Skip to main content

Ketika Negeri Tuan Guru heboh gegara calon senator 'Adobe Photoshop'

Foto: Liputan6.com

NUSA
Tenggara Barat (NTB) dalam Pemilu Serentak 2019 ini melahirkan sejumlah kejutan. Jokowi kalah telak di negeri tuan guru tidak terlalu mengejutkan karena sudah terlihat dari mula kampanye. Tetapi yang mengejutkan plus lucu ketika senator petahana dan juga tokoh nasional serta elite NTB kalah dan tergusur dari Senayan gara-gara teknologi perangkat lunak editor citra.

Nggak percaya? Naam, awalnya saya juga tidak percaya. Tapi belakangan setelah saya baca pemberitaan di sejumlah media daring secara saksama, masuk akal juga. Saya pun tersenyum.

Tersebutlah sang pembuat gaduh di tingkat lokal dan juga pembuat uring-uringan elite itu adalah Evi Apita Maya. Calon senator bernomor 26 itu mengalahkan mantan Pimpinan DPD RI cum purnawirawan jenderal polisi Farouk Muhammad. Evi menempati pamuncak dengan raihan 283.932 suara.

Arkian, peristiwa menarik itu terungkap ketika saksi Farouk Muhammad mempermasalahkan Evi yang wajahnya biasa-biasa saja di alam nyata tetapi begitu mulus, putih dan cantik di dalam poster kampanye.

Logika sang saksi dari pihak yang kalah pun berdialektis, karena foto cantik itu masyarakat memilih Evi. Karena itu Evi layak digugat telah melakukan pembohongan publik dengan foto yang jauh dari aslinya. Intinya sang tuan para saksi kalah gegara foto diolah perangkat lunak editor citra Adobe Photoshop.

Perangkat lunak perekayasa citra ini sudah lama menjadi bahan pembicaraan sejak awal kemunculannya. Karena sistem ini dapat mengubah kulit hitam jadi putih, lubang jerawat di jidat sisa masa remaja bisa ditambal jadi mulus dan rambut ubanan bisa jadi hitam layaknya model iklan sampo. Bahkan dalam tingkatan ekstreme wajah orang pun bisa diganti dalam Photoshop.

Sebenarnya bukan Photoshop saja yang bisa menyalin rupa seseorang menjadi lebih cantik, mulus dan putih. Teknologi perangkat lunak dalam telepon pintar pun seperti Camera 360 menjadi favorit remaja dan Mahmud Abas (mama muda anak baru satu) untuk tampil cantik di media sosial.

Evi adalah calon senator yang pintar memanfaatkan teknologi. Saya pikir konsultannya lumayan canggih.

Evi pun rupanya membiarkan para kompetitornya yang tereliminasi dari panggung politik praktis untuk mengutuki nasibnya. Toh, Evi tak melanggar apapun. Sekarang proses rekapitulasi. Kalau mau dipermasalahkan seharusnya saat tahap pencalonan. 

Jadi apa yang harus dilakukan Evi? Teruslah melangkah dan tak harus menghiraukan umpatan apapun. Teruslah melangkah menuju Senayan. Di Senayan bukan hanya dapat merealisasikan aspirasi rakyat tetapi di sana dapat pula memaujudkan wajah yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa.

Saya terkesan dengan pernyataan Anda saat menanggapi para seteru yang nyinyir, "Semua hasil tidak mengkhianati usaha!"

Akhirul kalam, dan mungkin ini perlu dibuktikan yang banyak memilih Evi dugaan saya mayoritas laki-laki lantaran terpesona kecantikannya. Dan, jangan-jangan calon senator yang kalah pun saat di bilik suara saking terhipnotis, bukan mencoblos dirinya sendiri tapi malah mencoblos wajah Evi saking terkesimanya.

Wallahu alam bishawab.


Times Indonesia, 15 Mei 2019

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f