Skip to main content

Waduh, Radio Komunitas Kembali Dirazia

Oleh: Yayat R Cipasang

LEMBAGA Penyiaran Komunitas (LPK) khususnya radio komunitas kembali berduka. Sejumlah radio komunitas di Maluku, Jawa Barat, dan Jakarta diberangus.

Ada saja alasannya. Khusus untuk di Jakarta, radio komunitas dituding mengganggu spektrum frekeunsi 118 MHz yang digunakan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Dasarnya surat Kepala Cabang PT Angkasa Pura II tertanggal 5 Maret 2007.

Mendapat surat tersebut Balai Monitoring Frekuensi Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi langsung bereaksi. Mereka kembali getol menyisir radio komunitas di sekitar Halim Perdanakusuma.

Wilayah yang disisir meliputi Bekasi (Jalan Patriot, Grand Mall Kranji, Jalan HR Sukarna, Pondok Gede, Jatiwaringin, dan Jaticempaka) dan Jakarta Timur (Kalimalang dan Pondok Kelapa).

LPK dan Anak Tiri

Dari mulai pembahasan draf RUU hingga terbentuknya UU N0 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, LPK sudah dipandang sebelah mata dan kehadirannya dianggap sebagai penyakit. Saat itu Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) paling giat menolak kehadiran LPK. Mereka menilai LPK adalah pesanan asing dan akan memecah belah bangsa.

Tuduhan yang dangkal bila karena gara-gara radio komunitas dibantu UNESCO, LSM asing atau karena disponsori Bank Dunia dan kedutaan asing. Radio komunitas yang dibantu asing ini pada intinya sebatas dibantu dalam bentuk peralatan dan teknik produksi. Sebuah kecurigaan yang terlalu berlebihan.

Kecurigaan terhadap LPK termasuk radio komunitas, memang telah menjadi agenda kolektif penggiat radio mainstream. Kecurigaan ini sebenarnya beralasan. Selain radio komunitas semakin tumbuh subur juga dalam jangka panjang mengancam pundi-pundi radio siaran niaga.

Penggiat periklanan, kini lebih realistis dengan pasar yang semakin tersegmentasi. Radio komunitas, menjadi pilihan untuk memasarkan produk kliennya. Bila radio komunitas dikelola secara baik, pasar radio siaran niaga sebenarnya dalam ancaman.

Pemilik produk pertanian seperti pupuk atau disinfektan tentu saja lebih sangkil dan mangkus memasang iklan di radio komunitas khusus petani sayur. Atau pemilik produk pengolahan limbah sapi lebih cocok memperkenalkan produk barunya di radio komunitas khusus peternak sapi.

Malah lucu, bila produk di atas disiarkan di jaringan radio Trijaya FM, Women Radio, Ramako, atau Sonora. Bukan saja iklan tersebut akan merusak wibawa radio tersebut tetapi juga pasti akan ditertawan pendengarnya.

Radio Komunitas Bukan Ancaman

UU No 32 Tahun 2004 tentang Penyiaran mengakui keberadaan LPK sebagaimana diakuinya juga Lembaga Penyiaran Publik dan Penyiaran Swasta. Tetapi kenapa tak satu kebijakan pun yang mengatur LPK? Izin LPK sejauh ini hanya bermodalkan rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID)

Sejatinya, LPK bukan ancaman radio swasta tetapi sebagai pelengkap. Radio komunitas misalnya, dia dapat menampung masyarakat yang secara profesi dan mata pencahariannya tidak tertampung dalam radio mainstream.

Nelayan, gelandangan, para pemulung, misalnya radio mana yang peduli kepada mereka selain radio komunitas. Belum lagi kalupun ada radio swasta yang peduli dengan mereka, radio tersebut sifatnya hanya satu arah. Mereka tidak dapat berpartisipasi.

Sedangkan dalam radio komunitas, mereka menganut falsafah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Radio komunitas secara cerdas mengembangkan media letaracy (melek media). Artinya mereka juga mempunyai tanggung jawab untuk memproduksi acara sendiri sesuai dengan kebutuhan audiensnya.

Diakui memang banyak juga radio komunitas yang bermasalah. Ada juga radio komunitas yang memancing perkelahian antarkampung. Tetapi pemerintah juga jangan menutup mata misalnya ada radio komunitas yang bisa memberdayakan masyarakat sekelilingnya.

Radio Angkringan di Jogyakarta yang dapat menyediakan beasiswa bagi murid yang tak mampu atau radio komunitas di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang Bekasi yang memberdayakan dan pendidikan bagi anak-anak pemulung.

Penertiban yang bijak adalah perlu tetapi penertiban yang malah mematikan radio komunitas perlu dipertanyakan. Mungkin malah yang perlu ditertibkan adalah lembaga monitoring frekuensi di daerah-daerah. Menurut pengamat media Sirikit Syah dalam milis jurnalisme, malah banyak pejabat monitoring di daerah yang menerbitkan surat pinjaman kanal. Nah, lho![]

Jakarta, 24 Maret 2007

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f