***
"Selamat siang, bisa bicara dengan Pak Supardi?" suara telefon di seberang sana menyapa ramah.
"Ya, saya sendiri.... Ini, Pak Rudhy, ya? " jawab Supardi dengan nada gembira.
Suara Rudhy Chaidir, Atase Imigrasi KBRI Den Haag, dikenalnya dengan baik, walaupun lewat telefon.
Maklumlah, hubungan Supardi dengan Rudhy seperti juga dengan kebanyakan diplomat RI di KBRI Den Haag terjalin baik. Khusus dengan Rudhy, Supardi cukup sering bicara lewat telefon. Mereka sama-sama senang olahraga badminton.
"Ya, saya. Pak Pardi saya tunggu di KBRI, ya" ujar Rudhy.
"Wah, rasanya kabar baik, nih. Sudah ada keputusan dari Jakarta, ya Pak Rudhy?" tanya Supardi ingin kepastian.
"Ya, ya ada kabar untuk Pak Pardi, nih. Kabar dari saya kan selalu baik, ha...ha...ha ..... Nah, sekarang ini, kabar yang sangat baik sekali. Sudah ada keputusan dari Menhuk dan HAM" jawab Rudhy dengan nada riang.
Telefon singkat dari Atase Imigrasi KBRI Den Haag Rudhy Chaidir itu tak akan pernah dilupakan A. Supardi Adiwidjaya (67), eksil yang sudah 17 tahun berdomisili bersama keluarganya di Negeri Kincir Angin. Selasa, 13 November 2007 pukul 11.00 waktu Belanda, menjadi sejarah kehidupan berikutnya bagi Supardi, yang bisa dipastikan akan menerima kembali paspor RI.
"Saya tidak dapat menutupi kegembiraan mengetahui berita penting itu. Saya bergegas kayuh sepeda ke Stasiun Zaandam. Dari kota di pinggir Amsterdam itu saya langsung naik kereta api menuju Den Haag, untuk kemudian naik bus nomor 24 jurusan Kijkduin menuju KBRI Den Haag," tuturnya mengenang.
Di KBRI, Supardi sudah ditunggu dan disambut senyuman bersahabat dari sang pemberi kabar, Rudhy Chaidir. Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang diteken Andi Mattalata tentang Kewarganegaraan RI atas nama Achmad Supardi (nama berdasarkan Surat Keterangan Kelahiran) pun sudah berpindah tangan.
"Rasanya, seperti pada akhir Agustus 1962. Ketika itu saya menjadi mahasiswa yang masih muda belia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Moskow (sekarang ibu kota Republik Federasi Rusia-Red)," kata Supardi mengenang saat usianya genap 21 tahun.
Pada akhir 70-an pemerintah Orde Baru memutuskan untuk memugar makam Bung Karno (BK), mengabadikan nama BK dan Bung Hatta untuk Bandar Udara Internasional dan BK ditetapkan sebagai salah seorang Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Sikap Soeharto tersebut dicerna Supardi cukup kondusif untuk memutuskan kembali ke Indonesia.
Supardi pun menyatroni Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow untuk mengajukan permintaan mendapatkan izin pulang ke Tanah Air. Berbagai dokumen yang diminta KBRI Moskow diserahkan selengkap-lengkapnya. Dan dia telah mengisi apa yang disebut "Daftar Isian".
Waktu berjalan sekitar sewindu setelah mengajukan permohonan kembali ke Indonesia lewat KBRI Moskow tersebut, tetapi tidak pernah ada jawaban konkret, baik positif ataupun negatif, sekaitan permohonannya untuk kembali ke Indonesia dari pemerintah Orba.
Bahkan ketika pada September 1989 Presiden Soeharto berkunjung ke Moskow, Atase Pertahanan (Athan) KBRI Moskow tidak mengizinkan Supardi berada di wilayah Kedubes RI. Namun dari pembicaraan dengan pihak Athan, akhirnya Supardi diizinkan berada di ruangan sebelah tempat Presiden Soeharto bersama rombongan diterima Dubes Janwar Djani. Ketika anak-anak sekolah Indonesia Moskow (SIM) selesai menyanyikan lagu untuk menyambut Presiden Soeharto, Supardi meminta izin pihak Athan untuk keluar ruangan dan meninggalkan wilayah KBRI. Dan sejak itulah, Supardi memutuskan adalah ilusi kembali ke Tanah Air lewat KBRI Moskow di zaman Orba.
Rezim berubah, paspor Republik Indonesia bernomor P2xxxxx atas nama Achmad Supardi kini dalam genggamannya. Sekarang, Supardi bisa dengan lantang mengaku sebagai bangsa Indonesia. "Meskipun ada yang berpendapat, paspor itu adalah bukti kewarganegaraan bukan bukti kebangsaan," kata Supardi tak ambil pusing.
Secara keseluruhan, kata Supardi, UU/12 Tahun 2006 yang diundangkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, adalah produk hukum yang aspiratif dan mencerahkan. Namun, bukan berarti undang-undang tersebut tanpa kritik dari bekas mahasiswa ikatan dinas (Mahid) di zaman Bung Karno ini.
Menurut Pemegang gelar Ph.D dari Universitas Lomonosov ini, tidak adil mengatakan eks Mahid kehilangan kewarganegaraan dengan alasan lalai selama lima tahun tidak melapor ke KBRI. "Eks Mahid bukan kehilangan kewarganegaraan karena tidak melapor ke KBRI setempat lebih dari 5 tahun melainkan paspor mereka dicabut KBRI di beberapa negara," tutur suami dari warganegara Belanda keturunan Rusia, Tatiana, yang dinikahinya 25 Maret 1971 ini.
Prinsip Supardi yang tidak mengakui Soeharto sebagai Presiden setelah Sukarno memang berdampak panjang. Apalagi, sejak munculnya apa yang disebut Surat Perintah 11 Maret 1966 (ketika itu) Letjen Soeharto tampak melakukan kup merangkak terhadap Presiden Sukarno. Lebih-lebih lagi, pembantaian massal terhadap orang-orang yang samasekali tidak tahu menahu tentang G30S tanpa proses pengadilan yang dilancarkan Orba sangat ditentang oleh Supardi.
Dan Supardi tahu dengan jelas, bahwa prinsip yang dipegangnya itu memang menanggung konsekuensi. "Saat itu saya berpegang teguh karena saya saat berangkat sebagai Mahid berjanji akan tetap setia kepada Presiden Sukarno, Kepala Negara Republik Indonesia," kata Supardi.
Paspor mahasiswa yang studi di Uni Soviet, misalnya, dicabut KBRI Moskow pada 1 Agustus 1666. "Bagaimana mereka dianggap lalai melapor, sementara paspor mereka dicabut dan mereka dibiarkan terlunta-lunta dan telantar karena menjadi orang tanpa warga negara alias stateless," tutur Supardi, emosional.
Dikatakan Supardi, selang beberapa hari setelah menerima bukti sebagai WNI, paspor Kerajaan Belanda langsung diserahkan ke Kotapraja Zaanstad. "Pengembalian paspor berlangsung lancar," ujar kakek dua cucu ini.
Kini, paspor Kerajaan Belanda sudah dibolongi yang berarti Supardi bukan lagi warganegara Negeri Kincir Angin. Selamat datang Indonesiaku. "Horeee... aku jadi WNI lagi!" teriaknya dalam batin. ***
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada