HARI ini tepat 41 tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dideklarasikan Dr Tgk Hasan Muhammad di Tiro alias Hasan Tiro, 4 Desember 1976. Namun sang Wali, sebutan untuk Hasan Tiro, tak bisa menikmati lebih lama hasil perjuangannya lantaran meninggal 3 Juni 2010 atau sekira 5 tahun setelah perjanjian damai (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005.
Sejatinya, Hasan Tiro bukan seorang aktivis pergerakan atau pemberontak. Ia adalah orang kaya dan pengusaha sukses yang berdiaspora di New York, Amerika Serikat. Tetapi takdir rupaya berbalik haluan dan mengharuskannya balik ke tanah leluhurnya setelah melihat ketidakadilan rezim Jakarta di Tanah Rancong.
Pria kelahiran 25 Agustus 1925 ini sebenarnya telah nyaman di luar negeri bercengkrama bersama anak dan istri. Namun karena ingin melihat warga Aceh makmur, Hasan Tiro memutuskan melakukan perlawanan kepada pemerintah pusat dengan mendeklarasikan GAM dan memanggul senjata keluar masuk hutan.
Hidup di hutan yang ganas lebih dari dua tahun dan mendidik kader tangguh untuk melawan rezim pusat, hingga combatannya sanggup bertahan 29 tahun.
Selama di hutan nyawa Hasan Tiro terus terancam karena dalam pengawasan dan pengejaran tentara. Sempat meloloskan diri ke Malaysia dan akhirnya lulusan universitas elite di Amerika Serikat, Columbia University ini, mendapatkan suaka dan menetap Stockholm, Swedia.
Perjuangan Hasan Tiro dan para kadernya baik yang di luar negeri yang melakukan lobi internasional maupun para pejuang di Aceh yang memanggul senjata berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang diteken mantan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Hamid Awaludin.
Harian Serambi Indonesia edisi 6 Oktober 2008 sempat melaporkan suasana haru saat Hasan Tiro dan rombongan transit di Malaysia dalam perjalanan panjang dari negeri Skandinavia menuju Aceh. Saat bertemu tiga wartawan yang menemuinya di Aceh, Hasan Tiro berpesan, “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak akan mungkin bagi kita bisa membina hubungan dengan negara-negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini, I told to you in Acehness,” ujar Hasan Tiro.
Mantan Menteri Luar Negeri GAM Zaini Abdullah juga sempat berpesan, “Perdamaian ini mesti kita jaga, ibarat bunga yang senantiasa harus kita siram, oleh kedua pihak. Yang paling utama adalah orang Aceh harus memelihara perdamaian ini, tapi jangan sampai kita melewati batas sehingga menjadi takabur,” katanya.
Seperti ditulis ulang serambinews.com, Zaini Abdullah juga mengingatkan agar seluruh rakyat Aceh, terutama para mantan kombatan GAM selalu mengutamakan kepentingan rakyat banyak dalam kehidupan sehari-hari.
“Jangan sampai mengutamakan kepentingan pribadi, apalagi sampai terlibat dalam kasus-kasus kriminalitas sehingga bisa mengganggu perdamaian. Jadi kita semua harus bisa menjaga diri dan memelihara perdamaian agar abadi, sehingga cita-cita kita akan tercapai,” ujarnya diamini Hasan Tiro lewat anggukan kepalanya.
Selalu menjadi pertanyaan publik, kenapa Hasan Tiro mendeklarasikan GAM, 4 Desember di Bukit Tjokkan yang langsung mengundang perhatian dunia? Jawabannya ada dalam buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro.
Di sana disebutkan, tanggal dan bulan itu diambil sebagai bentuk peringatan atas peristiwa Belanda yang membunuh Kepala Negara Aceh-Sumatera terakhir, Tengku Tjhik Maat di Tiro di Alue Bhot, Tangse pada 3 Desember 1911. Dan, Belanda menyebut kekuasaan Aceh-Sumatera itu berakhir sebagai negara yang berdaulat 4 Desember 1911.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di rilis.id
Sejatinya, Hasan Tiro bukan seorang aktivis pergerakan atau pemberontak. Ia adalah orang kaya dan pengusaha sukses yang berdiaspora di New York, Amerika Serikat. Tetapi takdir rupaya berbalik haluan dan mengharuskannya balik ke tanah leluhurnya setelah melihat ketidakadilan rezim Jakarta di Tanah Rancong.
Pria kelahiran 25 Agustus 1925 ini sebenarnya telah nyaman di luar negeri bercengkrama bersama anak dan istri. Namun karena ingin melihat warga Aceh makmur, Hasan Tiro memutuskan melakukan perlawanan kepada pemerintah pusat dengan mendeklarasikan GAM dan memanggul senjata keluar masuk hutan.
Hidup di hutan yang ganas lebih dari dua tahun dan mendidik kader tangguh untuk melawan rezim pusat, hingga combatannya sanggup bertahan 29 tahun.
Selama di hutan nyawa Hasan Tiro terus terancam karena dalam pengawasan dan pengejaran tentara. Sempat meloloskan diri ke Malaysia dan akhirnya lulusan universitas elite di Amerika Serikat, Columbia University ini, mendapatkan suaka dan menetap Stockholm, Swedia.
Perjuangan Hasan Tiro dan para kadernya baik yang di luar negeri yang melakukan lobi internasional maupun para pejuang di Aceh yang memanggul senjata berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang diteken mantan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Hamid Awaludin.
Harian Serambi Indonesia edisi 6 Oktober 2008 sempat melaporkan suasana haru saat Hasan Tiro dan rombongan transit di Malaysia dalam perjalanan panjang dari negeri Skandinavia menuju Aceh. Saat bertemu tiga wartawan yang menemuinya di Aceh, Hasan Tiro berpesan, “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak akan mungkin bagi kita bisa membina hubungan dengan negara-negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini, I told to you in Acehness,” ujar Hasan Tiro.
Mantan Menteri Luar Negeri GAM Zaini Abdullah juga sempat berpesan, “Perdamaian ini mesti kita jaga, ibarat bunga yang senantiasa harus kita siram, oleh kedua pihak. Yang paling utama adalah orang Aceh harus memelihara perdamaian ini, tapi jangan sampai kita melewati batas sehingga menjadi takabur,” katanya.
Seperti ditulis ulang serambinews.com, Zaini Abdullah juga mengingatkan agar seluruh rakyat Aceh, terutama para mantan kombatan GAM selalu mengutamakan kepentingan rakyat banyak dalam kehidupan sehari-hari.
“Jangan sampai mengutamakan kepentingan pribadi, apalagi sampai terlibat dalam kasus-kasus kriminalitas sehingga bisa mengganggu perdamaian. Jadi kita semua harus bisa menjaga diri dan memelihara perdamaian agar abadi, sehingga cita-cita kita akan tercapai,” ujarnya diamini Hasan Tiro lewat anggukan kepalanya.
Selalu menjadi pertanyaan publik, kenapa Hasan Tiro mendeklarasikan GAM, 4 Desember di Bukit Tjokkan yang langsung mengundang perhatian dunia? Jawabannya ada dalam buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro.
Di sana disebutkan, tanggal dan bulan itu diambil sebagai bentuk peringatan atas peristiwa Belanda yang membunuh Kepala Negara Aceh-Sumatera terakhir, Tengku Tjhik Maat di Tiro di Alue Bhot, Tangse pada 3 Desember 1911. Dan, Belanda menyebut kekuasaan Aceh-Sumatera itu berakhir sebagai negara yang berdaulat 4 Desember 1911.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di rilis.id
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada