PESTA demokrasi warga Jawa Barat akan dihelat 13 April 2008. Tiga paket calon gubernur dan wakilnya sudah ditetapkan dan berhak bertarung untuk mendapat pengakuan secara langsung, masing-masing Danny Setiawan-Iwan Sulandjana, Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim dan Ahmad Heryawan-Yusuf Macan Effendi atau yang dikenal dengan sebutan populer Dede Yusuf.
Saya sebagai warga Jabar yang “murtad” sangat peduli dengan kelangsungan dan proses demokrasi di Jabar. Murtad yang saya maksud dilihat dari dua sisi. Pertama, kartu tanda penduduk saya sudah tidak lagi berdomisili di Ciamis melainkan telah menjadi bagian dari kesemrawutan Ibu Kota Jakarta. Kedua, secara budaya saya sudah jarang lagi mempraktikkan bahasa Sunda yang baik dan benar sebagai bahasa ibu dan identitas utama warga Jabar.
Tapi percayalah, warga Jabar yang seperti saya hampir seluruhnya, baik secara biologis, budaya dan politik terikat dengan narasi besar bernama Jabar. Saya yakin, seperti Yaya Rukayadi, peneliti Temu Lawak di Universitas Yonsei, Korea Selatan atau A. Supardi Adiwijaya yang “terpaksa” menjadi eksil di Belanda sejak Orde Baru berkuasa, masih terikat dengan alam Jabar.
Pemimpin Transformatif
Indonesia dan khususnya Jabar sangat membutuhkan gubernur yang memiliki visi serta karakter tranformatif. Jabar sudah harus mengubah paradigma bila tidak ingin tertinggal atau teralienasi oleh lingkungan nasional dan dunia global hanya gara-gara kesalahan kepemimpinan.
Jabar--meminjam istilah ekonom Rizal Ramli--sudah harus meninggalkan para pimpinannya yang berpandangan transaksional. Pemimpin yang kebijakannya tambal sulam, ragu mengambil kebijakan tegas, reaktif, status quo, pemimpin seperti pemadam kebaran dan pemimpin yang hanya omong doang (bubbles) dengan kecanggihan kemasan humas.
Ciri pemimpin transaksional bisa dilihat dari cara berpikir dan kebijakannya yang tergantung pada tren alias musiman dan situasional. Kebijakannya bersifat trickle up effect (eksklusif) atau hanya menyuburkan kelompok dan elite tertentu.
Kini, Jabar saatnya dipimpin oleh gubernur yang berparadigma transformatif. Pemimpin jenis ini adalah sosok yang dapat membawa perubahan bagi warganya ke arah yang lebih baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik secara terarah, bertahap dan hasilnya bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Pemimpin ini memang susah dicari tetapi memang harus dilahirkan. Hanya kondisilah yang melahirkan pemimpin transformatif. Konsekuensinya pemimpin jenis ini tidak selamanya populer di masyarakat karena kebijakannya tidak seperti makan cabe, langsung terasa. Bahkan ekstrimnya, kebijakan pemimpin jenis ini ada yang baru dirasakan setelah beberapa generasi kemudian.
Saatnya, kondisi Jabar melahirkan pemimpin transformatif. Tiga pasang cagub/cawagub yang sudah digadang-gadang bukanlah sebuah akhir atau vonis mati menutup keran pemimpin transformatif. Melalui kontrak politik yang dibuat parlemen lokal, lembaga swadaya masyarakat dan tokoh-tokoh serta masyarakat madani lainnya, tiga pasang ini dapat dibentuk dan dipaksa untuk menjadi pemimpin transformatif.
Harus ada inisiatif dari kalangan civil society Jabar untuk membentuk pimpinan tersebut. Bila dari tiga pasang itu ada yang berkomitmen dan bersedia menandatangani kontrak politik menjadi gubernur transformatif, kelompok endorser harus dengan segera mensosialisasikannya secara massif kepada masyarakat.
Haruskah Asli Sunda?
Bila warga Jabar sepakat untuk memilih pemimpin transformatif, konsekuensinya masyarakat juga harus membuka diri dari ikatan primordial. Bisa jadi pada suatu massa Jabar kehabisan stok pemimpin transformatif asli Sunda dan terpaksa harus berpaling kepada sosok lain yang secara biologis tidak nyunda.
Fanatisme sempit bukan sebuah solusi. Bisa jadi malah sosok “non pribumi” ini berjiwa Sunda dan berpihak kepada rakyat kecil. Atau sosok itu kebijakannya bersifat trickel down effect (inklusif) dan membumi sehingga dapat menyelesaikan masalah utama rakyat kecil di Jabar seperti kemiskinan dan pengangguran.
Mungkin warga Sunda bisa berkaca pada pemilihan gubernur di Kalimantan Barat. Mayoritas warga di sana adalah etnis Melayu dan beragama Islam. Tetapi warga Melayu di sana lebih memilih gubernur dari etnis Dayak dan wakilnya dari kelompok Kristiani. Mereka menganggap gubernur dan wakilnya memiliki pandangan transformatif atau lebih baik dari pada calon dari Melayu yang hanya bisa gontok-gontokan sambil saling menjatuhkan.
Program Kerja Mendesak
Jabar, menurut saya saat ini sangat membutuhkan pemimpin transformatif yang fokus pada tiga program kerja yang meliputi masalah bahan pokok, kesehatan dan pendidikan. Ketiga program kerja ini adalah “gizi” Jabar untuk memasuki dunia yang sangat kompetitif dan selektif.
Pertama, bahan pokok. Bangsa Indonesia selama ini sangat rawan dengan serangan dari tiga penjuru sekaligus (triple hits) kelangkaan sumber karbohidrat, protein dan sumber energi.
Kelangkaan sumber karbohidrat (beras dan terigu) satu dasawarsa terakhir harus menjadi starting point untuk mewujudkan swasembada karbohidrat. Indonesia belakangan ini menjadi pengekspor beras baik dari Vietnam atau dari Thailand. Sementara tepung terigu Indonesia sangat tergantung pada harga yang dipermainkan Amerika Serikat.
Jabar juga terancam dengan kelangkaan sumber protein (kedelai dan minyak goreng). Ini sangat terasa ketika warga Jabar tiba-tiba kehilangan tahu dan tempe di pasaran karena harga kedelai yang melambug di AS sana. Indonesia juga selalu dipusingkan dengan harga minyak karena pemilik pabrik kelapa sawit lebih tertarik menjual minyak sawit mentah (CPO) ke luar negeri.
Untuk dua kelangkaan ini solusi jitunya adalah pemimpin transformatif saatnya merevitalisasi pertanian. Pemerintah lokal bersama-sama universitas lokal dapat memulainya. Untuk beras misalnya selain masalah bibit unggul dan tahan hama juga harus ada pembukaan persawahan baru karena selama ini sudah banyak areal persawahan yang beralih menjadi permukiman dan pabrik-pabrik.
Sementara soal kedelai, selain harus mendapatkan bibit yang unggul dan berkualitas pemerintah juga harus mengajak petani untuk mengaktifkan sistem tumpangsari. Sistem ini dulu sangat efektif misalnya di sela-sela perkebunan karet atau di pematang sawah.
Revitalisasi bukan sekadar jargon tetapi harus dipraktikkan. Bisa dibayangkan kalau Jabar terus menerus kehilangan penganan tempe atau tahu dan apa dampaknya yang akan terjadi. Kecerdasan anak-anak Jabar merosot! Tempe adalah penganan dan sumber protein yang murah meriah bagi warga kecil.
Jabar juga harus terhindar dari pukulan energi seperti bahan bakar minyak. Pemimpin transformatif harus memformulasikan kebijakannya untuk menghindarkan Jabar dari krisis energi. Pemimpin transformatif selayaknya menengok energi terbarukan di luar energi fosil, seperti Biogas. Bukankah sumber energi ini di Jabar sangat melimpah seperti kotoran sapi dan sampah yang bisa diolah menjadi sangat berguna seperti di Brazil.
Sementara untuk energi listrik, Jabar juga sangat potensial untuk mengaktifkan turbin-turbin listrik di kampung-kampung atau memanfaatkan energi matahari. Semuanya ini tidak memerlukan investasi besar yang gampang di-mark up. Cukup hanya dengan menggerakkan masyarakat. Masalahnya masyarakat perlu pimpinan yang dapat dipercaya dan meyakinkan.
Kedua, kesehatan. Pemimpin masa depan di Jabar harus segera mengubah paradigma dari rumah sakit menjadi rumah sehat. Selama ini banyak cagub atau calon walikota dalam kampanyenya yang mengumbar janji akan menggratiskan biaya kesehatan. Ternyata janji itu bukan sebuah solusi dan malah akan membebani APBD.
Kita mungkin harus mencontoh Belanda yang sudah sejak lama mengubah paradigma rumah sakit menjadi rumah sehat. Makanya Pemkot Bontang, Kalimantan Timur mencoba meng-copy paste kebijakan pemerintah Belanda. Di Bontang misalnya sudah dipisahkan pembagian pelayanan kesehatan. Untuk orang sakit dilayani puskemas. Sedangkan untuk orang sehat yang tidak mau sakit mengkonsultasikan kesehatannya di klinik yang disebut dokter keluarga. Pertanyaanya, kapan konsep ini dilakukan di Jabar?
Ketiga, pendidikan. Sudah bosan mendengar dari calon walikota, bupati atau gubernur yang dalam setiap kampanye berkoar-koarkan dan berjanji akan mengratiskan biaya pendidikan. Saat terpilih, sang gubernur bingung karena janji itu tanpa konsep dan sulit dipraktikkan.
Seharusnya, para kandidat itu mencontoh Malaysia. Membuat sistem dulu baru dipublikasaikan ke masyarakat. Di Malaysia misalnya pemerintah dapat mengontrol beasiswa untuk pelajar atau mahasiswa langsung dari indeks prestasi masing-masing murid.
Dari data yang terintegrasi itu pula pemerintah dapat menaikkan dan menurunkan kucuran beasiswa untuk pelajar atau mahasiswa. Bila indeks prestasi mahasiswa itu naik otomatis beasiswa pun naik. Sebaliknya bila indeks prestasi itu turun jatah beasiswa dari pemerintah pun turun. Itu sangat adil menurut saya.
Akhirul kalam, setelah membeberkan keunggulan pimpinan transformatif ini saya lalu bertanya, “Ada nggak ya dari tiga pasangan cagub/cawagub Jabar, ya paling tidak mendekati pimpinan transformatif? Wallahualam bishawab.[]
Jakarta, Sabtu 9 Februari 2008
ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada