Skip to main content

Semangat & Suasana Kebatinan di Balik Risalah UU Pers

Judul: Memorie Van Toelichting
(15 Hari Perjuangan untuk Kemerdekaan Pers)
Penulis: Christina Chelsia Chan, dkk.
Cetakan: Pertama, September 2007
Tebal: LXV + 1.295 halaman
Penerbit: Indonesia Media Law & Policy Centre (IMLPC)


PERJALANAN sewindu UU 40/1999 tentang Pers mengalami pasang surut dan menuai kontroversi. Kalangan pegiat pers dan penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) seperti “ditakdirkan” untuk tidak pernah akur.

Kalangan penegak hukum berpandangan UU Pers tidak bisa dikatakan Lex Specialis Derogate Lex Generalis sedangkan kalangan pers menyatakan sebaliknya.

Polisi misalnya mempermasalahkan UU Pers yang hanya mengatur tiga jenis pelanggaran yang dilakukan pers, yaitu pelanggaran norma agama, norma susila dan asas praduga tak bersalah. Polisi juga selalu berpegang pada “ketidakpercayaan diri” UU Pers khususnya mengenai penjelasan Pasal 12 UU Pers: “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana, menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Penjelasan ini dicerna polisi dan penegak hukum lainnya bahwa perundangan yang dimaksud, apalagi kalau bukan KUHP.

Di kalangan pers sendiri ternyata tidak semuanya sependapat UU Pers dikatakan sudah memenuhi syarat pokok Lex Specialis. Wartawan Senior Rosihan Anwar menilai UU Pers dirasakan kurang pas atau kurang sesuai dengan dinamika dan perkembangan yang terjadi.

Wartawan tiga zaman ini mengusulkan agar UU Pers itu direvisi. “Kita tidak boleh berpandangan sebuah UU harus absolut namun hendaknya juga fleksibel,” kata Rosihan Anwar. (Hal. xliv)

Revisi atau tidak direvisi sejatinya bukan menjadi permasalahan utama asalkan tidak melanggar semangat pokok UU Pers yang lahir cukup singkat bahkan mungkin bisa dikatakan rekor--hanya dalam 15 hari pembahasan.

Tiga prinsip itu adalah kemerdekaan pers, penghapusan perizinan penerbitan pers dan tidak ada lagi pembredelan. Tiga prinsip ini harus tetap ada dalam UU Pers baik itu dalam kondisi sekarang maupun nanti setelah direvisi.

Kehadiran buku Memorie Van Toelichting (15 Hari Perjuangan untuk Kemerdekaan Pers) yang diterbitkan IMLPC bisa menjadi cermin masa lalu dan masa depan.
Cermin masa lalu, berarti melalui risalah yang berbentuk buku dan terkodifikasi ini masyarakat Indonesia dapat mengetahui bagaimana sebuah proses kemerdekaan pers dibahas dan dilahirkan.

Sedangkan cermin masa depan, buku ini merupakan saksi kunci saat rencana revisi terhadap UU Pers dilakukan agar jiwa dan semangat kemerdekaan pers tetap hidup dan terjaga. (Hal. xiv)

Christina Chelsia Chan, penulis buku ini menyatakan penyusunan risalah terinspirasi oleh Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang Dasar Negara.

Diamini Parni Hadi, Direktur RRI, yang memberikan komentar atas terbitnya buku ini menyatakan, dalam Risalah BPUPKI terdapat pidato Bung Karno yang kemudian terkenal dengan judul “Pidato Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945.

Dalam buku setebal 1.295 halaman ini ada semangat kebatinan—demikian istilah Hinca Pandjaitan—yang mengambarkan mana sosok yang reformis dan mana juga sosok yang mempertahankan status quo. Buku ini bisa menjadi rekam jejak para tokoh yang beragam seperti dari unsur parlemen, pengamat pers, pelaku pers, dan pelaku pasar serta akademisi.

Perdebatan-perdebatan kecil hingga yang menjurus ke hal yang emosional dapat tergambar dari tutur kata tokoh yang tertulis. Perdebatan-perdebatan yang cukup alot itu di antaranya mengenai definisi pers. Ada yang menginginkan penyiaran juga dimasukkan dalam UU Pers. Padahal RUU Penyiaran pada saat bersamaan juga diajukan pemerintah Habibie bersama RUU Perfilman. (Hal. 434-437).

Memang penyusun buku sengaja menulis risalah dalam bahasa asli penuturnya. Kesengajaan itu bukan tanpa dasar yaitu untuk menangkap nuansa dan atmosfir saat persidangan terjadi. Setidaknya ingin menunjukkan kepada generasi bangsa bahwa seperti itulah persidangan yang terjadi, melelahkan dan alot sehingga muncul “semangat” dan “ruh” dari risalah itu.

Belakangan tanpa disadari, ternyata penulisan bahasa oral apa adanya itu dapat menunjukkan karakter masing-masing tokoh. Kita juga bisa melihat ternyata bahasa mereka itu tidak beraturan, loginya sangat kacau. Penulis jadi bertanya, tokoh saja yang pendidikannya tinggi kok bahasanya kacau, bagaimana yang tidak berpendidikan atau masyarakat awam.

Memang dengan penulisan apa adanya ini, keaslian risalah menjadi terjaga sehingga menghindarkan penyusun buku dari kesalahan interpretasi. Namun bagi pembaca, bahasa tutur para elite ini ternyata sangat memusingkan. Sampai saya saja harus beberapa kali membaca setiap pernyataan para tokoh tersebut.

Contohnya pernyataan Aisyah Amini dari Fraksi Partai Pembangunan yang juga ketua rapat: “Jadi memang terlihat ada, karena pernah dulu waktu itu Pak Lubis jadi Ketua PWI menjadi ribut karena Peraturan Pemerintah itu bertentangan dengan Undang-undang sebelumnya. Nah ini ternyata sampai sekarang belum ada lagi aturan yang mengatur. Nah sekarang apakah kita akan mengatur dalam Undang-undang ini tentang Modal Asing itu seperti tertera dalam DIM nomor 55. Kami persilakan dari Fraksi ABRI”. (Hal. 425)

Keterbatasan lainnya, karena risalah ini hanya mengumpulkan serpihan-serpihan dari bahan tertulis dan terekam, nuansa yang ditangkap pembaca tidak lengkap dan tidak dramatis. Risalah tidak dapat menangkap suasana beberapa sidang yang tertutup, lobi-lobi atau deal-deal di luar sidang. Padahal hidden agenda itu banyak terjadi di luar persidangan.

Terlepas dari kelemahan itu, kodifikasi hasil rapat penyusunan UU Pers ini, pantas untuk disambut apresiasi. Risalah ini akan menjadi saksi sejarah bahwa memperjuangkan kemerdekaan pers itu tidaklah mudah tetapi bukan berarti membuatnya harus berlama-lama. Buktinya dalam 15 hari saja bisa lahir UU Pers.

Buku ini pantas untuk menjadi bahan bacaan atau inspirasi mahasiswa, pekerja pers, pengacara, politisi, penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) serta masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung bersentuhan dengan pers.

Pesan tersiratnya, bagi kelompok kepentingan yang hendak merevisi UU Pers, ya baca dulu risalah ini! []


Jakarta, 15/2/2008

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f