Skip to main content

Horeee... Aku Jadi WNI Lagi (1)

UU/12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia menjadi sebuah berkah bagi sejumlah eksil yang terpaksa berdiaspora selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Kisah mereka untuk mendapat pengakuan ke-WNI-an sangat mengharu biru. Di antara mereka harus berhijrah dari negara satu ke negara lain dan bahkan sempat menjadi manusia tanpa kewarganegaraan (stateless). Di antara eksil itu adalah Ki Sunda A. Supardi Adiwidjaya, doktor sejarah yang harus berkelana dari Uni Soviet (Federasi Rusia) hingga ke Belanda. Berikut kisahnya seperti dituturkan kepada penulis lepas, Yayat R. Cipasang yang dibuat dalam tiga tulisan.

***


"Selamat siang, bisa bicara dengan Pak Supardi?" suara telefon di seberang sana menyapa ramah.

"Ya, saya sendiri.... Ini, Pak Rudhy, ya? " jawab Supardi dengan nada gembira.
Suara Rudhy Chaidir, Atase Imigrasi KBRI Den Haag, dikenalnya dengan baik, walaupun lewat telefon.

Maklumlah, hubungan Supardi dengan Rudhy seperti juga dengan kebanyakan diplomat RI di KBRI Den Haag terjalin baik. Khusus dengan Rudhy, Supardi cukup sering bicara lewat telefon. Mereka sama-sama senang olahraga badminton.

"Ya, saya. Pak Pardi saya tunggu di KBRI, ya" ujar Rudhy.

"Wah, rasanya kabar baik, nih. Sudah ada keputusan dari Jakarta, ya Pak Rudhy?" tanya Supardi ingin kepastian.

"Ya, ya ada kabar untuk Pak Pardi, nih. Kabar dari saya kan selalu baik, ha...ha...ha ..... Nah, sekarang ini, kabar yang sangat baik sekali. Sudah ada keputusan dari Menhuk dan HAM" jawab Rudhy dengan nada riang.

Telefon singkat dari Atase Imigrasi KBRI Den Haag Rudhy Chaidir itu tak akan pernah dilupakan A. Supardi Adiwidjaya (67), eksil yang sudah 17 tahun berdomisili bersama keluarganya di Negeri Kincir Angin. Selasa, 13 November 2007 pukul 11.00 waktu Belanda, menjadi sejarah kehidupan berikutnya bagi Supardi, yang bisa dipastikan akan menerima kembali paspor RI.

"Saya tidak dapat menutupi kegembiraan mengetahui berita penting itu. Saya bergegas kayuh sepeda ke Stasiun Zaandam. Dari kota di pinggir Amsterdam itu saya langsung naik kereta api menuju Den Haag, untuk kemudian naik bus nomor 24 jurusan Kijkduin menuju KBRI Den Haag," tuturnya mengenang.

Di KBRI, Supardi sudah ditunggu dan disambut senyuman bersahabat dari sang pemberi kabar, Rudhy Chaidir. Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang diteken Andi Mattalata tentang Kewarganegaraan RI atas nama Achmad Supardi (nama berdasarkan Surat Keterangan Kelahiran) pun sudah berpindah tangan.

"Rasanya, seperti pada akhir Agustus 1962. Ketika itu saya menjadi mahasiswa yang masih muda belia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Moskow (sekarang ibu kota Republik Federasi Rusia-Red)," kata Supardi mengenang saat usianya genap 21 tahun.

Pada akhir 70-an pemerintah Orde Baru memutuskan untuk memugar makam Bung Karno (BK), mengabadikan nama BK dan Bung Hatta untuk Bandar Udara Internasional dan BK ditetapkan sebagai salah seorang Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Sikap Soeharto tersebut dicerna Supardi cukup kondusif untuk memutuskan kembali ke Indonesia.

Supardi pun menyatroni Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow untuk mengajukan permintaan mendapatkan izin pulang ke Tanah Air. Berbagai dokumen yang diminta KBRI Moskow diserahkan selengkap-lengkapnya. Dan dia telah mengisi apa yang disebut "Daftar Isian".

