Skip to main content

Korban Televisi Terus Berjatuhan

AKIBAT Meniru Film India, Bocah SD Kehilangan Nyawa. Judul di harian Republika edisi 12 Juni 2005, membuat saya terhenyak. Dalam tulisan itu disebutkan, Maliki (13), tewas dengan leher terjerat tali tambang. Menurut keluarga korban, Maliki tewas terjerat tali ayunan saat mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India yang tengah ditontonnya di sebuah stasiun televisi.

Kasus Maliki, semakin menambah daftar panjang akibat negatif tayangan televisi terhadap anak-anak. Berbagai tulisan, kertas kerja, dan penelitian sudah banyak membeberkan dampak negatif si kotak ajaib itu. Bahkan, tudingan miring terhadap televisi sudah merebak sejak kelahirannya pada era 50-an.

Kehadiran kotak Dewa Janus itu tak bisa ditolak karena televisi juga adalah medium pembelajaran yang sangat efektif. Karena itu paradigma atau kajian terhadap televisi seharusnya segera diubah. Kajian harus difokuskan pada pengaruh positif dan mengoptimalkan manfaatnya. Sebab, pengaruh negatif televisi otomatis bergaris linier dengan perkembangan zaman dan sulit dihindari.

Kendati bukan media interaktif bagi anak-anak, televisi termasuk medium yang sangat diminati. Hal ini karena televisi bersifat audio visual. Televisi mampu menghadirkan kajadian, peristiwa, atau khayalan yang tak terjangkau panca indera ke dalam ruangan atau kamar anak-anak. Televisi juga mampu mengingat 50 persen dari apa yang mereka lihat dan dengar kendati ditayangkan sekilas.

Dari penelitian terhadap 260 anak-anak sekolah dasar di Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membuktikan, televisi ternyata medium yang banyak ditonton dengan alasan paling menghibur. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa anak-anak tak mungkin diisolasi dari tayangan televisi.

Berpijak dari realitas itulah, kini peran orangtua dan guru sangat penting membantu anak untuk mengapresiasi tayangan-tayangan televisi. Kita tak bisa berharap banyak kepada pengelola televisi. Mereka adalah kapitalis sejati yang lebih berorientasi kepada keuntungan alias profit. Kendati begitu, kita juga tak bisa menafikan usaha-usaha yang telah dilakukan pengelola televisi akhir-akhir ini seperti menyensor tayangan dengan aturan yang sangat ketat, memberikan ikon panduan menonton hingga membuat program anak kendati secara finansial tak menarik pemasang iklan.

Karakter Anak-anak

Posisi anak-anak atas tayangan televisi memang sangat lemah. Hal ini berkaitan dengan sifat anak yang di antaranya: pertama, anak sulit membedakan mana yang baik atau buruk serta mana yang pantas ditiru atau diabaikan. Kedua, anak tak memiliki selfcensorship dan belum memiliki batasan nilai. Ketiga, anak nonton bersifat pasif dan tidak kritis. Akibatnya, semua yang ditayangkan akan dianggap sebagai kewajaran.

Sifat-sifat itu tentu saja sangat rentan bila tayangan (film, kartun, sinetron, infotainment, kuis, telenovela atau video klip) yang antisosial seperti kekerasan dan pornografi menerpa mereka. Lebih-lebih kualitas tontonan yang ditayangkan televisi komersial di Indonesia umumnya masih jauh dari memihak kepada anak-anak.

Hasil penelitian dua tahun silam, bahkan menunjukkan acara anak-anak di seluruh televisi swasta hanya 32 jam dari kebiasaan anak-anak Indonesia menonton selama 68 jam dalam sepekan. Ini berarti selama 36 jam anak-anak menonton acara televisi yang pantas ditonton orang dewasa.

Peran Orangtua dan Guru

Tak ada jalan lain, beragam program televisi yang hadir menjumpai kamar anak-anak mendorong orangtua dan guru harus melek media (media literacy). Artinya, orangtua dan guru harus cakap mengoperasikan media; cakap membaca simbol-simbol di belakang makna tayangan; cakap mencari, memilih dan memilah media; serta kalau bisa cakap memproduksi tayangan atau program televisi.

Tetapi untuk sementara orangtua atau guru paling tidak cakap mencari, memilah atau memilih media untuk anak-anak. Di sini orangtua harus jeli karena banyak tayangan televisi yang sebenarnya untuk anak-anak tetapi saru.

Dari berbagai literatur dan pendapat pakar ada beberapa tips yang dapat dipraktikkan orangtua untuk mengarahkan anak-anak dalam menonton program televisi yang sehat dan cerdas. Pertama, membangun kesadaran. Ini kunci pertama buat orangtua. Televisi dari sejarahnya hingga kini melahirkan pengaruh baik dan buruk bagi perkembangan psikologis dan perilaku anak.

Kedua, proaktif bertanya. Orangtua harus bertanya kepada anak-anaknya mengenai acara televisi yang paling disukai sebagai cara untuk mengidentifikasi acara-acara favorit ana. Ketiga, proaktif melihat. Orangtua tak cukup hanya mengetahui acara favoritnya dari pengakuan si anak. Orangtua paling tidak harus menyempatkan menonton program tersebut sebelum memberikan penilaian dengan kriteria usia, budaya, agama, dan sebagainya.

Keempat, membuat kesepakatan. Dibuat kesepakatan dengan anak tentang acara yang boleh dan tidak layak ditonton, kapan boleh menonton, waktu belajar, waktu tidur, waktu sembahyang, mandi dan sebagainya. Disepakati juga penghargaan dan sanksi bila anak menepati atau melanggar kesepakatan yang dibuat bersama. Reward dan punishment ini penting untuk memberikan tanggung jawab atas kesepakatan yang telah dibuat. Termasuk, juga sanksi bagi orangtua bila nonton televisi ketika anak sedang belajar, misalnya.

Kelima, mendampingi menonton. Usahakan untuk dapat menemani anak nonton program televisi yang disukainya. Kehadiran orangtua, penting untuk memberikan jawaban bila suatu waktu anak berkomentar tentang sebuah program atau iklan. Bila anak tak bertanya orangtua berusaha untuk memancing anak diskusi tentang acara yang ditontonnya. Hal ini untuk memancing sikap kritis anak. Keenam, mencari alternatif. Untuk memberikan variasi tak ada salahnya orangtua memberikan tontonan atau bacaan alternatif seperti VCD atau komik

Tak kalah pentingnya adalah peran sekolah dan guru. Selain kegiatan ekstrakulikuler konvensional, guru atau sekolah sebaiknya mulai memprogramkan untuk mengajak anak-anak berkunjung ke stasiun televisi atau ke lokasi syuting program tertentu. Ini penting untuk melihat proses produksi suatu tayangan televisi. Sekaligus, kunjungan itu dapat memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa film atau tayangan di televisi tak selamanya adalah realitas sosial, melainkan hasil rekayasa, permainan editing dan tampilan spesial effect. Pemahaman ini penting agar anak-anak tak memberikan pemahaman yang seragam atas semua tayangan itu sebagai sesuatu yang wajar.

Sejauh ini, baru Lativi yang membuat program khusus kunjungan ke stasiun televisi. Saya berharap stasiun televisi lain juga menggalakkan program yang sama sebagai bentuk tanggung jawan sosial pengelola televisi partikelir kepada pemirsanya.

Selain itu, guru juga mencoba memberikan program apresiasi terhadap sebuah tayangan televisi. Anak-anak diajak untuk meresensi, mengapresiasi, dan menuliskan kesan-kesan tentang film atau iklan dari berbagai sudut pandang. Bahkan, lebih efektif, bila hasil tulisan mereka, kemudian didiskusikan.

Kesimpulan

Saatnya paradigma memandang televisi harus diubah. Tak akan ada artinya terus-menerus mengutuk televisi sebagai biang kerusakan moral dan kepribadian anak-anak. Kini saatnya mengoptimalkan pengaruh positif televisi sebagai medium pembelajaran yang sangkil dan mangkus.

Di sisi lain, televisi selamanya akan tetap ada dan akan terus mempengaruhi fisik, mental, emosi dan perkembangaan jiwa anak. Sebagai konsumen, orangtua, anak, atau guru harus melek media. Minimal menjadi penonton televisi yang kritis. Sebab, pada dasarnya pengelola stasiun televisi akan rugi sendiri bila tayangannya tak ditonton pemirsanya.[]

Jakarta, 17 Juni 2005

Comments

  1. Anonymous3:23 PM

    Kak, kayanya ada fakta yang salah deh. Kata kakak anak-anak rata-rata menonton televisi sampai 68 jam dalam satu pekan. Itu berarti hampir 10 jam dalam satu hari! Setahu saya anak-anak hanya menonton televisi kurang lebih 30 jam se-minggu.

    ReplyDelete
  2. Terimakasih atas koreksinya. Kunjungi terus blogku ya---Yayat

    ReplyDelete
  3. Anonymous12:35 PM

    aku cukup setuju ama tulisan kakak, nah...ada fakta2 lain ga' tentang efek tayangan televisi bagi anak2?khususnya tayangan film anak2, soalnya semakin lama film anak2pun banyak juga lho yang menayangkan adegan2 anti sosial. trims...!!!

    ReplyDelete
  4. mas kalo boleh, saya minta dikirimin sumber data2 mengenai blog anda
    karena saya akan melakukan penelitian mengenai pengaruh televisi...terima kasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda Berkomentar Maka Saya Ada

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f