Skip to main content

Lampung Punya Teri, Medan Punya Nama

PULAU Pasaran dapat ditempuh sekira 45 menit dari Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Pulau yang dikenal sebagai pusat produksi teri ini jauh dari jalan raya. Kendaraan yang digunakan selain ojek juga ada odong-odong yang dapat menembus jembatan sempit di atas laut sepanjang 500 meter.

Siang itu, matahari tepat di atas ubun-ubun. Panas yang menyengat dan debu dari sisa lumpur yang dibawa rob membuat hidung sesak dan mata perih. Tapi itu tidak membuat ciut rombongan wartawan DPR yang penasaran dengan pulau seluas 13 hehtare ini. Pulau hasil reklamasi mandiri dari batu karang yang awalnya hanya seluas 2 hektare.

Bau amis terbawa angin laut. Di pulau yang dihuni warga Cirebon, Brebes dan Bugis itu sepanjang mata memandang langsung disambut hamparan putih teri yang tengah dijemur.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung mencatat, dari pulau berpenghuni 1.286 jiwa ini diproduksi 8 hingga 10 ton per hari. Teri asal Pulau Pasaran ini 80 persen diserap pasar Jakarta, sisanya beredar di Lampung dan Sumatra bagian selatan (Sumbangsel).

Ironisnya, setelah sampai di Jakarta teri tersebut berganti juluk. Bukan teri lampung melainkan namanya jadi teri medan. Kok bisa?

"Ini yang dikeluhkan kami dan juga para pengolah di sini. Kami ini selain tidak punya daya tawar dalam menentukan harga, kami juga ingin teri yang dikonsumsi warga Jakarta itu namanya ya teri lampung bukan teri medan," ujar Kasmin Marpai dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung.

"Ibaratnya, susu punya kerbau sapi punya nama," ungkapnya lagi, ngenes.

Teri dari Pulau Pasaran dikenal sangat gurih dan berkualitas tinggi. Tidak ada rahasia yang unik atau aneh. Menurut para perajin yang tergabung dalam 48 pengolah ini, terinya sangat disukai konsumen dan sampai diburu pembeli Jakarta hingga ke sarangnya lantaran diolah langsung di tengah laut.

"Kami langsung membeli teri di tengah laut sekaligus merebusnya di sana. Jadi teri tidak melalui proses pengawetan es. Sampai di darat tinggal jemur," kata Kasnadi, pengolah teri.

Para pengolah ikan yang tergabung dalam Koperasi Mitra Karya Bahari ini selain memperjuangkan brand ikan teri yang kadung diklaim daerah lain serta soal fluktuasi harga, juga menginginkan uluran modal.

Pengolah ikan terbentur modal karena hanya pemilik modal besar yang dapat menguasai ikan teri. Sementara pengolah yang tergabung dalam koperasi, dana yang dimiliki sangat terbatas, tentu teri yang didapat juga pas-pasan.

"Kami tidak bisa membeli teri sesuai harapan kami karena dana terbatas. Teri kami jual kadang Rp80 ribu tapi bisa jadi Rp75 ribu tergantung Jakarta yang menentukan harga bukan kami," ujar Kasnadi.

Arkian, kedatangan anggota DPR asal Lampung, Sudin dari Fraksi PDI Perjuangan dan Frans Agung Mula Putra dari Fraksi Hanura tentu menjadi ajang curhat dan keluh kesah pengolah teri. Mereka secara lugas meminta bantuan dari anggota Dewan.

"Bapak siapkan saja proposal nanti cara buatnya dibimbing anggota DPRD Kota Lampung (menunjuk seorang anggota DPRD dari PDI Perjuangan). Mereka itu dipilih untuk membantu rakyat. Kalau tidak mau bantu jangan dipilih lagi nanti.

Kebetulan Menteri Koperasi dan UKM teman kita," kata Sudin yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Lampung.

Wajah sumringah penuh optimistis nampak dari wajah para pengolah dan juga para penyortir teri yang umumnya ibu-ibu rumah tangga. Padahal, entah kapan bantuan itu akan mengucur.

Bisa saja mereka lupa karena pekerjaan telah memanggilnya untuk segera menyortir menjadi  teri nasi, teri nilon atau teri jengki. Setiap pengolah rata-rata memiliki 12 penyortir dan mereka sehari diupah Rp50 ribu plus makan.

Didera dengan sejumlah keterbatasan, para pengolah dan penyortir teri masih tetap bersyukur karena laut mereka dianugerahi ikan yang melimpah. Teri tidak kenal musim. Selama 12 bulan teri tetap melimpah dan tidak ada istilah musim paceklik.

Selain teri, para pengolah lainnya juga membudidayakan sejumlah kekayaan laut yang beragam seperti kerang hijau, cumi dan rajungan.

"Cumi asin sekilo Rp60 ribu dan kerang hijau dijual di tempat Rp5.000 per kologram," kata Kasmin Marpai yang rajin memberikan pendampingan kepada pengolah teri di Pulau Pasaran.

Tentu, teri menjadi oleh-oleh yang saya bawa dari Bandar Lampung selain beragam olahan pisang dan kopi robusta yang sudah kakoncara hingga ke mancanegara. Mulai dari kopi merek Bola Dunia yang dikemas kertas sederhana hingga merek kiwari yang dikemas secara modern.

Ketika tiba di rumah yang ditenteng istri bukan kopi tetapi ikan teri. "Teri apa ini, Pa?"

"Ya, teri lampung."

Istri hanya menjawab singkat, "Ooohhhh...."

Paling tidak itulah kontribusi saya memperkenalkan teri lampung ke lingkungan terdekat.

RILIS.ID, 18 September 2017, 02:44 WIB

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f