“Seluruh diri kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan”. (Buddha)
SEORANG tokoh partai politik dalam slogan iklannya di media cetak dan televisi yang sangat masif menyatakan: Hidup adalah perbuatan! Ungkapan ini saya amati menjadi bahan guyonan dan lelucon politik yang cukup populer belakangan ini.
Namun, setelah membaca buku karya Arvan Pradiansyah ini, saya ingin mengusulkan kepada politisi yang juga pengusaha batik tersebut bahwa hidup bukan hanya perbuatan tetapi yang utama adalah memilih pikiran!
Bila hidup adalah sebatas perbuatan maka akan menyusul serentetan pertanyaan: perbuatan seperti apa, untuk apa dan seperti apa targetnya. Tapi bila hidup ini adalah memilih pikiran jawabannya pasti sudah jelas mau pikiran positif atau negatif dan goalnya jelas, kebahagiaan atau sebaliknya.
Bukankah ada semacam avorisme seperti “merdeka sejak dalam pikiran” atau seperti ditulis almarhum sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru, “adil sejak dalam pikiran”. Ini menunjukkan bahwa pikiran adalah starting point untuk melakukan sesuatu atau tonggak dalam bersikap.
Konsep ikhtiar untuk mencapai kebahagiaan yang disodorkan atau ditawarkan penulis buku laris Life is Beautiful ini sangat sederhana dan mudah dicerna dan cukup diwujudkan dalam bentuk bangunan rumah.
Menurut saya, konsep “perjalaan” atau tahapan untuk mencapai kebahagiaan ini sangat tepat disandingkan dengan filosofis bangunan rumah yang mulai dari fondasi yang harus kokoh, tiang penyangga yang kuat dan atap sebagai pelindung yang teduh.
Begitu juga halnya dengan tujuh rangkaian konsep kebahagiaan yang disebut Arvan sebagai makanan bergizi untuk pikiran, juga dibangun secara terstruktur dan berurutan. Seperti halnya membangun rumah tidak mungkin bisa terwujud dengan diawali dari atap terlebih dahulu sebelum ada fondasi dan tiang atau penyangga.
Begitu juga dengan membangun sebuah kebahagiaan seperti yang ditawarkan Arvan yang konsep bukunya sudah dirintis sejak 2004 ini.
Tiga makanan pertama pikiran berkaitan dengan diri sendiri meliputi Patience (sabar), Gratefulnes (syukur) dan Simplicity (sederhana). Tiga makanan berikutnya berhubungan dengan orang lain yaitu Love (kasih), Giving (memberi), dan Forgiving (Memaafkan). Satu makanan terakhir berkaitan dengan Tuhan yaitu Surrender (pasrah).
Saya lebih pas menyebutnya bahwa buku Arvan ini adalah resep untuk mencapai kebahagiaan yang harus terus menerus disuntikkan ke dalam pikiran kita dan terapi yang harus terus berulang dilatih.
Sebagaimana ditulis Arvan dalam kata pengantarnya, The 7 Laws of Happiness bukanlah sebuah buku teoritis mengenai kebahagiaan. Buku ini adalah buku yang sangat praktis yang akan membantu Anda mencapai kebahagiaan.
Bila cuma membaca buku ini jangan harap kebahagiaan akan datang karena tujuh makanan bergizi untuk pikiran ini harus dipraktikan dan dilatih secara berulang-ulang (hal. 21).
Keunikan dari buku ini adalah lahir setelah drafnya dipresentasikan terlebih dahulu dari seminar ke seminar atau dari pelatihan ke pelatihan. Ini sangat bertolak belakang dari buku how to, self help atau kitab motivasi lainnya yang umumnya disusun dalam buku terlebihdulu dan selanjutnya dipresentasikan.
Hal positif dari cara yang dilakukan Arvan ini adalah bahwa kitab ini sudah pasti teruji dan bisa dijamin resepnya manjur karena sudah dipresentasikan dan diperdebatkan sebelum jadi buku. Saya yakin selama dalam tahap presentasi itu ada masukan, kritikan, perdebatan dan ada revisi serta respons lainnya.
Bagian lain yang membuat saya memberikan apresiasi kepada Arvan adalah mengenai pengakuannya seputar sumber ide penulisan buku ini. Ia menyebutkan ide membuat buku ini muncul setelah mempelajari ajaran agama besar dunia termasuk juga ajaran Zen, Tao dan banyak lagi.
“Bagi saya, kebenaran dapat datang dari manapun, dari latar belakang apapun,” tulis Arvan.
Membaca buku ini, berarti kita juga belajar menanamkan toleransi dan membumikan plularisme dalam pikiran dan aksi (perbuatan). Inilah nilis plus buku The 7 Laws of Happiness.
