Foto: elsam.or.id
James menduga data pribadinya bocor dari provider Telkomsel. Ia sangat yakin. Namun, manajemen perusahaan pelat merah itu membantahnya dan menjamin data pribadi pelanggannya tidak ada yang bocor.
Belum selesai kasus James, mantan salah satu ketua organisasi wartawan ternama Ulin Yusron dikecam netizen. Ulin yang juga pendiri BeritaSatu.com sebelum dilego ke Grup Lippo, membocorkan data pribadi dua orang yang disangka melakukan unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu RI, Kamis (9/5/2019), yang mengancam Presiden Jokowi. (Tirto.id, Minggu, 12/5/2019).
Lantaran ulah Ulin ini, lembaga terhormat sekelas Dukcapil Kementerian Dalam Negeri pun terseret. Karena Ulin tidak hanya menebar nama dan tanggal lahir tetapi juga nomor induk kependudukan (NIK). Nah, penguasa NIK itu kan Dukcapil.
Kebetulan pula, hari ini Kompas juga menurunkan investigasi bertajuk "Data Pribadi Dijual Bebas" sebagai berita utama. Diduga pegawai bank terlibat.
Penyebaran data pribadi kepada publik baik terkait sengkarut politik pasca Pemilu 2019 maupun untuk kepentingan pemasaran produk tidak dibenarkan. Selain menganggu kehidupan pribadi juga dalam kadar tertentu dapat mengancam keselamatan dan jiwa keluarga pemilik data pribadi.
Munculnya kasus ini, kini masyarakat kembali menengok pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi yang kini menjadi Prolegnas di DPR RI. RUU terbengkalai dibahas karena Pemerintah dan DPR RI sibuk menghadapi Pemilu Serentak 2019.
Elnino M. Husein Mohi, anggota Komisi I DPR RI termasuk yang menyerukan pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi. Kasus yang menimpa James Falahuddin dan lainnya sudah menjadi bukti begitu jahatnya pelaku penyebar data pribadi apapun kepentingannya.
"Kalau ada akun anonim bisa punya akses ke sistem database pelanggan Telkomsel, apa hubungan personel di balik akun tersebut dengan Telkomsel?" ujar politisi Gerindra ini.
Sayangnya ketika kasus pembocoran data pribadi ini terjadi, penegak hukum--terutama yang bertalian dengan politik kiwari--seolah terjadi split alias terbelah.
Dalam istilah kajian ilmu sosial penegak hukum seolah mengidap skizofrenia (politisasi hukum). Aparat hukum seperti ditulis ilmuwan Institut Teknologi Bandung (ITB) Yasraf Amir Piliang dalam buku "Transpolitika: Dinamika Politik di Era Virtual", Jalasutra, 2005), berwajah ganda atawa jamak.
Di ruang publik tampak berwibawa, pengayom, adil dan reformis tetapi dalam wajah lain menampakkan muka jauh dari sipat adil, tebang pilih dan ada kelompok yang terluka.
Rupanya residu Pemilu Serentak 2019 khususnya Pilpres 2019 juga telah mewujudkan dampak sosial yang sangat besar sebagai katalisator terjadinya hipermoralitas. Kondisi Indonesia yang sebelumnya tertutup dan malu-malu kini semakin vulgar dan telanjang alias tidak ada lagi rahasia dan tidak ada lagi yang disembunyikan.
Tapi dampaknya sangat fatal. Akibatnya masyarakat tidak bisa lagi membedakan mana informasi yang benar dan mana yang bohong, mana yang berguna dan mana yang merusak, mana yang boleh dan mana yang dilarang, mana madu dan mana racun. Bandit bisa jadi pahlawan dan pahlawan seketika bisa turun kasta jadi bandit.
Kalau sudah begini, ya sudahlah....
Times Indonesia, 13 Mei 2019
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada