Skip to main content

Celoteh profesor riset dan pengamat sandal jepit

SETIDAKNYA, saat ini saya melihat dan mencermati ada dua pentolan kaum intelektual masing-masing Profesor (Riset) Ikrar Nusa Bhakti dan Doktor Komunikasi Ade Armando yang kadang kritis dan kadang masih 'membela' Presiden Jokowi. Saya dan teman wartawan lainnya sempat miris melihat Ikrar dan Ade baik itu dalam pergulatan sosial media maupun diskusi cungur dalam berbagai forum.

Mereka terang-terangan membela Jokowi dalam pilpres tahun lalu dengan alasan masing-masing yang sangat gamblang di masyarakat atau pun di media massa. Lumrah, karena mereka secara langsung atau pun tidak menjadi bagian dari tim sukses atau relawan atau simpatisan.

Yang paling saya ingat adalah pernyataan Ikrar saat diskusi di Perpustakaan MPR menjelang pilpres. Ketika itu profesor dari lembaga ilmu yang sangat disegani ini dengan lantang menyatakan bahwa Jokowi itu adalah produk akselerasi. Kosakata  ini sangat menarik perhatian dan sangat mengganggu pikiran kritis saya.

Saya pertama kali mendengar istilah kata ini ketika masa SMA dulu ketika ada temen kelas yang dapat loncat kelas karena sangat pintar. Nah, kata akselerasi puluhan tahun kemudian dikemukaan Ikrar untuk menyebut prestasi Jokowi yang awalnya jadi walikota kota Solo kemudian gubernur Jakarta tapi nggak tamat dan kemudian jadi presiden disebutnya sebuah produk akselerasi.

Ketika itu saya tak dapat membantahnya karena nggak ada gunanya. Semua orang tengah memuja 'Satrio Piningit'. Jadi percuma saja untuk membantah pernyataan sang profesor yang selalu mengutip tulisannya sendiri di opini harian Kompas.

Tapi dua pekan lalu,  sang profesor rupanya gelisah dalam diskusi di tempat yang sama. Ikrar mulai kritis kepada pemerintahan Jokowi. Salah satunya soal pemerintah yang begitu royalnya mengobral jabatan komisari BUMN kepada tim sukses, relawan ataupun orang-orang yang dianggap kritis.

"Ada apa?" Inilah pertanyaan wartawan yang hampir dilontarkan serempak kepada Ikrar.

"Apakah Bapak kecewa karena tidak mendapatkan posisi di kemerintahan?" Mulawarman seorang peserta diskusi begitu lantang seolah menginterogasi sang profesor. Rupanya kaget juga Ikrar mendapat pertanyaan itu. "Bapak sekarang kritis, dulu membela habis-habisan."

Dalam sesi tanya jawab, Ikrar menjelaskan bahwa tidak benar dirinya kritis lantaran tak mendapatkan jabatan dalam pemerintahan atau jabatan komisaris di BUMN. Sementara pengamat politik, ekonomi dan juga pengamat amit-amit pun malah mendapatkan jabatan tertentu. Ada apa dengan Cinta, eh Ikrar?

"Saya kritis dalam kapasitas sebagai ilmuwan. Memang saya dulu membela Pak Jokowi. Tapi bukan berarti saya tidak harus kritis bila ada yang menurut saya menyimpang," kata Ikrar. "Saya bukan pendukung fanatik. Kalau saya pendukung fanatik saya bisa melabrak Anda."

Ikrar kemudian melanjutkan, "Kalaupun saya ditawari  sebagai komisaris saya akan menolaknya. Karena saya tidak berkompeten untuk itu."

Sangat berbeda dengan pengamat politik Fachry Ali yang didapuk pemerintah menjadi Komisaris Utama PT Timah (Persero). Frasa 'sandal jepit' rupanya sangat menarik dan menggugah dibandingkan kata kunci 'akselerasi'. Kata sandal jepit dipakai Fachri untuk merujuk kepada siapapun wakil Jokowi dalam pilpres, mantan walikota Solo ini dipastikan akan memenangi pilpres.

“Jokowi itu dipasangkan dengan sandal jepit juga menang,” kata Fachri dalam diskusi ‘Pemilu 2014: Antara Demokrasi Voting dan Demokrasi Kerakyatan’ di Jakarta, November 2014.

Hasilnya cespleng. Jokowi pun menganjar Fachry Ali dengan jabatan Komut PT  Timah. Asoooy!

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f