Waktu berjalan sekitar sewindu setelah mengajukan permohonan kembali ke Indonesia lewat KBRI Moskow tersebut, tetapi tidak pernah ada jawaban konkret, baik positif ataupun negatif, sekaitan permohonannya untuk kembali ke Indonesia dari pemerintah Orba.

Bahkan ketika pada September 1989 Presiden Soeharto berkunjung ke Moskow, Atase Pertahanan (Athan) KBRI Moskow tidak mengizinkan Supardi berada di wilayah Kedubes RI. Namun dari pembicaraan dengan pihak Athan, akhirnya Supardi diizinkan berada di ruangan sebelah tempat Presiden Soeharto bersama rombongan diterima Dubes Janwar Djani. Ketika anak-anak sekolah Indonesia Moskow (SIM) selesai menyanyikan lagu untuk menyambut Presiden Soeharto, Supardi meminta izin pihak Athan untuk keluar ruangan dan meninggalkan wilayah KBRI. Dan sejak itulah, Supardi memutuskan adalah ilusi kembali ke Tanah Air lewat KBRI Moskow di zaman Orba.

Rezim berubah, paspor Republik Indonesia bernomor P2xxxxx atas nama Achmad Supardi kini dalam genggamannya. Sekarang, Supardi bisa dengan lantang mengaku sebagai bangsa Indonesia. "Meskipun ada yang berpendapat, paspor itu adalah bukti kewarganegaraan bukan bukti kebangsaan," kata Supardi tak ambil pusing.

Secara keseluruhan, kata Supardi, UU/12 Tahun 2006 yang diundangkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, adalah produk hukum yang aspiratif dan mencerahkan. Namun, bukan berarti undang-undang tersebut tanpa kritik dari bekas mahasiswa ikatan dinas (Mahid) di zaman Bung Karno ini.

Menurut Pemegang gelar Ph.D dari Universitas Lomonosov ini, tidak adil mengatakan eks Mahid kehilangan kewarganegaraan dengan alasan lalai selama lima tahun tidak melapor ke KBRI. "Eks Mahid bukan kehilangan kewarganegaraan karena tidak melapor ke KBRI setempat lebih dari 5 tahun melainkan paspor mereka dicabut KBRI di beberapa negara," tutur suami dari warganegara Belanda keturunan Rusia, Tatiana, yang dinikahinya 25 Maret 1971 ini.

Prinsip Supardi yang tidak mengakui Soeharto sebagai Presiden setelah Sukarno memang berdampak panjang. Apalagi, sejak munculnya apa yang disebut Surat Perintah 11 Maret 1966 (ketika itu) Letjen Soeharto tampak melakukan kup merangkak terhadap Presiden Sukarno. Lebih-lebih lagi, pembantaian massal terhadap orang-orang yang samasekali tidak tahu menahu tentang G30S tanpa proses pengadilan yang dilancarkan Orba sangat ditentang oleh Supardi.

Dan Supardi tahu dengan jelas, bahwa prinsip yang dipegangnya itu memang menanggung konsekuensi. "Saat itu saya berpegang teguh karena saya saat berangkat sebagai Mahid berjanji akan tetap setia kepada Presiden Sukarno, Kepala Negara Republik Indonesia," kata Supardi.

Paspor mahasiswa yang studi di Uni Soviet, misalnya, dicabut KBRI Moskow pada 1 Agustus 1666. "Bagaimana mereka dianggap lalai melapor, sementara paspor mereka dicabut dan mereka dibiarkan terlunta-lunta dan telantar karena menjadi orang tanpa warga negara alias stateless," tutur Supardi, emosional.

Dikatakan Supardi, selang beberapa hari setelah menerima bukti sebagai WNI, paspor Kerajaan Belanda langsung diserahkan ke Kotapraja Zaanstad. "Pengembalian paspor berlangsung lancar," ujar kakek dua cucu ini.

Kini, paspor Kerajaan Belanda sudah dibolongi yang berarti Supardi bukan lagi warganegara Negeri Kincir Angin. Selamat datang Indonesiaku. "Horeee... aku jadi WNI lagi!" teriaknya dalam batin. ***

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f