Ilustrasi: Hafiz
HARI ini 29 Agustus 2018 DPR ulang tahun ke-73. Lucunya, ulang tahun tidak dimeriahkan dengan puja dan puji serta sanjungan yang menjilat sampai licin, malah sengaja mengundang para pengkritik DPR datang ke Senayan. Bahkan mereka bebas mengkritik Fadli Zon dan Fahri Hamzah secara pribadi malah sampai menyumpahi DPR dan tidak takut dibui lewat lomba stand up comedy, meme dan juga esai kritis.
Sumpah, sebenarnya tidak ada gunanya juga mengkritik DPR. Sampai 'lebaran kalajengking' pun tak ada yang mampu mengkritik lembaga wakil rakyat karena DPR itu anomali atawa unik.
Kalau mengkritik pemerintah, gampang. Apapun yang salah dalam pemerintahan gampang nudingnya. Tinggal salahin saja Jokowi. Gampang kan?
Karena menteri-menteri di sekeliling Presiden Jokowi adalah orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai pembantu. Menteri bertanggung jawab kepada presiden dan bila anak buahnya tak mampu tinggal dipecat. Citra Jokowi tetap baik.
Sementara DPR itu sangat berlainan. Walaupun anggota DPR korupsi, maling, kriminal atau pemerkosa sekalipun, Ketua DPR Bambang Soesatyo alias pimpinan tertinggi di Senayan tidak bisa disalahkan. Karena anggota DPR bukan anak buah Bambang Soesatyo.
Anggota DPR itu adalah pekerja partai yang ditugaskan mewakili partai di Senayan. Bambang Soesatyo hanya speaker juga arranger serta simbol saat berhubungan dengan dunia lain.
Karena itu mengkritik DPR secara kelembagaan adalah sesuatu yang sulit dan berat biar aku saja, mengutip Dilan. Apalagi mengkritik yang membangun atau memberikan solusi. Dua istilah yang absurd. Mengkritik yang memberikan solusi dipopulerkan belakangan ini oleh rezim Jokowi karena terus digempur oposisi.
Padahal menurut pengamat politik Effendi Gazali, mengkritik saja sudah sangat berat apalagi harus disertai solusi. Misalnya mengkritik harga bahan pokok di Palopo yang terus naik dan tak terjangkau masyarakat. Bagaimana seorang pengkritik bisa memberikan solusi sementara yang bisa mengintervensi harga adalah pemerintah.
Kritik itu milik oposisi dan solusi milik pemerintah. Kecuali kalau pemerintah tidak sanggup menghadirkan solusi ya serahkan kekuasaan sekarang juga ke oposisi. Lebih cepat lebih baik, meminjam ungkapan Wapres Jusuf Kalla.
Jadi intinya, bagi DPR lebih tepat bukan kritik tetapi saran. Saran saya untuk perbaikan DPR secara kelembagaan hanya satu yaitu soal kinerja legislasi. Usulan saya sangat sederhana tapi ini mungkin sia-sia saja karena di DPR itu tempat berkelindannya berbagai kepentingan.
Tapi tidak ada salahnya saya memberikan saran kepada DPR--sebagai ucapan terimakasih karena saya diberi tempat untuk membual di Pressroom-- memulainya dengan fokus agar rancangan undang-undang itu dibatasi per komisi secara proporsional.
Negeri ini sebenarnya sudah surplus undang-undang tetapi minim implementasi. Menurut saya lebih baik DPR terus menuntut pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah yang menjadi turunan undang-undang. Banyak undang-undang yang bagus tetapi tidak aplikatif lantaran tidak ada peraturan pemerintahnya.
Saya kira DPR harus mulai tegas dan rigid bahwa setiap komisi di DPR maksimal mengajukan satu RUU dalam program legislasi nasional. Diharapkan RUU yang diusung tiap komisi menjadi master peace masing-masing komisi. Terlepas RUU itu atas inisiatif sendiri atau bersumber dari aspirasi masyarakat.
Begitu juga RUU dari pemerintah mesti dibatasi. Maksimal dua. Saya kira bila hitung-hitungannya kinerja, sangat ideal bila Prolegnas itu cukup 10 sampai 15 RUU.
Nah, selama pembahasan pun DPR seharusnya transparan dan terus mengabarkan progresnya kepada masyarakat. Media daring DPR bisa dimanfaatkan untuk terus mengabarkan perkembangan setiap RUU yang tengah dibahas sehingga pers dan masyarakat dapat dengan mudah memantaunya.
Kasus RUU Antiterorisme harus menjadi contoh kasus yang nyata. DPR jadi bulan-bulanan media. Termasuk banyak pengamat yang sok tahu dan terus memojokkan DPR padahal permasalahan ada di pemerintah.
Terakhir, sampai kapan pun DPR akan terus menjadi bahan pergunjingan dan menjadi bahan olok-olok para pemikir dan cerdik pandai, apalagi LSM.
Mereka itu sebenarnnya iri. Mereka itu ingin juga menjadi anggota DPR tetapi malas menjadi anggota partai politik atau juga tidak memiliki modal finansial dan juga tidak memiliki modal sosial karena selama ini mereka kurang gaul di masyarakat.
Lihat saja sejumlah intelektual dan juga para pemikir yang sudah terpilih menjadi anggota DPR dan dulunya kritis dan suci belakangan malah terlihat anteng dan lebih banyak diam. Ternyata jadi anggota DPR itu enak, Dilan!
Rilis.id, 29 Agustus 2018
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada