Skip to main content

Gonjang-ganjing TVRI, Tanya Kenapa?

Oleh: Yayat R Cipasang

Direktur Program dan Pemberitaan Rully Charmeinto Iswahyudi menyatakan akan melawan bila Dewan Pengawas TVRI memecatnya.

DEWAN Pengawas TVRI menonaktifkan Direktur Program dan Pemberitaan Rully Charneianto Iswahyudi melalui surat bernomor 77/Dewas/TVRI teranggal 15 Maret 2007.

Rully menyatakan dapat menerima surat penonaktifan. Tetapi bila dipecat, nanti dulu. Bekas produser di Metro TV ini bertekad untuk melawan. “Kalau saya dipecat, maka saya akan menuntut mereka,” kata Rully kepada Situs Berita Rakyat Merdeka kemarin (Jumat, 16/3).

Seperti diberitakan sebelumnya, Kamis lalu, ratusan karyawan TVRI memaki-maki dan mengusir direksi dalam sebuah dialog menyusul mosi tidak percaya karyawan yang disampaikan ke Komisi I DPR.

Dalam dialog yang dgelar di Auditorium TVRI tersebut, karyawan yang emosional merangsek ke meja direksi dan mengusirnya. Direksi terutama Direktur Pemberitaan Rully dianggap tidak pantas menduduki jabatan tersebut. Rully juga dituduh sewenang-wenang karena memecat 19 karyawan.

Sebaliknya, Rully menuduh, para karyawan yang menentangnya sebagai bagian dari status quo. Atau dalam istilah Rully, karyawan yang berada di wilayah aman (cover zone). Rully menganggap karyawan ini terusik karena ada pembenahan manajemen.

Ini karena dalam kesemrawutan manajemen TVRI, menurut Rully, ada sekelompok orang yang malah menikmatinya. Ia mencohtahkan, banyak program dan iklan yang masuk nyelonong begitu saja tanpa diketahui manajemen.

Kisruh di TVRI sebenarnya bukan yang pertama kali. Kasus serupa juga sempat terjadi saat Sumita Tobing yang sebelumnya dikenal bertangan dingin melahirkan Liputan 6 SCTV, sejak 28 Juni 2001 diangkat sebagai Direktur Utama TVRI. Kembalinya “si anak hilang” itu ke TVRI semula diharapkan membawa semangat dan etos kerja baru.

Kemampuan doktor jurnalistik lulusan Ohio State University itu tak diragukan lagi. Sikap profesionalnya teruji dengan keberhasilannya mengemas Cakrawala ANTV dan ikut membidani Metro TV -- yang akhirnya keluar dengan alasan berbenturan konsep dengan pemilik modal.

Dalam kata sambutan pelantikannya, Sumita bertekad untuk memperjuangkan TVRI lepas dari jerat status perusahaan jawatan yang dinilainnya terlalu kaku.

Idealnya, menurut Sumita TVRI harus menjadi badan usaha milik negara yang lincah mencari biaya operasional termasuk menggali sumber-sumber pembiayaan dari iklan, namun tidak profit oriented.

Dan ini berhasil dengan keluarnya PP No. 9 Tahun 2002 tentang perubahan status dari perusahaan jawatan menjadi perseroan terbatas.

Namun, konsep Sumita tersebut sulit terealisasi menyusul kuatnya risistensi dari dalam. Empat direksi yang berada di bawahnya, masing-masing Direktur Teknik Ahmad S. Adiwijaya, Direktur Produksi Barita E. Siregar, Direktur Administrasi dan Keuangan Badaruddin Achmad, dan Direktur Pemasaran Sutrimo, malah menciptakan opisisi. Keempat direksi juga konon menentang audit menyeluruh atas aset dan keuangan TVRI.

Sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan sejumlah penyelewengan dana di beberapa divisi TVRI. Di antaranya penyelewengan itu terjadi dalam pembukuan piutang kontribusi televisi swasta yang dipungut setiap tahun sebesar 12,5 persen dari perolehan iklan. Selisih antara hasil audit dengan neraca per 6 Juni 2000, misalnya, mencapai Rp 65 miliar.

Kebocoran itu, belum dari proses pengadaan barang, dana dari masyarakat berupa iuran televisi, serta sumber-sumber lain yang tidak jelas pembukuannya. Diduga, audit itu akan membongkar borok-borok pengelola TVRI di masa silam, termasuk yang sudah pensiun.

Bisa, jadi apa yang dituduhkan Rully benar. Ada sekelompok orang yang merasa terusik bila manajemen TVRI dibenahi karena pundi-pundi atau lahan korupsinya terbongkar. Tetapi cara Rully memutar program tayang ulang (rerun) yang hampir 80 persen dari keseluruhan acara atau memecat penyiar secara sewenang-wenang juga terlalu berlebihan.

Status TVRI sebagai televisi publik sebenarnya sudah berada di jalur yang benar. Memang, karyawan yang sangat gemuk lebih dari 7.000 orang, menjadi masalah tetapi bukan berarti tanpa solusi.

Usulan untuk tidak menerima karyawan baru (zero growth) dan pensiun dini bagi karyawan di atas usia 40 tahun sebenarnya bisa menjadi solusi yang bijak.[]

Jakarta, 17 Maret 2007

Comments

  1. Anonymous11:50 PM

    permisi...numpang lewat
    numpang baca2 juga dink :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda Berkomentar Maka Saya Ada

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f