KRAKATOA alias Gunung Krakatau di Selat Sunda sempat tandas setelah letusan hebat yang nyaris dunia seperti kiamat. Tapi kini, penerusnya setiap tahun bertambah tinggi 6 meter. Dan suatu saat kemungkinan Anak Krakatau yang seolah menyembul dari dalam lautan yang tenang dan anteng akan meledak kembali seperti tahun-tahun sebelumnya.
Krakatau meletus pada Senin, 27 Agustus 1883 pukul 10.02 WIB yang diikuti tsunami dan menyebabkan 36.000 jiwa meninggal baik pribumi atau bangsa kolonial yang ada di sekitar Anyer. Soal titimangsa ini, para pengamat dan peneliti serta geolog pun tak pernah silang pendapat. Mereka semuanya sepakat. Sebuah kenyataan yang sebetulnya langka karena pada dasarnya dalam kasus-kasus yang lain pengamat atau para ahli kerap beda pendapat soal detail, pada waktu itu.
Seperti diceritakan dalam buku yang ditulis Simon Winchester, Krakatoa: Saat Dunia Meledak 27 Agutus 1883, tanda-tanda Krakatau akan erupsi sebenarnya sudah diketahui gejalanya. Sayangnya, yang paling sensitif dengan peristiswa alam itu hanya binatang.
Misalnya digambarkan saat itu ada seekor gajah sirkus di Batavia yang awalnya jinak dan terlatih tiba-tiba ngamuk. Sementara di daerah Anyer dan sekitarnya ayam betina berhenti bertelur, ular yang berhibernasi keluar liang, tikus kebingungan masuk lubang sehingga mudah ditangkap dan anjing melolog tanpa sebab.
Kejadian itu sudah terdeteksi oleh warga sekitar empat pekan sebelum Krakatau meletus. Sementara masyarakat Anyer dan sekitarnya beraktivitas seperti biasa, petani pergi ke ladang, pedagang berjualan di pasar dan para pejabat kolonial serta keluarganya masih di rumah menikmati sarapan dan minum kopi.
Ledakan Krakatau sebenarnya tak lebih dahsyat dari letusan gunung purba Toba atau Tambora di Hindia Belanda serta Taupo di Selandia Baru dan Katmai di Alaska. Yang membedakannya, menurut Simon, pada saat Krakatau meletus revolusi teknologi informasi tengah terjadi seperti dibangunnya jaringan kabel bawah laut, telegraf dan merebaknya agen pemberitaan Eropa di Batavia.
Informasi dengan mudah tersebar secara masif termasuk peristiwa meledaknya Krakatau. Inilah yang disebut ahli komunikasi Marshall McLuhan sebagai global village (desa dunia). Apalagi di Batavia banyak orang Eropa tinggal atau menetap, tidak hanya orang Belanda. Krakatau dan Eropa pun seolah bertetangga padahal jaraknya ribuan kilometer.
Krakatau yang nun jauh di Hindia Belanda ternyata dampaknya sangat dahsyat bukan hanya untuk masyarakat lokal tetapi juga warga dunia. Abu vulkanik dan material lainnya yang disemburkan ke langit menyebabkan suhu bumi turun. Dunia gelap gulita pada siang hari dan membuat petugas pemadam kebakaran di Amerika Serikat bersiaga 'perang' seolah menghadapi kiamat.
Kini, di bagian Indonesia lainnya Gunung Agung yang sempat meletus pada tahun 1963 kembali mengguncang dunia. Erupsi Gunung Agung telah membuat dunia penerbangan panik dan wisatawan tertahan di Bali dan Mataram.
Setelah Gunung Agung mungkin merembet ke gunung lainnya, bahkan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatra Utara, masih terus meledak-ledak dan sewaktu-waktu mengancam.
Itulah Indonesia yang sangat indah dan komprehensif ditulis dalam buku Ring of Fire: Indonesia dalam Lingkaran Api karya penulis dan produser film dokumenter asal Inggris, Lawrence Blair dan saudaranya Lorne Blair. Indonesia seolah hidup dalam dua sisi mata uang, bencana dan keberkahan.
"Gunung meletus itu jangan dianggap hanya bencana tetapi itu juga berkah yang tak ternilai bagi negeri ini. Kita hanya diminta bersabar karena akibat Gunung Sinabung meletus jeruk medan jadi subur dan para penambang di kaki Gunung Merapi tak pernah kehabisan pasir," kata Mbah Rono sebutan untuk Surono, mantan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), suatu waktu.
