Skip to main content

Sketsa Iwan Simatupang raib dari Hotel Salak

Foto: Galeribukujakarta.com

KEMARIN
, saya mampir ke Hotel Salak, Kota Bogor. Hotel bintang empat yang berdampingan dengan kantor Wali Kota Bogor.

Ketika menuju lobi, bagian hotel yang saya langsung pelototi adalah bagian depan resepsionis. Tapi ada yang hilang. 

Dua tahun lalu saya masih menemukan sketsa hitam putih close up wajah sastrawan Iwan Simatupang. Kini tak ada lagi.

"Mas, pernah melihat sketsa Iwan Simatupang di dinding? Kemana ya kok nggak ada lagi," tunjuk saya. 

Resepsionis pria itu bingung. "Sketsa apa ya?"

"Iwan Simatupang, sastrawan Indonesia yang pernah tinggal di sini selama dua tahun," saya berusaha menjelaskan.

"Dua tahun...." Sang resepsionis semakin saya jelaskan malah tambah bingung. Mungkin, apa benar ada orang tinggal di hotel selama empat tahun, membaca pikiran dia.

"Iwan Simatupang tinggal di Kamar 52 bersama anaknya setelah ditinggal istrinya meninggal dunia."

Saya tidak perlu mendapat jawaban resepsionis karena malah tambah bingung.

"Saya baru di sini, Mas." Alasan yang mudah untuk mengakhiri pembicaraan. "Kalau mau lebih jelas mungkin bisa mengubungi manajer humas. Tapi sore sudah pulang. Saya berikan nomor kontaknya saja ya," resepsionis memberikan solusi karena saya bergeming di depannya dan itu mengganggu tamu hotel.

Nama lengkapnya Iwan Martua Dongan Simatupang. Pria yang lahir di Sibolga 18 Januari 1928 dan meninggal di Jakarta 4 Agustus 1970 dalam usia 42 tahun dikenal sebagai eseis, penyair, budayawan, kritikus, dan lebih dikenal lagi sebagai novelis.

Dalam buku "Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966" (LP3ES, 1986) digambarkan, sastrawan ini hidupnya penuh gejolak mulai dari kuliah berpindah-pindah dan lintas jurusan hingga ke persoalan agama.

Selepas HBS di Medan, Iwan melanjutkan kuliah ke kedokteran di Surabaya namun tidak selesai. Selanjutnya belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), belajar drama di Amsterdam dan filsafat di Universitas Sorbonne, Prancis.

Termasuk dalam soal iman, Iwan juga penuh gejolak. Seorang anak yang pintar ngaji di surau kemudian setelah buntu menemukan jawaban dan setelah sekamar di Eropa dengan temannya Frans Seda, yang kelak menjadi Menteri Keuangan Orde Baru, Iwan pun pindah ke Katolik.

Untuk soal ini, Iwan pernah menulis surat kepada kritikus sastra HB Jassin pada 12 Desember 1968, "Aku tak tahu. Aku jadi Katolik karena kesimpulan-kesimpulan estetis dan filosofis.... Anak Moslem yang patuh dan pintar ngaji...terpesona oleh problematik manusia-Nya agama Katolik...."

Iwan produktif berkarya pada dua dekada, lima  puluhan dan enampuluhan dan ditasbihkan sebagai tokoh kesusatraan Indonesia modern. Ia pernah menjadi redaktur dan menullis di majalah Zenith, Siasat, Mimbar Indonesia dan Warta Harian. Media-media yang sangat disegani pada zamannya.

Karya novelnya yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970 dan "Ziarah" (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. Ziarah merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun 1960 dan diterbitkan di Indonesia pada 1969. 

Pada 1972, "Kering", novelnya yang ketiga diterbitkan kemudian "Kooong" (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Department P dan K pada 1975. Pada tahun 1963 ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air".

Sayangnya, kesuksesan dalam berkarya tidak diiringi dengan kesuksesan materi. Iwan praktis dalam hidupnya susah cum menderita. Termasuk saat menikah dan memiliki dua anak dari istrinya Cornelia Astrid van Greem. Sang istri yang keturunan Belanda pun menikah dalam kehidupan yang sangat prihatin hingga meninggalnya.

Rupanya, meninggalnya sang istri menjadi pukulan berat bagi Iwan. Iwan pun bertekad membesarkan kedua anaknya dan memboyongnya ke Hotel Salak Kamar 52. Hampir dua tahun hidup sebagai manusia hotel, Iwan membesarkan anak-anaknya, menulis surat kepada teman-temannya (Frans Seda, HB Jasin, Soelarto), menulis esei, menulis drama dan membuat novel.

Iwan tidak menyesal menjadi manusia sebatangkara karena sudah tahu pilihan hidupnya sebagai sastrawan dan budayawan. Ah, andaikan saja Iwan menerima ajakan Mas Isman untuk bergabung di Kosgoro atau menerima pinangan Frans Seda untuk aktif di Partai Katolik, mungkin ceritanya akan lain dan tak akan ada foto kusam menggantung di Hotel Salak.

Tapi, Iwan sejak awal memang ingin menjadi manusia bebas dengan risiko hidup susah dan digerogoti beragam penyakit orang kere. Iwan tidak mau menjadi manusia organisasi! 

Sebelum beranjak dari hotel saya sempat menghubungi WhatsApp Mega, manajer humas Hotel Salak. Saya sangat berharap mendapat jawaban di mata keberadaan sketsa Iwan Simatupang.

Sketsa entah karya siapa, sebenarnya sangat buruk. Tapi sketsa itu sebenarnya sebagai penanda awal untuk bertanya terutama bagi masyarakat awam. Paling tidak muncul pertanyaan, "Sketsa siapa itu?"

Selebihnya, pihak hotel tinggal menjelaskan foto dalam sketsa itu adalah.... Hotel Salak yang menyandang status heritage selayaknya menjadikan Iwan Simatupang sebagai ikon hotel. Daya jual hotel. Setiap bicara atau mengisahkan kehidupan Iwan Simatupang tidak bisa dilepaskan dari episode Kamar 52 Hotel Salak.

Saya menyarankan, Hotel Salak menyediakan ruangan khusus atau juga di lobi memajang karya-karya serta buku-buku Iwan Simatupang. Bila ini dilakukan, Hotel Salak tidak hanya menghargai sastrawan tetapi akan menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia.

"Selamat malam , terima kasih atas informasinya Pak. Kebetulan saya baru bergabung di Salak Heritage pertengahan tahun 2018. Terkait pertanyaan dari Bapak akan saya tanyakan ke teman-teman management ya Pak. Dan akan saya info ke bapak .. thank you."

Hanya itu jawaban dari Manajer Hotel Salak. Saya pun akhirnya melangkahkan kaki keluar hotel. Di kereta commuterline Bogor-Depok saya masih terus teringat sketsa Iwan Simatupang dan sejumlah cerita dalam novel dan cerpennya.


Times Indonesia, 28 Juni 2019

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f