Skip to main content

Rating, Dicaci dan Dirindukan

Judul : Matinya Rating Televisi (Ilusi Sebuah Netralitas)
Pengarang : Erica L. Panjaitan dan T.M. Dani Iqbal
Cetakan : Pertama, 2006
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tebal : 126 halaman
ISBN: 979-461-568-4


"Bagi televisi komersial (yang berbasis ideologi kapitalisme murni) yang dipersoalkan bukanlah bagaimana sebuah tayangan menabrak moralitas, melanggar etika agama, melabrak tabu dan melecehkan adat, melainkan bagaimana ia dapat meningkatkan rating sebagai cara perputaran kapital." (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 10 Juli 2003).


JUDUL buku di atas cukup provokatif dan menghentak. Paling tidak buku tipis ini telah mengundang saya untuk membeli dan membacanya walaupun saya sebenarnya sudah antipati dan frustrasi dengan namanya rating!

Bagi saya rating itu telah memonopoli selera sehingga televisi partikelir di Indonesia mirip TV Pool dan membuat orang tidak kreatif karena pengelola televisi cenderung membuat program sejenis dengan televisi lain yang dianggap sukses secara komersial. Tim kreatif televisi tidak lagi mengagungkan ide dan orisinalitas. Bagi saya tim kreatif televisi lebih cocok disebut tim pemalas!

Sudah banyak cercaan, tudingan, dan pengingkaran terhadap rating baik dalam bentuk seminar maupun dalam bentuk tulisan di media massa. Tetapi kehadiran buku yang ditulis dua anak muda, Erica L. Panjaitan dan T.M. Dani Iqbal cukup penting untuk kembali memberikan pencerahan dan sekadar mengingatkan kepada pengelola televisi untuk tidak menuhankan rating.

Buku hasil penelitian secara kualitatif dengan pendekatan filsafat ini sebenarnya tidak menawarkan gagasan baru. Pembahasan masih seputar kelemahan rating dalam industri pertelevisian cum periklanan. Setelah membalik-balik buku ini saya tidak menemukan ide penulis untuk menawarkan solusi atau pengganti dominasi rating, paling tidak dalam tataran konsep.

Namun, buku ini cukup berhasil membuktikan bahwa ternyata para pelaku dan pengelola bisnis televisi dan biro iklan masih tergantung pada rating. Bahkan secara gamblang Dirut Trans TV Ishadi SK mengakui pihaknya sangat tergantung pada rating. Menurut dia, sebuah program yang memiliki rating audience share yang tinggi, berarti sangat digemari penonton dan umumnya menarik pemasang iklan. (hal. 32)

Selama ini memang kerap terdengar dari pengelola televisi ada yang menentang rating. Namun, setelah selidik punya selidik mereka kritis karena memang produknya jeblok dan tidak termasuk peringkat rating. Tetapi bila rating program acaranya bagus mereka secara tidak langsung mengamini adanya rating.

Kondisi tersebut menandakan pada pengelola televisi terjadi dualisme. Contohnya Karni Ilyas (sebelumnya Direktur Pemberitaan SCTV dan sekarang di ANTV). Di sisi lain ia pernah menulis bahwa rating bukan prioritas tetapi di sisi lain ia menyebutkan Liputan 6 SCTV adalah yang terpopuler dengan mengutip data dari NMR. (hal. 36)

***

Buku setebal 126 halaman ini diawali dengan mengulas sejarah pertelevisian di Indonesia, sejarah riset televisi, latar belakang lembaga riset Nielsen Media Reaserch (NMR) yang kini "berkuasa", hingga cacat metodis dalam rating.

Dalam buku ini diungkap bahwa secara filsafat ilmu pengetahuan saja, metode dalam rating sudah salah. Ini karena dalam filsafat ilmu pengetahuan yang disebut kuantitatif (rating) itu sama dengan kenyataan, sudah dibuktikan gagal. Pendekatan kuantitatif yang semula dilihat sebagai media utama untuk merepresentasikan kenyataan empiris ternyata tidak lepas dari nilai-nilai alias tidak netral. (hal. 117-118)

Artinya, di sini bahwa angka-angka dalam rating sebenarnya rawan dimainkan. Bukan tidak mungkin sebuah stasiun televisi untuk melipatgandakan kapitalnya berani membayar lebih ke pihak NMR untuk mengkatrol angka agar lebih baik. Tapi ini mungkin sebuah kecurigaan yang terlalu berlebihan!

Tetapi terlepas dari itu sebenarnya ada cara yang lebih fair untuk meningkatkan rating sekaligus membuat pemirsa setia menonton sebuah acara yaitu citra atau image yang semuanya bermuara dari kualitas. Mantan Direktur Pemberitaan SCTV Sumita Tobing yang paling percaya dan yakin dengan cara ini. Menurut dia, sebenarnya kualitas acaralah yang menjadi daya tarik pengiklan. Bahkan secara radikal, Sumita melontarkan ucapan, "Dengan membuat acara yang bagus saya yakin tanpa tenaga pemasaran pun pengiklan akan datang." (hal. 44)

Ucapan Sumita Tobing ada benarnya. Ini dibuktikan dengan Liputan 6 SCTV. Selama ini ratingnya tidak beranjak dari level empat dan selalu di bawah Seputar Indonesia RCTI. Tetapi dalam kenyataannya iklannya tetap membludak.

***

Sekali lagi, buku ini saya nilai cukup bagus sebagai provokator untuk mengingatkan pengelola televisi agar jangan sampai tersesat untuk selamanya menuhankan rating dan kembali sadar untuk kembali ke jalan yang benar. Dalam industri pertelevisian jalan yang benar yang diridoi adalah kembali ke idealisme, orisinalitas, dan kreativitas. Sebab, rating selain cenderung menyesatkan juga akan membunuh kreativitas dan membuat acara televisi semakin seragam saja.

Buku ini layak dibaca para pengelola televisi, biro iklan, pemilik griya produksi, mahasiswa dan peneliti komunikasi massa. Buku ini hanya pengantar, selebihnya kita masih harus menunggu metode riset televisi yang tepat dan fair, entah itu dari lembaga riset atau perguruan tinggi.[]

Jakarta, 8 Mei 2006

Comments

  1. Anonymous11:04 PM

    Bagi saya rating itu telah memonopoli selera sehingga televisi partikelir di Indonesia mirip TV Pool dan membuat orang tidak kreatif karena pengelola televisi cenderung membuat program sejenis dengan televisi lain yang dianggap sukses secara komersial. Tim kreatif televisi tidak lagi mengagungkan ide dan orisinalitas. Bagi saya tim kreatif televisi lebih cocok disebut tim pemalas!

    rasanya tidak cocok juga kalau mas mengatakan demikian, saya punya kenalan seorang anak black metal, ia belajar menabuh drum dengan segala keterbatasan(terkungkung oleh alat yang seadanya)tetapi sewaktu band dari USA datang ke Indonesia mereka terkagum-kagum padanya: dengan keterbatasan tersebut(patokan tertentu) ia bisa lebih kreatif (mengikuti tetapi dengan cara yang manual)daripada Band USA idolanya tersebut. yang ada bukan kemalasan tapi eksplorasi menembus batas tersebut

    Towniels@yahoo.com

    ReplyDelete
  2. Anonymous8:04 PM

    aku sih pernah dapet resume dari buku itu, menurutku kurang oke ah..
    bentuknya hanya karangan opini..
    lagipula apa masih ada yang original didunia ini?
    dan pengiklan dikit sekali yang berani mempertaruhkan uang berjuta2 untuk sebuah program yang idealis meski konsep bagus, tapi kalo ga ada yang nonton buat apa? berarti ga ada yang nonton iklan nya juga dong? trus perputaran uangnya gimana?

    just an opinion!

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda Berkomentar Maka Saya Ada

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f