Skip to main content

Gubernur Anies selamat dari jebakan Bogor

Foto: Facebook Anies

MEREKA
itu mengaku sebagai anak muda. Mereka juga mengaku sebagai tokoh muda. Sangat heroik dan nasionalis ketika mereka berkumpul untuk memperbincangkan masalah bangsa paling mutakhir dalam tajuk "Silaturahmi Bogor untuk Indonesia".

Tidak ada yang salah. Upaya mereka untuk mendiskusikan masalah bangsa yang terbelah secara ekstreme menjadi dua kubu sangat bagus. Cuma, masalahnya jangan-jangan mereka yang berkumpul itu bagian dari masalah atau bahkan di kemudian hari bisa menciptakan masalah baru.

Sebut saja mereka yang berkumpul di Bogor, Jawa Barat, yaitu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Gubernur Nusatenggara Barat Zulkieflimansyah, Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany plus anak tokoh bangsa Agus Harimurti Yudhoyono dan Yenny Wahid.

Publik sudah dapat merekam semua prestasi sekaligus permasalahan mereka di tingkat lokal maupun nasional. Di antara mereka tak terelakan dari jejak digital dan juga rekam sosial dan politik banyak bermasalah.

Pertanyaannya bagaimana mereka dapat memberikan solusi untuk bangsa bila mereka juga harus sibuk menjadi saksi di KPK atau sebagian lagi terpenjara dengan kasusnya sehingga lebih memilih dibenci rakyat daripada urusan terbongkar KPK atau Kejaksaan.

Sayang sebenarnya, mereka masih muda tetapi harus terpenjara dengan kasus hukum atau kasus lainnya. Sehingga mereka tidak bisa maksimal untuk memberikan layanan kepada rakyat yang memilihnya sekaligus yang membencinya.

Pertemuan yang dihiasi foto bersama, nyanyi bersama dan senyum mengembang itu serasa hambar ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sudah diumumkan lewat meme akan hadir ternyata memilih absen.

Gubernur Anies sepertinya sudah mencium pertemuan itu bukan sebagai sebuah reuni tanpa nilai. Pertemuan itu sangat sarat dengan nilai dan komoditas politik.

Anies yang selama ini bekerja soliter di DKI Jakarta yang sangat beragam suku bangsa dan etnis serta bejibun kepentingan, lebih memilih fokus bekerja. Apalagi setelah ditinggal pasangannya Sandiga Salahuddin Uno yang kini masih bertarung dalam Pilpres 2019.

Anies sepertinya lebih menghindar dari kegiatan seremonial walaupun tajuknya atasnama bangsa. Anies yang dulu dituding banyak pencitraan sepertinya mulai sadar, untuk Jakarta lebih penting banyak bekerja dalam kesendirian daripada berkumpul dalam keramaian.

Karena itu Anies pun tak mau mengklaim MRT sebagai jasanya karena itu hasil kerja para pendahulunya. Anies mempersilakan untuk meresmikan MRT kepada Bapak Presiden Jokowi dan Anies cukup mendampingi.

Bagi Anies yang penting terus melanjutkan pekerjaan para pendahulunya yang baik. Jalan Sudirman ditata bahkan kini hampir setengahnya dijadikan trotoar dan taman. Tentu tujuannya untuk mendisiplinkan warga Jakarta agar lebih menggunakan kendaraan umum daripada mobil pribadi.

Upaya Anies mangkir dari pertemuan Bogor, sepertinya sudah tepat. Apalagi Anies sudah memberitahukan bahwa ketidakhadirannya karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Syukuran karena Jakarta di bawah Anies kembali dapat status WTP (wajar tanpa pengecualian). Sebuah penolakan yang diplomatis.

Anies sepertinya berkaca kepada Gubernur Jabar Ridwan Kamil alias Kang Emil. Dia mendapat suara mayoritas dalam pemilihan gubernur tapi kini malah dibenci sebagian warganya. Ide-idenya bagus dalam menata Jabar tetapi itu tidak cukup.

Kang Emil tidak sensitif. Ternyata ada warganya yang terluka. Ketika jadi gubernur seharusnya menjadi milik semua warga Jabar. Tetapi itu tidak menjadi kenyataan.

Kang Emil yang bukan anggota partai politik apapun, malah mewujud menjadi politisi. Berpihak dengan dalih memiliki hak politik. Cukup alasan cuti atau di luar jam kerja.

Sementara warganya tidak mengerti aturan hukum yang sangat rumit dipahami dalam undang-undang. Mereka tahunya gubernur itu harus milik semua warganya. Karena itu menjadi maklum seperti Bobotoh Persib yang memilih Kang Emil pun berani menyorakinya di dalam lapangan.

Anies Baswedan sepertinya tidak mau nasibnya seperti Kang Emil atau yang lainnya. Ia lebih fokus menyelesaikan satu per satu janji politiknya daripada mengikuti pertemuan yang lebih mirip ajang kangen-kangenan. Toh, untuk urusan kumpul-kumpul bagi kepala daerah ada tempatnya. Ada asosiasi gubernur, asosiasi bupati dan asosiasi wali kota dan mungkin menyusul asosiasi anak-anak tokoh bangsa. 

Dengan demikian, Anies Baswedan lebih memilih tidak tercatat dalam sejarah pertemuan di Bogor, Rabu (15/5/2019). Karena sebanyak apapun pertemuan kalau cuma wacana dan pencitraan akan menguap bersama angin, verba volan.



Times Indonesia, 18 Mei 2019

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f