SEORANG tokoh partai politik dalam slogan iklannya di media cetak dan televisi yang sangat masif menyatakan: Hidup adalah perbuatan! Ungkapan ini saya amati menjadi bahan guyonan dan lelucon politik yang cukup populer belakangan ini.
Namun, setelah membaca buku karya Arvan Pradiansyah ini, saya ingin mengusulkan kepada politisi yang juga pengusaha batik tersebut bahwa hidup bukan hanya perbuatan tetapi yang utama adalah memilih pikiran!
Bila hidup adalah sebatas perbuatan maka akan menyusul serentetan pertanyaan: perbuatan seperti apa, untuk apa dan seperti apa targetnya. Tapi bila hidup ini adalah memilih pikiran jawabannya pasti sudah jelas mau pikiran positif atau negatif dan goalnya jelas, kebahagiaan atau sebaliknya.
Bukankah ada semacam avorisme seperti “merdeka sejak dalam pikiran” atau seperti ditulis almarhum sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru, “adil sejak dalam pikiran”. Ini menunjukkan bahwa pikiran adalah starting point untuk melakukan sesuatu atau tonggak dalam bersikap.
Konsep ikhtiar untuk mencapai kebahagiaan yang disodorkan atau ditawarkan penulis buku laris Life is Beautiful ini sangat sederhana dan mudah dicerna dan cukup diwujudkan dalam bentuk bangunan rumah.
Menurut saya, konsep “perjalaan” atau tahapan untuk mencapai kebahagiaan ini sangat tepat disandingkan dengan filosofis bangunan rumah yang mulai dari fondasi yang harus kokoh, tiang penyangga yang kuat dan atap sebagai pelindung yang teduh.
Begitu juga halnya dengan tujuh rangkaian konsep kebahagiaan yang disebut Arvan sebagai makanan bergizi untuk pikiran, juga dibangun secara terstruktur dan berurutan. Seperti halnya membangun rumah tidak mungkin bisa terwujud dengan diawali dari atap terlebih dahulu sebelum ada fondasi dan tiang atau penyangga.
Begitu juga dengan membangun sebuah kebahagiaan seperti yang ditawarkan Arvan yang konsep bukunya sudah dirintis sejak 2004 ini.
Tiga makanan pertama pikiran berkaitan dengan diri sendiri meliputi Patience (sabar), Gratefulnes (syukur) dan Simplicity (sederhana). Tiga makanan berikutnya berhubungan dengan orang lain yaitu Love (kasih), Giving (memberi), dan Forgiving (Memaafkan). Satu makanan terakhir berkaitan dengan Tuhan yaitu Surrender (pasrah).
Saya lebih pas menyebutnya bahwa buku Arvan ini adalah resep untuk mencapai kebahagiaan yang harus terus menerus disuntikkan ke dalam pikiran kita dan terapi yang harus terus berulang dilatih.
Sebagaimana ditulis Arvan dalam kata pengantarnya, The 7 Laws of Happiness bukanlah sebuah buku teoritis mengenai kebahagiaan. Buku ini adalah buku yang sangat praktis yang akan membantu Anda mencapai kebahagiaan.
Bila cuma membaca buku ini jangan harap kebahagiaan akan datang karena tujuh makanan bergizi untuk pikiran ini harus dipraktikan dan dilatih secara berulang-ulang (hal. 21).
Keunikan dari buku ini adalah lahir setelah drafnya dipresentasikan terlebih dahulu dari seminar ke seminar atau dari pelatihan ke pelatihan. Ini sangat bertolak belakang dari buku how to, self help atau kitab motivasi lainnya yang umumnya disusun dalam buku terlebihdulu dan selanjutnya dipresentasikan.
Hal positif dari cara yang dilakukan Arvan ini adalah bahwa kitab ini sudah pasti teruji dan bisa dijamin resepnya manjur karena sudah dipresentasikan dan diperdebatkan sebelum jadi buku. Saya yakin selama dalam tahap presentasi itu ada masukan, kritikan, perdebatan dan ada revisi serta respons lainnya.
Bagian lain yang membuat saya memberikan apresiasi kepada Arvan adalah mengenai pengakuannya seputar sumber ide penulisan buku ini. Ia menyebutkan ide membuat buku ini muncul setelah mempelajari ajaran agama besar dunia termasuk juga ajaran Zen, Tao dan banyak lagi.
“Bagi saya, kebenaran dapat datang dari manapun, dari latar belakang apapun,” tulis Arvan.
Membaca buku ini, berarti kita juga belajar menanamkan toleransi dan membumikan plularisme dalam pikiran dan aksi (perbuatan). Inilah nilis plus buku The 7 Laws of Happiness.
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada