Oleh: Yayat R. Cipasang, editor situs myRMnews (Grup Jawa Pos)
DIRAWAT di rumah sakit dari 31 Oktober hingga 11 November di Rumah Sakit Pusat Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur, tidak hanya menyisakan kisah yang menjengkelkan dan menyedihkan tetapi juga ada pengalaman lucu yang menggelikan.
Aku divonis menderita efusi pleura massif. Paru-paruku bagian kiri terendam cairan yang diperkirakan mencapai 4 liter. Dari literatur yang aku baca jenis penyakit paru-paru ini bisa terjadi karena tumor, infeksi, bakteri tuberkolosis (TBC) dan banyak lagi.
Pengalaman selama 10 hari di rumah sakit ini aku catat dalam dua tulisan, berjudul “Salah Diagnosis” dan “Jadi Kelinci Percobaan.”
***
PETIR dan hujan deras yang mengguyur Jakarta petang itu mengantarku sampai ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSP Persahabatan. Petang itu aku melihat IGD—mungkin karena baru pertama kali—nyaris seperti pasar malam.
Pertama kali masuk aku sudah keder ketika tiba-tiba terdengar ibu-ibu berteriak histeris. Nyaliku mulai ciut. Duh, seramnya!
Belakangan diketahui dari seorang suster bahwa ibu muda ini merontan-ronta karena bayinya yang kurang dari satu tahun meninggal. Bayi meninggal karena terlambat dirawat atau dirujuk ke rumah sakit. Padahal kalau dibilang penyakitnya sepele, panas dalam!
“Ah, aku harus kuat!,” batinku.
Sesaat kemudian seorang perawat pria menyapa,” Ada yang akan dirawat? Siapa pasiennya?”
Aku sempat menengok ke adik ipar yang berada di sebelahku.
“Saya, Mas,” kataku menunjuk ke dadaku sendiri. “Apakah aku masih kelihatan sehat? Perawat tak melihatku sakit? Apakah aku tak pucat?” batinku setengah bangga.
Perawat mempersilakan aku menempati velbet di pojok tak jauh dari pintu utama. Selang oksigen untuk membantu nafasku yang tersenggal-senggal, segera dipasang.
Aku dengan jelas melihat orang keluar masuk. Ada yang gemuk, kurus, pincang, batuk-batuk dan banyak lagi. Semuanya pasien IGD. Ada kakek-kakek cerewet. Ada juga suster yang sedang memarahi pasien tua yang tetap merajuk untuk pulang sementara ia sendiri sebatangkara.
Semua dokumen seperti foto rontgent, rekaman jantung, dan hasil test darah masih dianalisis dokter. Aku kini ditangani seorang mahasiswa kedokteran, perempuan.
Berbagai pertanyaan ia ajukan. Namun, aku mulai agak kaget ketika mahasiswa itu bertanya,” Apakah Bapak menggunakan narkoba?”
“Tidak,” jawabku. Aku membatin. “Apakah wajahku bertampang pecandu narkoba?”
“Maksud saya, Bapak suka ‘nyuntik’?”
Aku menggeleng. Saat ke dokter saja kalau bisa diganti obat, mendingan menghindari jarum suntik. Aku paling takut melihat jarum suntik dan tidak pernah tega melihat nenekku setiap malam disuntik insulin karena menderita diabetes kering.
Tak berselang lama setelah menandatangani surat untuk sebuah tindakan medis, dokter spesialis paru-paru di IGD mendekatiku. Ia memberitahu bahwa cairan dari paru-paru akan segera diambil. Aku hanya mengangguk.
Aku sudah membayangkan proses pengambilan cairan tersebut bakal sakit. Jarum suntik ukuran besar dan selang sudah disiapkan.
Sebelum ke rumah sakit, aku sempat bertanya ke dokter sebelumnya bagaimana rasanya diambil cairan, sakit atau tidak. Namun sang dokter umum itu hanya tersenyum.
“Ya, mudah-mudahan nanti setelah diambil cairan Bapak jadi gemuk,” tuturnya. Jawaban itu tidak memuaskan.
Harapanku bahwa pengambilan cairan itu tidak sakit terkabul. Ternyata jarum suntik ukurun besar yang menyelusup lewat dua rusuk sebelah kiri itu hanya seperti suntikan biasa.
Namun, betapa aku kagetnya ketika cairan itu mulai mengalir dari selang yang ditampung dalam dua botol bekas cairan infus. Air yang keluar dari paru-paruku seperti air seni dan hangat.
“Dok, ini cairan dari paru-paruku?” tanyaku kaget.
“Ya, saya ambil satu liter dulu ya. Nanti kalau batuk bilang,” kata dokter pria yang sangat ramah ini.
Dokter tersebut memberitahukan bahwa rata-rata dalam setiap pengambilan cairan kemampuan orang hanya sekitar satu liter. Bila dipaksakan pasien bisa pingsan.
Benar saja, setelah mencapai satu liter aku mulai batuk-batuk dan sesak nafas. Pengambilan cairan dihentikan. “Nanti sisanya di ruang perawatan, ya,” kata dokter.
Dua hari kemudian di ruang perawatan kelas tiga aku kembali memasuki ruang tindakan. Aku masuk ke ruangan tenang-tenang saja. Aku berpikir pasti penyedotan kedua kali juga sama dengan yang pertama di ruang IGD.
Namun, apa yang terjadi. Penyedotan kedua terasa sangat sakit. Di sela-sela dua tulang rusukku seolah-olah dibolongi. Bahkan aku merasa ada sebagian jaringan diambil dari paru-paruku. Baru kali ini aku berteriak sakit! Benar saja, sebuah alat yang agak lebih kecil dari pensil menjumput secuil daging dari organku. Dokter menyebut itu proses biopsi.
Setelah dijahit dan ditempel kasa, aku dipersilakan kembali ke ruang perawatan. Delapan tempat tidur pasien di Kamar 1 Ruang Soka Atas, penuh. Ini berarti ada lagi satu pasien yang datang. Ia didekatku. Pasien tua dan nafasnya terengah-engah. Namanya Tang Ku Tek. Karena dari Tangerang aku menduga ia Cina Benteng.
Bekas jahitan hingga pagi masih terasa ngilu. Aku menjadi sulit bergerak. Aku rencananya hendak mengelap tubuhku yang berkeringat tapi seorang dokter perempuan tiba-tiba datang.
“Gimana Pak sehat?” tanyanya.
“Alhamdulillah,” jawabku.
“Mudah-mudahan ini jadi amal Bapak, saat ini sudah ada 6 nahasiswa saya yang akan bertanya pada Bapak. Bapak bersedia, kan?”
“Ya, bersedia,” jawabku. Aku menduga mereka hanya akan bertanya seputar penyakitku.
Tapi soal dokter itu memilih aku sebagai “proyek” percobaan, aku sudah tahu kendati tidak harus bertanya. Semua pasien kecuali aku selain sudah tua mereka umumnya pasien mengi (asma) dan TBC. Gimana bisa ditanya nafasnya saja sudah tersenggal-senggal.
Aku tersenyum saja melihat mahasiswa kedokteran yang rapi, cakep dan cantik. Aku membatin, putri kecilku yang kini berusia 2,5 bulan berharap kelak jadi dokter. Para mahasiswa itu ada yang dari sekolah reguler dan ada juga dari sekolah internasional. Aku nggak tahu perbedaannya dan aku pun malas untuk bertanya.
Mereka sangat gagah dengan stetoskop di leher, pengukur tekanan darah di sampingnya dan jas putihnya yang khas. Aku bayangkan mereka sebentar lagi akan menghasilkan uang banyak.
Aku dengan lancar menjawab semua pertanyaan mereka dari mulai awal sesak napas sampai riwayat kesehatan di keluarga.
“Maaf ya Pak, dibuka dulu bajunya,” kata seorang mahasiswi. Nah, ini yang mulai aku nggak suka. Tapi aku tak bisa menolak. Aku berstatus pasien!
Bajuku sudah dipreteli. Bukan apa-apa. Aku sangat malu karena badanku sangat kurus. Tulang rusukku kelihatan menonjol.
“Dari pandangan fisik sudah kelihatan bahwa pasien ini termasuk pasien malnutrisi,” kata dokter pembimbing mereka.
Tentu saja aku kaget disebut penderita paru-paru plus gizi buruk. Padahal selama aku kerja di media online sebuah televisi partikelir dan sebagai jurnalis hampir setiap hari bergulat dengan tulisan dan laporan tentang malnutrisi.
“Lho, kok aku yang menderita gizi buruk?” batinku, keder.
“Ayo Pak ucapkan 9-9-9,” kata seorang mahasiswa sambil menempelkan kedua telapak tangannya ke dada sebelah kiri dan kanan.
“9-9-9,” ucapkan menurut.
Seorang mahasiwa lain bertindak yang sama Cuma nomornya diganti.
“Coba ucapkan 7-7-7.”
“7-7-7.”
Belakangan aku tahu dari analisis mereka bahwa paru-paru yang bermasalah atau mengandung cairan terangkat lebih lambat dibandingkan dengan paru-paru yang sehat.
Tes lainnya adalah perkusi. Tulang rusukku diketok-ketok dengan teluncuk menyerupai palu. Paru-paru atau bagian yang sehat akan berbunyi nyaring sedangkan yang bermasalah bersuara redup.
Menjadi kelinci percobaan sangat membosankan karena berulang-ulang. Bukan hanya oleh satu orang tetapi lebih dari enam orang. Entah berapa kali dadaku dipegang mahasiswa dan entah berapa kali tulang rusukku bertalu-talu.
Aku menjadi proyek percobaan ini selama tiga kali. Sementara kasus yang keempat sempat membuat keluargaku terutama ayahku panik. Ini karena aku tiba-tiba dibawa seorang suster berpakaian preman ke ruangan Melati, kira-kira berjarak 200 meter. Aku sudah sudah tahu bahwa aku bakal dijadikan lagi kelinci percobaan.
Benar saja, di sebuah ruangan aku disuruh menunggu hampir setengah jam. Aku kedinginan karena ruangannya ber-AC. Setelah itu datang mahasiswa bertampang Arab.
“Maaf, ya Mas. Mas nanti bakal menjadi model untuk ujian saya. Dosen penguji saja masih di perjalanan. Nanti sebentar lagi ke sini,” cerocosnya.
Aku dalam batin tertawa disebut model. Maksudnya model kurus kering, batinku lagi. Aku jadi percaya pada bahan candaan: Ya, paling-paling kamu jadi model obat nyamuk! Itu untuk meledek orang jelek. Aku ternyata laku untuk model orang penyakitan, lagi-lagi aku membatin.
Ia seperti mahasiswa sebelumnya. Kembali aku harus mengucapan angka yang membosankan: 7-7-7. Tapi aku merasa kasihan juga kepada mahasiwa tersebut. Aku juga pernah jadi mahasiswa.
Badanku yang kerempeng dan lemas dibolak-balik seperti pepes ikan. Membosankan. Aku meminta izin kepada mahasiswa itu untuk minum sejenak yang disediakan suster tadi.
Belakangan, ayahku di ruang perawatan panik. Anaknya yang belum recovery, raib. Ternyata suster yang membawaku tidak meninggalkan pesan dan tidak berkordinasi dengan suster di ruang perawatan.
Ketika aku tiba di ruangan, ayahku yang bingung, kaget. Aku yang lemas ternyata muncul dan bisa berjalan tegap.
“Lho tadi di ruangan mana?” tanya ayahku.
“Di Melati. Jadi kelinci percabaan lagi”
“Nggak diantarkan lagi sama suster?”
Aku menggeleng.
“Bapak tadi dari laboratorium Mikrobiologi,” tuturnya
“Gimana Pak hasilnya?” tanyaku penasaran
“Di bawah ada tulisan. Tidak ada sel ganas,” kata ayahku sambil mengintip dua lembar laporan laboratorium yang belum diberikan ke dokter spesialis paru-paru yang merawatku.
Aku merasa lega. Selama ini aku membaca dan mendengar bahwa dalam cairan paru bisa terlihat sel ganas berupa kanker. Aku dua hari di ruang perawatan sangat khawatir.
