Skip to main content

Pajar, cerita seorang China yang gelisah

Foto: Catatan Iseng
SIANG
itu sebenarnya saya tidak hendak turun di Stasiun Dukuh Atas atau nama resminya kiwari Stasiun Sudirman. Entah apa yang membuat sebuah kekuatan membetot saya untuk mampir dan sandar di kursi tunggu lantai atas stasiun sibuk dan bising itu. Saya juga heran.

Rupanya, keheranan saya baru terjawab ketika rehat sejenak dan membanting pungggung ke kursi panjang untuk sekadar meluruskan kaki yang ngilu setelah berdiri 45 menit dari Depok Lama.

"Bang, kalau saya mau ke Bentara Budaya saya transit di mana ya?" tanya seseorang di samping yang awalnya khusyuk baca buku bersampul kuning.

Saya tatap wajahnya. Senyumnya yang mengembang membuat matanya tambah sipit. "Nanti transit di Stasiun Tanah Abang dan nanti turun di Stasiun Palmerah," saya membalas senyumnya. "Nanti jalan sekitar 300 meter, Bentara Budaya ada di Kompleks Kompas-Gramedia."

"Abang penulis ya?"

Saya lagi-lagi dibuat tak bisa langsung menjawab. Kok dia bisa tahu, batin saya.

"Ya, boleh dikatakan wartawan, penulis buku, blogger juga."

"Saya juga berencana membuat buku bersama teman-teman. Buku antologi tentang puisi, sih," ujarnya sambil memperlihatkan salah satu karya puisinya dalam gadget yang belum berjudul. Di  pamungkus puisi tertulis: Pajar, 2017.

Darah Melayu yang mengalir dalam dirinya, membuat Pajar terbiasa membaca dan menulis terutama puisi dan gurindam.

Obrolan akhirnya ngelantur dan membahas apapun yang ada dalam pikiran saya dan pikiran Pajar. 

Mahasiswa teologi di salah satu sekolah tinggi agama Buddha di Jakara Timur ini  sangat fasih membedah semua novel Dee Lestari dan ternyata memang skripsinya membahas filsafat dalam novel yang diterbitkan Bentang Pusataka tersebut.

Arkian, saya iseng bertanya kenapa namanya Pajar bukan Fajar. Lagi-lagi membuat saya terkejut. Ternyata perbedaan huruf itu sebuah kecelakaan yang tidak sederhana. 

"Nama saya waktu di sekolah dasar, Fajar, namun dalam ijazah rupanya guru salah nulis menjadi Pajar. 

Saya baru sadar setelah mendaftar ke SMP di kota. Sementara untuk kembali lagi ke sekolah di kampung membutuhkan waktu dan perjalanan lebih dari delapan jam termasuk lewat laut," kata kelahiran Natuna, Kepulauan Riau ini.

Anak yatim piatu sejak kecil ini  sampai sekarang mengaku belum memiliki akta kelahiran dan juga tak memiliki KTP elektronik.

"Ya, inilah saya, Bang," suaranya lirih. 

Pajar juga mengekspresikan kegelisahannya khas anak muda yang antikemapanan. Menurutnya, sangat miris anak-anak muda saat ini lebih pragmatis dan konsumtif. Berbagai buku filsafat dan teori kebudayaan yang tidak pernah saya baca dia kutip tanpa maksud menggurui apalagi pamer.

"Ini terjadi di kalangan anak muda semua agama termasuk teman-teman kami di lingkungan penganut Buddha," ujarnya sedikit gelisah.

"Pajar banyak baca buku juga?"

"Ya, buku apa saja saya baca, Bang. Saya ingat pesan seorang tokoh baca buku apa saja karena dalam setiap buku memiliki keunikan sendiri-sendiri. Asal jangan baca dan nonton yang porno saja," ujarnya tersenyum.

Nah, untuk peryataan terakhir ini saya tahu, Pajar tidak sedang menyindir saya karena pasti dia tidak sedang menebak pikiran saya.

Terimakasih Pajar, Anda telah mewarnai hidup saya hari ini.

Rilis.id, 7 Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f