*)Tulisan pernah dimuat di rilis.id
Krakatau meletus pada Senin, 27 Agustus 1883 pukul 10.02 WIB yang diikuti tsunami dan menyebabkan 36.000 jiwa meninggal baik pribumi atau bangsa kolonial yang ada di sekitar Anyer. Soal titimangsa ini, para pengamat dan peneliti serta geolog pun tak pernah silang pendapat. Mereka semuanya sepakat. Sebuah kenyataan yang sebetulnya langka karena pada dasarnya dalam kasus-kasus yang lain pengamat atau para ahli kerap beda pendapat soal detail, pada waktu itu.
Seperti diceritakan dalam buku yang ditulis Simon Winchester, Krakatoa: Saat Dunia Meledak 27 Agutus 1883, tanda-tanda Krakatau akan erupsi sebenarnya sudah diketahui gejalanya. Sayangnya, yang paling sensitif dengan peristiswa alam itu hanya binatang.
Misalnya digambarkan saat itu ada seekor gajah sirkus di Batavia yang awalnya jinak dan terlatih tiba-tiba ngamuk. Sementara di daerah Anyer dan sekitarnya ayam betina berhenti bertelur, ular yang berhibernasi keluar liang, tikus kebingungan masuk lubang sehingga mudah ditangkap dan anjing melolog tanpa sebab.
Kejadian itu sudah terdeteksi oleh warga sekitar empat pekan sebelum Krakatau meletus. Sementara masyarakat Anyer dan sekitarnya beraktivitas seperti biasa, petani pergi ke ladang, pedagang berjualan di pasar dan para pejabat kolonial serta keluarganya masih di rumah menikmati sarapan dan minum kopi.
Ledakan Krakatau sebenarnya tak lebih dahsyat dari letusan gunung purba Toba atau Tambora di Hindia Belanda serta Taupo di Selandia Baru dan Katmai di Alaska. Yang membedakannya, menurut Simon, pada saat Krakatau meletus revolusi teknologi informasi tengah terjadi seperti dibangunnya jaringan kabel bawah laut, telegraf dan merebaknya agen pemberitaan Eropa di Batavia.
Informasi dengan mudah tersebar secara masif termasuk peristiwa meledaknya Krakatau. Inilah yang disebut ahli komunikasi Marshall McLuhan sebagai global village (desa dunia). Apalagi di Batavia banyak orang Eropa tinggal atau menetap, tidak hanya orang Belanda. Krakatau dan Eropa pun seolah bertetangga padahal jaraknya ribuan kilometer.
Krakatau yang nun jauh di Hindia Belanda ternyata dampaknya sangat dahsyat bukan hanya untuk masyarakat lokal tetapi juga warga dunia. Abu vulkanik dan material lainnya yang disemburkan ke langit menyebabkan suhu bumi turun. Dunia gelap gulita pada siang hari dan membuat petugas pemadam kebakaran di Amerika Serikat bersiaga 'perang' seolah menghadapi kiamat.
Kini, di bagian Indonesia lainnya Gunung Agung yang sempat meletus pada tahun 1963 kembali mengguncang dunia. Erupsi Gunung Agung telah membuat dunia penerbangan panik dan wisatawan tertahan di Bali dan Mataram.
Setelah Gunung Agung mungkin merembet ke gunung lainnya, bahkan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatra Utara, masih terus meledak-ledak dan sewaktu-waktu mengancam.
Itulah Indonesia yang sangat indah dan komprehensif ditulis dalam buku Ring of Fire: Indonesia dalam Lingkaran Api karya penulis dan produser film dokumenter asal Inggris, Lawrence Blair dan saudaranya Lorne Blair. Indonesia seolah hidup dalam dua sisi mata uang, bencana dan keberkahan.
"Gunung meletus itu jangan dianggap hanya bencana tetapi itu juga berkah yang tak ternilai bagi negeri ini. Kita hanya diminta bersabar karena akibat Gunung Sinabung meletus jeruk medan jadi subur dan para penambang di kaki Gunung Merapi tak pernah kehabisan pasir," kata Mbah Rono sebutan untuk Surono, mantan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), suatu waktu.
*)Tulisan pernah dimuat di rilis.id
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada