Skip to main content

Semangat Hidup Wong Cilik dalam Kerajaan Raminem

Judul : Kerajaan Raminem
Pengarang : Suparto Brata
Cetakan : Pertama, Januari 2006
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 470 halaman
ISBN: 979-709-238-0

KERAJAAN Raminem adalah buku kedua dari Trilogi Gadis Tangsi karya Suparto Brata. Novel pertama berjudul Gadis Tangsi dan yang ketiga (belum terbit) diberi judul Mahligai di Ufuk Timur. Trilogi ini bercerita tentang sosok wong cilik Jawa yang berhasil mewujudkan cita-citanya di tengah lingkungan dan keluarga yang tidak berpihak. Buku ini juga menjadi potret sosial keluarga Jawa rendahan yang berupaya mengangkat derajat dan harga diri dengan bekerja keras.

Dalam Gadis Tangsi dikisahkan masa kecil Teyi yang anak kolong pada zaman kolonial di Tangsi Garnisun Lorong Belawan, Pangkalan Brandan, Sumatra Utara. Teyi anak pertama dari Serdadu Perang Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) Sersan Kepala Wongsodirjo dan Raminem yang hijrah dari Jawa.

Teyi kecil adalah tipe anak nakal, tak memiliki tatakrama, dan liar tetapi cerdas. Teyi berangsur menjadi anak yang berbudi saat menjadi anak angkat Putri Parasi dan Kapten Sarjubehi. Putri Parasi adalah darah biru keturunan Kerajaan Surakarta Hadiningrat.

Digambarkan, bangsa Jawa di Surakarta adalah bangsa yang berperadaban dan berkebudayaan tinggi. Anak negerinya hidup makmur, sopan santun, tertib dan berkecukupan karena rajanya adil dan bijaksana. (hal.211)

Putri Parasi yang kesepian dan sakit-sakitan mengajari Teyi yang liar, mulai dari cara berpakaian, tatakrama, budi pekerti, dan membaca. Teyi “menuntut” ilmu selama tiga tahun secara gratis dan sangat menyenangkan di sela-sela berjualan pisang goreng. Kelak, kecerdasan dan kemahiran Teyi membaca dan berbicara bahasa Jawa kromo inggil serta Belanda menjadi sosok sentral di tangsi dan di pengungsian. Belakangan, kecantikan dan sikap Teyi yang telah berubah menjadi "Putri Surakarta" juga menarik perhatian Kapten Sarjubehi yang menduda setelah ditinggal almarhum Putri Parasi.

Sementara pada novel Kerajaan Raminem Teyi diceritakan sudah dewasa baik fisik maupun pemikirannya. Sebagai orangtua Raminem sering kalah berdebat dan harus menurut pada kehendak Teyi. Raminem yang telah memiliki kekayaan dari berjualan dan mengkreditkan barang-barang di lingkungan tangsi menjadikannya keluarga Raminem cukup menonjol. Raminem tidak bisa apa-apa tanpa pengelolaan keuangan dan manajemen cerdas ala Teyi.

Kerajaan Raminem berkutat tentang kesengsaraan keluarga Raminem dan penghuni tangsi lainnya saat harus mengungsi karena takluknya Hindia Belanda kepada bala tentara Jepang. Selama di pengungsian hingga kembali ke Tanah Jawa, Teyi memegang peranan penting baik sebagai pemimpin dan pengambil keputusan.

Dalam novel setebal 470 halaman ini Suparto Brata secara leluasa mendedahkan ajaran-ajaran atau filsafat Jawa melalui mulut Teyi. Misalnya saat melihat Raminem dirundung keputusasaan. "Orang Jawa itu punya pegangan hidup amat ampuh untuk menjaga kesehatan jiwanya yaitu harus sabar, ikhlas, dan nrima....Dengan berazas sabar, ikhlas, dan nrima, segala yang terjadi kita bisa hidup tenang dan tabah." (hal.195).

Dalam novel yang banyak bersumber dari pengalaman ibu mertuanya ini, Suparto Brata juga tidak berusaha menonjolkan Teyi sebagai orang sempurna. Hitam dan putih ada pada diri tokoh utamanya. Suatu saat Teyi bisa bijak dan welas asih dan suatu saat dia bisa kejam. Dua-duanya ada pada diri Teyi. Misalnya, saat Teyi mengambil keputusan untuk meninggalkan Dumilah yang tengah hamil di pengungsian. Teyi meninggalkan Dumilah bukan tanpa alasan. Dumilah yang mengandung bayi Kapten Sarjubehi ini curang dan licik. Dan, Teyi mengambil sikap tegas. "Dengarkanlah mahluk yang durhaka! Kamu ingat semalam kamu melecehkanku bahwa aku sudah jatuh miskin. Kekayaanku sudah diserimpung oleh Gusti Allah....Maka nikmatilah sendiri keinginanmu, demi Allah. Kamu menerima akibat perkataanmu sendiri, Wewe Gombel!" (hal. 233)

Akhir novel dipungkas dengan keberhasilan Teyi mendirikan Kerajaan Raminem. Kerja keras Teyi setelah ditolak keluarga almarhum ayahnya yang tamak, membuahkan hasil. Usahanya dimulai dari jual beli beras keliling dengan sepeda hingga membangun gubuk menjadi rumah mentereng dengan banyak kamar hingga membeli semua sawah yang paling subur di Bagelen, Jawa Tengah.

Suparto Brata yang telah menerima penghargaan Rancage selama tiga kali ini layak dikatakan sebagai pengarang spesialis berlatar sejarah seperti halnya Pandir Kelana, Remy Sylado dan Sunaryono Basuki Ks. Untuk menyebutkan contoh saja, Saksi Mata Penerbit Buku Kompas, 2002) bercerita tentang masa kekuasaan tentara Jepang dan Mencari Sarang Angin (Grasindo, 2005) berkisah tentang masa Kolonial, Jepang dan Perang Kemerdekaan 1945-1949. Ini belum lagi novel-novelnya yang ditulis dalam bahasa Jawa.

Seperti dalam novel-novel lainnya, Suparto Brata yang telah berusia 74 tahun (lahir 27 Februari 32) masih tidak kehilangan energinya untuk menulis lancar, lincah, nakal dan dalam jumlah halaman yang tebal. Suparto Brata juga tak kehilangan rasa berahinya dengan menyisipkan masalah seksualitas dalam setiap novelnya tanpa kesan cabul dan porno.

Sebuah buku yang layak dibaca pecinta sastra baik sastra Indonesia maupun Jawa, mahasiswa dan mereka yang menaruh perhatian pada sejarah sosial. Setengah berpromosi, dalam catatan kaki di halaman terakhir buku ini Suparto Brata menjanjikan buku ketiganya bakal lebih seru akibat konflik keluarga. Kita layak tunggu![]

Jakarta, 1 Mei 2006

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f