Skip to main content

Rating Alternatif dan Image TV Partikelir

Oleh: Yayat R Cipasang, peminat kajian industri pertelevisian

"Bagi televisi komersial (yang berbasis ideologi kapitalisme murni) yang dipersoalkan bukanlah bagaimana sebuah tayangan menabrak moralitas, melanggar etika agama, melabrak tabu dan melecehkan adat, melainkan bagaimana ia dapat meningkatkan rating sebagai cara perputaran kapital." (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 10 Juli 2003).


ORGANISASI kemasyarakatan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai represenstasi mayoritas masyarakat Indonesia gusar dengan pertelevisian Indonesia yang separuh program acaranya didominasi atraksi asosial dan selera rendah (low taste). Menyikapi hal ini memang tidak bisa hanya dengan mengkritisinya dari menara gading melainkan harus dengan aksi.

Upaya PBNU menggandeng Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menjadi “Polisi” program televisi yang tidak jelas jenis kelamin serta kategori umurnya itu, patut diapresiasi. Upaya itu patut disikapi sebagai bentuk keresahan dan tanggung jawab social bukan sebagai wujud arogansi. Rencananya dalam waktu dekat PBNU dan KPI akan membentuk sebuah tim khusus yang nantinya secara berkala mengeluarkan rapor program televisi sebagai bahan acuan publik.

Menurut Ketua PBNU Hasyim Muzadi, aturan tentang pertelevisian dan penyiaran di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik. Namun, itu belum cukup karena harus pula dilakukan pendekatan kebudayaan untuk mengawasi dan mengendalikannya.

"Kalau itu persoalannya ekonomi (faktor komersial), masih bisa diatasi. Kalau persoalannya politik, masih bisa dibicarakan. Tapi, kalau masalahnya budaya, tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan legal formal. Harus dilakukan lewat pendekatan budaya. Kita jangan sampai terlambat," katanya.

Hasyim menilai, saat ini muncul kecenderungan bahwa tayangan televisi yang penontonnya paling banyak atau ratingnya tinggi, justru yang tidak baik bagi masyarakat. Tayangan tersebut malah tidak memiliki unsur pendidikan dan pencerdasan kepada masyarakat.

Ikhtiar PBNU dan KPI ini tujuan akhirnya adalah menghadirkan program televisi yang mendidik (to educate), memberikan informasi (to inform) dan tentu saja menghibur (to entertain). Namun, tujuan ideal itu masih memerlukan perjuangan terutama dari masyarakat, praktisi pertelevisian, dan para pengamat media untuk melepaskan industri pertelevisian dari kerangkeng rating yang dimonopoli konsultan asing AGB Nielsen. Tanpa upaya serius dari ketiga komponen masyarakat itu cita-cita menghadirkan pertelevisian ideal hanya utopia.

Monopoli AGB Nielsen

Bagi saya rating itu memang sangat egois karena telah memonopoli selera sehingga
televisi partikelir di Indonesia mirip TV Pool dan membuat orang tidak kreatif. Pengelola televisi cenderung membuat program sejenis atau mengekor televisi lain yang dianggap sukses secara komersial. Tim kreatif televisi tidak lagi mengagungkan ide dan orisinalitas. Bagi saya tim kreatif televisi lebih cocok disebut robot dan tim pemalas!

Sudah banyak cercaan, tudingan, dan pengingkaran terhadap rating baik dalam bentuk seminar maupun dalam bentuk tulisan di media massa. Bahkan penulis muda Erica L. Panjaitan dan T.M. Dani Iqbal sampai menulis buku yang sangat provokatif “Matinya Rating Televisi”.

Buku hasil penelitian secara kualitatif dengan pendekatan filsafat ini sebenarnya tidak menawarkan gagasan baru. Pembahasan masih seputar kelemahan rating dalam industri pertelevisian cum periklanan. Setelah membalik-balik buku ini saya tidak menemukan ide penulis untuk menawarkan solusi atau pengganti dominasi rating, paling tidak dalam tataran konsep.

Tapi bagi saya buku itu cukup untuk menjadi provokator di tengah industri pertelevisian yang masih menuhankan rating. Buku ini cukup berhasil membuktikan bahwa ternyata para pelaku dan pengelola bisnis televisi dan biro iklan masih tergantung pada rating. Bahkan secara gamblang Dirut Trans TV Ishadi SK mengakui pihaknya sangat tergantung pada rating. Menurut dia, sebuah program yang memiliki audience share yang tinggi, berarti sangat digemari penonton dan umumnya menarik pemasang iklan.

Selama ini memang kerap terdengar dari pengelola televisi ada yang menentang rating. Namun, setelah selidik punya selidik mereka kritis karena memang produknya jeblok dan tidak termasuk ke dalam peringkat rating. Tetapi bila rating program acaranya bagus mereka secara tidak langsung mengamini adanya rating.

Secara filsafat ilmu pengetahuan, metode dalam rating sudah salah. Pendekatan kuantitatif yang semula dilihat sebagai media utama untuk merepresentasikan kenyataan empiris ternyata tidak lepas dari nilai-nilai alias tidak netral. Artinya bahwa angka-angka dalam rating sebenarnya rawan dimainkan. Bukan tidak mungkin sebuah stasiun televisi untuk melipatgandakan kapitalnya berani membayar lebih ke pihak AGB Nielsen untuk mengkatrol angka agar lebih baik. Tapi ini mungkin sebuah kecurigaan yang terlalu berlebihan!

Saatnya Jualan Image

Sejatinya, ada cara yang lebih elegan dan kreatif untuk meningkatkan pendapatan (iklan) tanpa tergantung pada rating, yaitu citra atau image. Mantan Direktur Pemberitaan SCTV Sumita Tobing yang paling percaya dan yakin dengan cara ini. Menurut dia, sebenarnya kualitas acaralah yang menjadi daya tarik pengiklan. Bahkan secara radikal, Sumita melontarkan ucapan, "Dengan membuat acara yang bagus saya yakin tanpa tenaga pemasaran pun pengiklan akan datang.”

Hal senada dikatakan Direktur Pemberitaan TVOne Karni Ilyas dalam wawancara dengan Republika (18/02/2008). Karni menyatakan, televisi yang menyasar kelas pemirsa A, B dan C populasinya sangat kecil dibandingkan televisi yang menyasar konsumen kelas D dan E. Karena itu jualan TVOne bukan rating tetapi image atau citra.

"Saya sudah membuktikan bahwa image dapat dijual ketika di SCTV. Dalam enam tahun, tahun pertama Divisi News masih rugi. Tahun kedua mencapai break event point (BEP). Tahun ketiga sampai keenam kita untung tidak tanggung-tanggung, Rp 120 miliar per tahun. Itu net profit, sudah dikurangi gaji karyawan dan lain-lain," katanya.

Menurut Karni, ternyata berita itu kalau ditekuni bukan sesuatu yang kalah dari entertain atau sinetron. Malah jualan image itu ternyata lebih mahal dan menguntungkan. Divisi lain seperti entertainmen tak bisa sebesar itu. "Walau dari rating memang news tidak akan menang, kita tidak mencari rating. Yang kita cari itu image. Rating Liputan 6 SCTV paling 2-3, dibanding rating Inul yang bisa sampai 16. Sinetron bisa ratingnya 20. News kecil sekali, tetapi nyatanya, uang yang dihasilkan oleh Divisi News SCTV itu luar biasa. Jadi salah kalau kita pandang hanya rating yang bisa dijual. Image justru lebih mahal," kata Karni.

Karni memberikan logika berpikir yang sangat sederhana. Kalau saya mau mengiklankan Nokia, saya tidak mungkin beriklan di tayangan dangdut. Saya akan tayangkan di program berita. Kalau saya mau mengiklankan Kijang Innova, apalagi Mercy atau BMW, jelas tak mungkin saya tayangkan di program sinetron. TV berita tempatnya. Bahkan shampo-shampo berkelas yang cukup mahal juga bisa dijual di program berita.

Rating Alternatif

Garin Nugroho sutradara film cum pengamat budaya termasuk yang gusar dengan dominasi rating yang mencengkeram industri pertelevisian dan periklanan di Indonesia. Lantaran kegusarannya itu Garin kemudian menggagas rating alternatif.

Dalam Jurnal Media Watch The Habibe Center, rating alternatif yang digagas Garin secara metode bertolak belakang dengan yang dilakukan AGB Nielsen selama ini. Dalam rating alternatif, indikator yang digunakan bukan seberapa banyak penonton sebuah program televisi tetapi seberapa kualitas tayangan tersebut dan seberapa relevan bagi kebutuhan pemirsa yang sangat beragam.

Rating alternatif versi Garin menjaring 550 responden dari berbagai unsur masyarakat seperti guru, orangtua, dosen, tokoh masyarakat dan banyak lagi. Mereka ini nantinya akan mengemukakan pendapat tentang tayangan yang sedang populer di masyarakat.

Pemilihan sampel secara proporsional dijaring dari 14 ibukota provinsi yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Denpasar, Makassar, Palembang, Pontianak, Kendari, Jayapura, Banjarmasin dan Manado.

Ada tiga aspek kualitas yang akan dinilai untuk masing-masing program televisi yaitu aspek edukasi, kepeloporan, dan patologi sosial. Untuk masing-masing aspek itu responden diminta memberi skor antara 1 sampai 7.

Upaya yang dilakukan PBNU dan KPI serta Garin Nugroho dengan rating alternatif yang digagasnya perlu diapresiasi. Begitu juga upaya Karni Ilyas sebagai praktisi televisi yang berkiblat kepada image perlu terus dikembangkan karena menuntut pengelola televisi untuk menghadirkan tayangan yang kreatif dan orisinil. Ikhtiar mereka ini diharapkan akan mengubah televisi Indonesia yang asosial menjadi ramah keluarga.

Tidak ada lagi “program hantu”, berdarah-darah dan di luar logika akal sehat.
Di era yang demokratis ini saya berharap lembaga rating tambah meriah dan banyak memberikan pilihan seperti halnya lembaga polling politik. Ada Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, IndoBarometer dan banyak lagi. Intinya, masyarakat, produsen, pengelola televisi dan praktisi periklanan tinggal memilih lembaga yang dipercayainya. []

Comments

  1. Artikelnya penting nih mas, saya boleh minta ijin untuk memforward ke beberapa teman saya?

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda Berkomentar Maka Saya Ada

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f