Skip to main content

Aku Kirim Putriku ke STSI Bandung (3)

ROBOHNYA tembok pemisah Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1989 yang menjadi lambang kedigdayaan komunisme dunia menjadi babak lain kisah Supardi. Uni Soviet dan Eropa Timur bergolak. Mei 1990 Supardi memutuskan bersama keluarganya meninggalkan Negeri Beruang Merah itu menuju Belanda sebagai pelarian politik.

Tetapi keputusan hijrah ke Belanda itu tidak ada kaitannya samasekali dengan pergolakan di negara-negara sosialis itu. Sebab utama dari keinginan pindah ke Belanda, karena setelah kurang lebih sewindu tidak ada jawaban positif dari Jakarta atas permohonannya untuk kembali ke Tanah Air lewat KBRI Moskow. Dan sekaitan ini Supardi berkesimpulan adalah ilusi kembali ke tanah air lewat KBRI Moskow di zaman Orba.

Namun, setelah setahun berada di Negeri Kincir Angin, pemerintah Belanda menolak memberikan suaka kepada Supardi sekeluarga dengan alasan bahwa mereka tidak memenuhi syarat untuk diberikan perlindungan politik di Belanda. Dan mungkin juga karena dia bukan orang komunis yang dikejar-kejar oleh rezim Soeharto. Tapi berkat kegigihan dan bantuan "Stichting Vluchtelingenwerk" beserta advokat dan juga bantuan indonesianis Rita Jongeling, Supardi dan keluarganya mendapat status A (pelarian politik) dan bisa tetap tinggal di Belanda.

Pada akhir tahun 1993, Supardi dan keluarganya memperoleh izin tinggal tetap dari pemerintah Belanda. Untuk menopang kehidupan seorang istri dan empat anaknya Supardi bekerja di Holland Parcel Express, sebuah perusahan kurir di kota Zaandam, pinggiran Amsterdam.

Tapi hanya beberapa tahun saja dia bekerja di perusahaan ini. Faktor umur tidak memungkinkan baginya bekerja yang sehari-harinya harus mengendarai mobil. Dia memutuskan berhenti dari perusahaan kurir ini. Tidak mudah mendapat pekerjaan jika seseorang sudah mencapai umur 55 plus. Dan disamping itu juga sungguh sulit mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya.

Itulah sebabnya, dia mendaftarkan diri ke kantor Vrijwilligerswerk (pekerjaan sukarela). Sekaitan ini, dia pernah beberapa tahun bekerja sebagai tenaga sukarelawan di sebuah yayasan, yang memberikan bantuan sosial bagi anak-anak yatim, anak-anak miskin, merenovasi sekolah dan sebagainya di Papua. Salah satunya Yayasan V.I.S Verenigde Internationaal Samenwerken).

Di usianya yang sudah mencapai gelar S3 (sudah sepuh sekali)--demikian ia menyebut dirinya, seharusnya Supardi tinggal ongkang-ongkang kaki, diam di rumah atau jalan-jalan di taman sambil mengayuh sepeda kesayangan yang sekaligus menjadi alat transportasi utamanya. Apalagi Supardi mendapatkan jaminan pensiun dari Kerajaan Belanda karena usianya sudah 65 plus.

"Mestinya, sih diam saja di rumah. Tetapi itu bukan gaya hidup saya. Saya pikir, orang hidup itu harus bergerak. Jika orang sudah nggak sanggup bergerak, ia tidak lagi hidup namanya," kata Supardi berfilsafat.

Bagi Supardi, bergerak tidak sekadar olahraga jasmaniah tetapi juga harus putar otak. Karena itu sampai sekarang Supardi tetap menulis sebagai freelance journalist dengan menjadi kontributor sebuah harian di Jakarta. "Itulah sebabnya saya masih terus aktif menulis. Salah seorang paman saya Abdurrahman Gunadirdja, yang sekarang sudah berumur 82 tahun masih aktif menulis dan menjadi editor majalah Deplu, Image. Rosihan Anwar (wartawan tiga zaman-Red) saja yang sudah sepuh masih aktif menulis," tutur Supardi.

Profesinya sebagai jurnalis, membuat Supardi banyak merambah negara-negara di Eropa Barat dan Timur. Sejumlah diplomat RI pun sangat dekat dengan bapak empat anak ini. Di antaranya Dubes RI untuk Polandia Hazairin Pohan dan Dubes RI untuk Hongaria Mangasi Sihombing, juga mantan Dubes RI untuk Alzajair Dino Erwin dan diplomat Ghafar Fadyl. Supardi juga menjalin hubungan pribadi yang baik dengan Dubes RI untuk Belanda JE Habibie alias Fanny Habibie, Wakil Kepala Perwakilan RI untuk Kerajaan Belanda Djauhari Oratmangun, Dubes RI untuk Belgia, Keharyapatihan Luksemburg dan Uni Eropa Nadjib Riphat Kesoema.

Tidak itu saja, profesi jurnalis juga membuat Supardi kenal dengan tokoh-tokoh nasional yang berkunjung ke Belanda atau Eropa Timur. Baru-baru ini misalnya, Supardi juga mewawancarai Gubernur Gorontalo yang juga tokoh Golkar Fadel Muhammad, bekas Ketua Ikatan Dokter Indonesia Farid Alfansa Moeloek, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar.

Supardi tinggal bersama putri bungsunya Hani Supardi (14) serta sang istri di flat sederhana di Jalan Wibautstraat nomor 212, Kota Zaandam. Sedangkan tiga anaknya yang lain sudah tinggal terpisah masing-masing Iman Supardi (36), Agustina Supardi (26) dan Saleh Supardi (24). Dari keempat anaknya yang bisa berbahasa Indonesia adalah Agustina.

Menurut Supardi, Agustina ternyata mempunyai bakat seni. Bakat ini yang mengantarkan putrinya itu ke sekolah khusus seni (kunst onderwijs). "Ketika Agustina berumur sekitar 10 tahun, dia belajar menari, antara lain tari tradisional Sunda di Grup Tari Sanggar Melati Ribuan Pulau atau disingkat Sanggar Melati pimpinan Ibu Yayah Fatly yang orang Karawang," kata Supardi.

Pada tahun 2000-2001 Agustina dikirim ke Indonesia dengan maksud agar lebih dekat dengan keluarga di Tanah Air. Dan ternyata Agustina terpilih sebagai salah seorang penari Gencar Semarak Perkasa (GSP) pimpinan Guruh Sukarnoputra.

"Tahun 2001-2002 Agustina mendapat beasiswa Darmasiswa dari pemerintah Indonesia untuk memperdalam studi tari tradisional Sunda di STSI Bandung," kata bapak empat anak yang sejak di Moskow bercita-cita bekerja di Bappenas ini.

"Tahun ini Agustina menyelesaikan sekolah kejuruan dalam bidang manajemen perdagangan," tambahnya.

Usia boleh S3 dan sudah punya cucu dua. Tapi Supardi masih tetap menangis bila mengingat orangtua terutama sang bunda, Ibu Nanden Suhaemi yang meninggal pada usia 30 tahun. Saat itu Supardi berusia 11 tahun.

Supardi bukan hanya sedih lantaran makam sang bunda hilang ditelan bumi--lantaran tak ada yang mengurus--di pemakaman Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur. Tapi juga selalu teringat lagu berjudul "Bunda", terutama bait pertamanya yang selalu ditembangkannya bertahun-tahun kemudian setelah ibundanya meninggal dunia.

Pada suatu malam ku duduk, termenung seorang diri
Dilamun duka lara, terkenang Ibuku jauh dimata
Air mata berlinang membasahi pipi, tak terasa
Terbayang akan daku, waktu aku ditimang dan dimanja

Kini hamba jauh di rantau
Ini adalah kodrat Yang Kuasa
Duhai Ibunda, berikanlah hamba doa mesra murni
agar hamba selamat, hidup di rantau orang s'lama ini

....

"Dan sekitar sepuluh tahun kemudian, bait kedua lirik lagu "Ibunda" itu benar-benar seperti diperuntukkan bagiku. Aku benar-benar jadi perantau atau berada di rantau. Di negeri orang sampai kini ....," kata Supardi lirih sambil meneteskan air mata. ***

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f