakat pedesaan dan daerah terpencil. Para pemegang kekuasaan di pusat selama ini sok tahu mengenai kondisi di daerah. Karena itu tak aneh bila semuanya dipandang rata. Padahal keberadaan televisi swasta dan radio swasta atau pun RRI selama ini jelas-jelas menunjukkan ketidakdilan. Coba saja, mau adil bagaimana bila iklan mobil BMW dan kulkas bermerek yang sebenarnya konsumsi orang perkotaan juga secara serentak dapat diterima di pedesaan dan pedalaman. Bukankah secara tidak sengaja pemerintah telah menanamkan kecemburuan sosial di masyarakat? Padahal kebutuhan prioritas masyarakt di sana bukan itu.
Di sisi lain berita yang disiarkan secara serentak dan massif dari Jakarta juga dikonsumsi masyarakat di pedesaan dan pedalaman Kalimantan, misalnya. Padahal mereka sebenarnya membutuhkan berita tentang pembangunan di daerahnya, bukan berita kejahatan di ibu kota.
Dengan demikian keberadaan LPK bisa menjadi solusi menyelesaikan ketidakadilan tersebut. Selain keberadaan LPK sudah menjadi kebutuhan juga tak ada dasar untuk menolaknya. Sementara bila ada yang menuduh LPK menjadi pemecah belah masyarakat itu tidak bisa diterima karena hanya melihatnya dari satu kasus dan tidak bisa dipukul rata.
Memang benar ada radio di Subang, Jawa Barat yang menjadi provokator masyarakat sehingga terjadi tawuran antarpendukung sepakbola. Tapi itu bukan radio komunitas melainkan radio gelap tanpa izin pemerintah setempat dan tanpa badan hukum.
Seharusnya pemerintah atau PRSSNI juga melihat Radio Komunitas Abilawa yang juga berada di Subang yang berhasil menciptakan keamanan swakarsa dan menumpas bajing loncat di jalur Pantura. Atau juga tengok Radio Komunitas Angkringan di Yogyakarta yang berhasil menggalang beasiswa bagi pelajar tak mampu. Ini cukup positif.
Justru sebaliknya banyak radio siaran swasta yang melanggar frekuensi senaknya. Ini sebenarnya yang harus dirazia pemerintah bukan radio komunitas. Sebab frekuensi adalah ranah publik. Pemerintah wajib mencabut izin dan membekukan frekuensi yang disalahgunakan.
Tak Ada Alasan Ditolak
Pasal 28 UUD ’45 yang sekarang dalam proses amendemen menjamin setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia. Ini berarti LPK sebagai saluran yang tersedia di masyarakat diakui keberadaannya.
Selain itu keberadaan LPK juga, khususnya di luar Jawa dapat menghilangkan area blank spot. Kehadiran LPK diharapkan dapat mengatasi kendala teknis tersebut sehingga masyarakat dapat menikmati hiburan dan informasi di sekitar wilayahnya. Solusi ini ternyata sudah dicoba TV Komunitas Siantar dan ternyata masyarakat menyambutnya sangat antusias.
Konsep LPK
Pakar komunikasi Ashadi Siregar dalam sebuah seminar tentang radio komunitas di Yogyakarta menjelaskan, LPK pada prinsipnya adalah lembaga swadaya masyarakt yang diselenggarakan masyarakat, untuk masyarakat dan dibiayai masyarakat. LPK juga nonprofit karena lebih dikembangkan sebagai lembaga yang mengemban misi sosial.
Dalam konteks Indonesia, LPK hanya bisa eksis secara langgeng bila diletakkan dalam fokus multietnik dan multikultur. Dengan demikian para pengelola LPK harus mengembangkan model yang memiliki tingkat pemikiran yang matang dan bijak dalam menangani strategi kultur. LPK harus bisa menghindari perbenturan suku, agama, ras dan antargolongan yang selama ini dikhawatirkan sejumlah kalangan yang menolak LPK.
Kabar baik dikemukakan Kepala Sub Direktorat Pengaturan Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Ditjen Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan Woro Indah Widiastuti. Dalam sebuah diskusi Woro menyatakan radio komunitas sebenarnya dapat memanfaatkan saluran AM yang selama ini kurang diminati radio komersial. Radio komunitas dapat menggunakan saluran tersebut dengan kekuatan 10-100 watt. Namun, tentu saja kabar baik itu sulit terealisasi bila UU Penyiaran tak mengakomodasi LPK.[]
Jakarta, 3 Juni 2002
Kang Yayat, apakah publik juga memiliki hak untuk mengetahui alasan-alasan mengapa sebuah film tak lolos sensor, misalnya? Mengapa LSF tak punya media untuk menginformasikan itu? Siapa tahu Akang tahu? Thx
ReplyDeleteMenurut saya publik juga harus tahu. Ini penting untuk mengajarkan kepada publik tentang fairness dan keterbukaan.
ReplyDeleteSaya pikir, publikasinya tak harus menunggu LSF punya media sendiri. Cukup melepar rilis atau konferensi pers secara rutin di hadapan komunitas film atau jurnalis.
Kang yayat kenapa petelevisian Indonesia dari tahun ke tahun mutu siaranx makin kurang memperhatikan dengan pengetahuan akan negeri sendiri?siapa tau dari kang yayat saya tau dengan jelas keadaan yang sbenarnya dengan pertelevisian indonesia?THx.
ReplyDeletekan yayat gimana caranya mendirikan TV komunitas apa sama dengan mendirikan radio komunitas ya dari kami
ReplyDeleteradio komunitas madufm http://www.radiomadufm.com
http://www.besole.radioamdufm.com
http://www.prigi.radioamdufm.com
email madufm_1077@yahoo.co.id