Apalagi di ruang perawatanku ada seorang pasien yang setelah diambil cairannya ternyata ditemukan sel ganas di dalamnya. Ia sudah beberapa kali menjalani kemoterapi. Aku sangat takut.
Dokter mengabarkan bahwa satu hari lagi aku sudah bisa pulang. Kabar itu sangat mengembirakan dan membuat aku semakin bersemangat. Semua makanan yang disediakan rumah sakit pagi, siang dan sore tandas. Aku paksakan untuk masuk biar berat badan terus bertambah.
Aku sudah terbayang akan segera mencium anaku. Namun itu sepertinya tak akan terjadi selama enam bulan. Sebab menjelang kepulanganku dokter menyatakan aku terkena TB alias TBC. Aku sebenarnya sudah jauh-jauh hari curiga karena aku diberi resep empat jenis obat paru-paru.
Ini berarti aku tidak bisa mencium orang sembarangan termasuk istriku tercinta. Aku menjadi “orang terbuang” untuk sementara di keluargaku gara-gara "penyakit orang miskin" ini. Duh! []
Jakarta, 10/12/2007
DIRAWAT di rumah sakit dari 31 Oktober hingga 11 November di Rumah Sakit Pusat Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur, tidak hanya menyisakan kisah yang menjengkelkan dan menyedihkan tetapi juga ada pengalaman lucu yang menggelikan.
Aku divonis menderita efusi pleura massif. Paru-paruku bagian kiri terendam cairan yang diperkirakan mencapai 4 liter. Dari literatur yang aku baca jenis penyakit paru-paru ini bisa terjadi karena tumor, infeksi, bakteri tuberkolosis (TBC) dan banyak lagi.
Pengalaman selama 10 hari di rumah sakit ini aku catat dalam dua tulisan, berjudul “Salah Diagnosis” dan “Jadi Kelinci Percobaan.”
***
PETIR dan hujan deras yang mengguyur Jakarta petang itu mengantarku sampai ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSP Persahabatan. Petang itu aku melihat IGD—mungkin karena baru pertama kali—nyaris seperti pasar malam.
Pertama kali masuk aku sudah keder ketika tiba-tiba terdengar ibu-ibu berteriak histeris. Nyaliku mulai ciut. Duh, seramnya!
Belakangan diketahui dari seorang suster bahwa ibu muda ini merontan-ronta karena bayinya yang kurang dari satu tahun meninggal. Bayi meninggal karena terlambat dirawat atau dirujuk ke rumah sakit. Padahal kalau dibilang penyakitnya sepele, panas dalam!
“Ah, aku harus kuat!,” batinku.
Sesaat kemudian seorang perawat pria menyapa,” Ada yang akan dirawat? Siapa pasiennya?”
Aku sempat menengok ke adik ipar yang berada di sebelahku.
“Saya, Mas,” kataku menunjuk ke dadaku sendiri. “Apakah aku masih kelihatan sehat? Perawat tak melihatku sakit? Apakah aku tak pucat?” batinku setengah bangga.
Perawat mempersilakan aku menempati velbet di pojok tak jauh dari pintu utama. Selang oksigen untuk membantu nafasku yang tersenggal-senggal, segera dipasang.
Aku dengan jelas melihat orang keluar masuk. Ada yang gemuk, kurus, pincang, batuk-batuk dan banyak lagi. Semuanya pasien IGD. Ada kakek-kakek cerewet. Ada juga suster yang sedang memarahi pasien tua yang tetap merajuk untuk pulang sementara ia sendiri sebatangkara.
Semua dokumen seperti foto rontgent, rekaman jantung, dan hasil test darah masih dianalisis dokter. Aku kini ditangani seorang mahasiswa kedokteran, perempuan.
Berbagai pertanyaan ia ajukan. Namun, aku mulai agak kaget ketika mahasiswa itu bertanya,” Apakah Bapak menggunakan narkoba?”
“Tidak,” jawabku. Aku membatin. “Apakah wajahku bertampang pecandu narkoba?”
“Maksud saya, Bapak suka ‘nyuntik’?”
Aku menggeleng. Saat ke dokter saja kalau bisa diganti obat, mendingan menghindari jarum suntik. Aku paling takut melihat jarum suntik dan tidak pernah tega melihat nenekku setiap malam disuntik insulin karena menderita diabetes kering.
Tak berselang lama setelah menandatangani surat untuk sebuah tindakan medis, dokter spesialis paru-paru di IGD mendekatiku. Ia memberitahu bahwa cairan dari paru-paru akan segera diambil. Aku hanya mengangguk.
Aku sudah membayangkan proses pengambilan cairan tersebut bakal sakit. Jarum suntik ukuran besar dan selang sudah disiapkan.
Sebelum ke rumah sakit, aku sempat bertanya ke dokter sebelumnya bagaimana rasanya diambil cairan, sakit atau tidak. Namun sang dokter umum itu hanya tersenyum.
“Ya, mudah-mudahan nanti setelah diambil cairan Bapak jadi gemuk,” tuturnya. Jawaban itu tidak memuaskan.
Harapanku bahwa pengambilan cairan itu tidak sakit terkabul. Ternyata jarum suntik ukurun besar yang menyelusup lewat dua rusuk sebelah kiri itu hanya seperti suntikan biasa.
Namun, betapa aku kagetnya ketika cairan itu mulai mengalir dari selang yang ditampung dalam dua botol bekas cairan infus. Air yang keluar dari paru-paruku seperti air seni dan hangat.
“Dok, ini cairan dari paru-paruku?” tanyaku kaget.
“Ya, saya ambil satu liter dulu ya. Nanti kalau batuk bilang,” kata dokter pria yang sangat ramah ini.
Dokter tersebut memberitahukan bahwa rata-rata dalam setiap pengambilan cairan kemampuan orang hanya sekitar satu liter. Bila dipaksakan pasien bisa pingsan.
Benar saja, setelah mencapai satu liter aku mulai batuk-batuk dan sesak nafas. Pengambilan cairan dihentikan. “Nanti sisanya di ruang perawatan, ya,” kata dokter.
Dua hari kemudian di ruang perawatan kelas tiga aku kembali memasuki ruang tindakan. Aku masuk ke ruangan tenang-tenang saja. Aku berpikir pasti penyedotan kedua kali juga sama dengan yang pertama di ruang IGD.
Namun, apa yang terjadi. Penyedotan kedua terasa sangat sakit. Di sela-sela dua tulang rusukku seolah-olah dibolongi. Bahkan aku merasa ada sebagian jaringan diambil dari paru-paruku. Baru kali ini aku berteriak sakit! Benar saja, sebuah alat yang agak lebih kecil dari pensil menjumput secuil daging dari organku. Dokter menyebut itu proses biopsi.
Setelah dijahit dan ditempel kasa, aku dipersilakan kembali ke ruang perawatan. Delapan tempat tidur pasien di Kamar 1 Ruang Soka Atas, penuh. Ini berarti ada lagi satu pasien yang datang. Ia didekatku. Pasien tua dan nafasnya terengah-engah. Namanya Tang Ku Tek. Karena dari Tangerang aku menduga ia Cina Benteng.
Bekas jahitan hingga pagi masih terasa ngilu. Aku menjadi sulit bergerak. Aku rencananya hendak mengelap tubuhku yang berkeringat tapi seorang dokter perempuan tiba-tiba datang.
“Gimana Pak sehat?” tanyanya.
“Alhamdulillah,” jawabku.
“Mudah-mudahan ini jadi amal Bapak, saat ini sudah ada 6 nahasiswa saya yang akan bertanya pada Bapak. Bapak bersedia, kan?”
“Ya, bersedia,” jawabku. Aku menduga mereka hanya akan bertanya seputar penyakitku.
Tapi soal dokter itu memilih aku sebagai “proyek” percobaan, aku sudah tahu kendati tidak harus bertanya. Semua pasien kecuali aku selain sudah tua mereka umumnya pasien mengi (asma) dan TBC. Gimana bisa ditanya nafasnya saja sudah tersenggal-senggal.
Aku tersenyum saja melihat mahasiswa kedokteran yang rapi, cakep dan cantik. Aku membatin, putri kecilku yang kini berusia 2,5 bulan berharap kelak jadi dokter. Para mahasiswa itu ada yang dari sekolah reguler dan ada juga dari sekolah internasional. Aku nggak tahu perbedaannya dan aku pun malas untuk bertanya.
Mereka sangat gagah dengan stetoskop di leher, pengukur tekanan darah di sampingnya dan jas putihnya yang khas. Aku bayangkan mereka sebentar lagi akan menghasilkan uang banyak.
Aku dengan lancar menjawab semua pertanyaan mereka dari mulai awal sesak napas sampai riwayat kesehatan di keluarga.
“Maaf ya Pak, dibuka dulu bajunya,” kata seorang mahasiswi. Nah, ini yang mulai aku nggak suka. Tapi aku tak bisa menolak. Aku berstatus pasien!
Bajuku sudah dipreteli. Bukan apa-apa. Aku sangat malu karena badanku sangat kurus. Tulang rusukku kelihatan menonjol.
“Dari pandangan fisik sudah kelihatan bahwa pasien ini termasuk pasien malnutrisi,” kata dokter pembimbing mereka.
Tentu saja aku kaget disebut penderita paru-paru plus gizi buruk. Padahal selama aku kerja di media online sebuah televisi partikelir dan sebagai jurnalis hampir setiap hari bergulat dengan tulisan dan laporan tentang malnutrisi.
“Lho, kok aku yang menderita gizi buruk?” batinku, keder.
“Ayo Pak ucapkan 9-9-9,” kata seorang mahasiswa sambil menempelkan kedua telapak tangannya ke dada sebelah kiri dan kanan.
“9-9-9,” ucapkan menurut.
Seorang mahasiwa lain bertindak yang sama Cuma nomornya diganti.
“Coba ucapkan 7-7-7.”
“7-7-7.”
Belakangan aku tahu dari analisis mereka bahwa paru-paru yang bermasalah atau mengandung cairan terangkat lebih lambat dibandingkan dengan paru-paru yang sehat.
Tes lainnya adalah perkusi. Tulang rusukku diketok-ketok dengan teluncuk menyerupai palu. Paru-paru atau bagian yang sehat akan berbunyi nyaring sedangkan yang bermasalah bersuara redup.
Menjadi kelinci percobaan sangat membosankan karena berulang-ulang. Bukan hanya oleh satu orang tetapi lebih dari enam orang. Entah berapa kali dadaku dipegang mahasiswa dan entah berapa kali tulang rusukku bertalu-talu.
Aku menjadi proyek percobaan ini selama tiga kali. Sementara kasus yang keempat sempat membuat keluargaku terutama ayahku panik. Ini karena aku tiba-tiba dibawa seorang suster berpakaian preman ke ruangan Melati, kira-kira berjarak 200 meter. Aku sudah sudah tahu bahwa aku bakal dijadikan lagi kelinci percobaan.
Benar saja, di sebuah ruangan aku disuruh menunggu hampir setengah jam. Aku kedinginan karena ruangannya ber-AC. Setelah itu datang mahasiswa bertampang Arab.
“Maaf, ya Mas. Mas nanti bakal menjadi model untuk ujian saya. Dosen penguji saja masih di perjalanan. Nanti sebentar lagi ke sini,” cerocosnya.
Aku dalam batin tertawa disebut model. Maksudnya model kurus kering, batinku lagi. Aku jadi percaya pada bahan candaan: Ya, paling-paling kamu jadi model obat nyamuk! Itu untuk meledek orang jelek. Aku ternyata laku untuk model orang penyakitan, lagi-lagi aku membatin.
Ia seperti mahasiswa sebelumnya. Kembali aku harus mengucapan angka yang membosankan: 7-7-7. Tapi aku merasa kasihan juga kepada mahasiwa tersebut. Aku juga pernah jadi mahasiswa.
Badanku yang kerempeng dan lemas dibolak-balik seperti pepes ikan. Membosankan. Aku meminta izin kepada mahasiswa itu untuk minum sejenak yang disediakan suster tadi.
Belakangan, ayahku di ruang perawatan panik. Anaknya yang belum recovery, raib. Ternyata suster yang membawaku tidak meninggalkan pesan dan tidak berkordinasi dengan suster di ruang perawatan.
Ketika aku tiba di ruangan, ayahku yang bingung, kaget. Aku yang lemas ternyata muncul dan bisa berjalan tegap.
“Lho tadi di ruangan mana?” tanya ayahku.
“Di Melati. Jadi kelinci percabaan lagi”
“Nggak diantarkan lagi sama suster?”
Aku menggeleng.
“Bapak tadi dari laboratorium Mikrobiologi,” tuturnya
“Gimana Pak hasilnya?” tanyaku penasaran
“Di bawah ada tulisan. Tidak ada sel ganas,” kata ayahku sambil mengintip dua lembar laporan laboratorium yang belum diberikan ke dokter spesialis paru-paru yang merawatku.
Aku merasa lega. Selama ini aku membaca dan mendengar bahwa dalam cairan paru bisa terlihat sel ganas berupa kanker. Aku dua hari di ruang perawatan sangat khawatir.
Apalagi di ruang perawatanku ada seorang pasien yang setelah diambil cairannya ternyata ditemukan sel ganas di dalamnya. Ia sudah beberapa kali menjalani kemoterapi. Aku sangat takut.
Dokter mengabarkan bahwa satu hari lagi aku sudah bisa pulang. Kabar itu sangat mengembirakan dan membuat aku semakin bersemangat. Semua makanan yang disediakan rumah sakit pagi, siang dan sore tandas. Aku paksakan untuk masuk biar berat badan terus bertambah.
Aku sudah terbayang akan segera mencium anaku. Namun itu sepertinya tak akan terjadi selama enam bulan. Sebab menjelang kepulanganku dokter menyatakan aku terkena TB alias TBC. Aku sebenarnya sudah jauh-jauh hari curiga karena aku diberi resep empat jenis obat paru-paru.
Ini berarti aku tidak bisa mencium orang sembarangan termasuk istriku tercinta. Aku menjadi “orang terbuang” untuk sementara di keluargaku gara-gara "penyakit orang miskin" ini. Duh! []
Jakarta, 10/12/2007
Mani panjang pisan kang yayat
ReplyDeleteKalah tunduh geninganan
Kang Yayat linggih dimana, di cipasang?
Abdimah ti cisema rancah
mas yayat, klo boleh saya panggil demikian, apa yg dialami anda sama seperti yang terjadi dengan adik saya, kecuali bagian "kelinci percobaan".
ReplyDeleteadik saya dirawat sampai 18 hari, 2 kali biopsi tanpa hasil (tidak ditemukan cairan apapun seperti dugaan dokter), sempat divonis tumor ganas yang di kemudian hari hasil lab yang menyatakan tumor ganas dicoret oleh bpk dokter dan diubah, dinyatakan infeksi paru-paru, kemudian dilakukan bedah kecil untuk mengambil sample dari kelenjar di bagian leher, yang endingnya tetep aja TB alias TBC, dan disarankan untuk operasi (mengambil paru-paru bag kiri -kata papa sih kasarnya amputasi tuh klo ky gitu-) wah2, saya jadi makin gak percaya ama dokter2 di indonesia.
padahal sebelum opname 18 hari tsb, adik saya sudah menjalani pengobatan rutin untuk TB dan sempat dinyatakan bebas bakteri TB.
Keseeeeeeeeeel bgt rasanya seolah dipermainkan dokter. ini nyawa je.hah...semoga dokter2 generasi mendatang lebih bijak lagi dan tentunya lebih tajam menganalisis.huff...kalo bisa mas terus critain progress pengobatannya ya, siapa tau nanti ketika menjalani pengobatan ada tahap yg terlewat anda bisa mencak-mencak ama pak dokter. adik saya sempat tidak diperiksa rontgen selama 3 bulan n tiba2 aja setelah dibilang bebas bakteri malah disuruh mondok.seolah-olah dokter klecolongan slama 3 bulan tsb, tapi ya mana ngaku.
yah semoga mas yayat bisa lekas sembuh, yang penting sabar dan jangan bolong obat, semoga istri mas juga sabar.