Skip to main content

Sosialisasi Pemilu dan Pemberdayaan Penyiaran Komunitas

Suara Karya, 16 Maret 2004

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) mulai 25 Januari 2004 meningkatkan intensitas sosialisasi pemilihan umum. Peningkatan sosialisasi itu dimaksudkan untuk menyampaikan materi yang berkenaan dengan tata cara pemilihan umum, seperti jadwal kampanye, cara pencoblosan, perolehan kursi, dan penetapan calon legislatif terpilih. Peningkatan intensitas sosialisasi ini dilakukan melalui 10 stasiun televisi, termasuk di dalamnya TVRI dan satu televisi kabel. Sosialisasi juga menggunakan radio siaran serta sejumlah media cetak nasional. Hal yang sama juga dilakukan KPU daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) dengan menggandeng media lokal.

Khusus untuk KPU daerah, saya menyarankan dalam mensosialisasikan materi pemilu, juga melibatkan lembaga penyiaran komunitas (LPK). Sebab untuk beberapa daerah tertentu ada yang tidak bisa diliput atau dilewati media konvensional karena keterbatasan distribusi dan keterbatasan jangkauan siaran (blank spot). Wilayah seperti ini, kini banyak ditolong oleh kehadiran LPK seperti radio komunitas dan televisi komunitas.

Diperkirakan, sudah ribuan radio komunitas dan puluhan televisi komunitas beroperasi di Indonesia. Sebagian dari mereka sudah bergabung dalam jaringan yang dikenal dengan Jaringan Radio Komunitas (JRK) yang dideklrasikan di Jakarta dan Jaringan Televisi Komunitas (JTK) yang dideklarasikan di Bontang, Kalimantan Timur.

Kedua lembaga komunitas ini mendapat sambutan positif masyarakat lokal. LPK ini di antaranya beroperasi di lingkungan buruh tambang, nelayan, pedagang pasar tradisional, petani, pemulung dan gelandangan. Kelompok marjinal ini mempunyai akses yang sangat minim terhadap media konvensional seperti radio siaran, koran, atau televisi. Peran ini kemudian diambil alih dengan kehadiran lembaga penyiaran komunitas. Sejauh ini, baru Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) yang memanfaatkan LPK untuk memasyarakatkan teknologi di masyarakat.

LPK pada prinsipnya adalah lembaga swadaya masyarakat yang diselenggarakan masyarakat, untuk masyarakat dan dibiayai masyarakat. LPK juga nonprofit karena lebih dikembangkan sebagai lembaga yang mengemban misi sosial. Di beberapa negara berkembang seperti Filipina, Bolivia, India, dan sejumlah negara di Afrika, radio komunitas berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di daerah dan komunitasnya. LPK juga membuat warga marjinal melek politik.

LPK adalah bagian dari konsep media literacy (melek media). Konsep ini adalah bagaimana masyarakat dapat mengoperasikan media, mengelola media, dan terampil memproduksi sebuah program. Karena komunitas bersifat lokal maka setiap pengelola LPK mesti mempunyai cita rasa lokal.

Keberadaan LPK adalah legal. Dalam Udang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, LPK diakui bersama lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran partikelir. Namun, karena hingga kini alokasi frekuensi untuk LPK belum juga tuntas dibahas pemerintah, keberadaannya dianggap sebagian kalangan sebagai radio liar. Malah LPK dituding sebagai unsur yang bisa menyebabkan disintegrasi bangsa.

Tetapi saya lebih yakin LPK memiliki potensi manfaat yang sangat besar dan kita atau KPU harus mulai mencobanya melalui program sosialisasi pemilu. Media arus utama (mainstream) di sejumlah daerah kendati mempunyai cita rasa lokal tetapi tidak sepenuhnya akan mengakomodasi rasa komunitas. Ini sangat berbeda dengan LPK yang memposisikan komunitasnya sebagai subjek. Komunitas akan terlibat langsung dalam pembuatan program siaran sosialisasi pemilu. Otomatis di sana ada proses dialog dan diskusi sesama rekan komunitas. Dengan demikian, mereka akan paham materi yang berkaitan dengan pemilu tanpa merasa digurui dan tanpa jargon normatif yang sulit dipahami.

Selain itu, saya juga menyarankan kepada panitia pengawas pemilu daerah untuk menggandeng jaringan LPK untuk pengawasan pemilu di tingkat lokal. Keterlibatan LPK tersebut diharapkan akan meningkatkan partisipasi politik komunitas. Paling tidak, keterlibatan mereka ini dapat menekan angka golongan putih (golput) di kalangan rakyat marjinal karena alasan tidak terdaftar menjadi peserta pemilu atau karena pemahaman yang minim terhadap pemilu.[]

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f